31 Juli 2012

Cerpen kedua

Ketika Cinta Turun Ke Langit Dunia
Parasnya cantik kombinasi antara Jawa dan Arab. Kulitnya kuning langsat, alisnya tebal, matanya cokelat, bulu matanya lentik, hidungnya mancung ala turunan Timur Tengah, dan bibirnya tipis berwarna cerah, rambut hitam lurus terurai panjang melengkapi kecantikannya. Tak hanya itu, badannya ramping, tinggi semampai, namun tetap berisi tak seperti wanita masa kini yang kurus bak model profesional.
Lavina Palevi, nama yang diberikan kedua orang tuanya, anak tunggal dari pasangan Edvan Palevi dan Upik Widyatmoko. Bundanya tak bisa memberinya teman rumah karena beberapa kali sang bunda mengalami keguguran, dan hal itu memaksa Lavina menjadi anak satu-satunya keluarga Palevi.
Diusianya yang hampir menginjak kepala tiga Lavina juga belum berniat mengakhiri masa lajangnya. Ia tahu bahwa ayah dan bundanya sudah tak sabar ingin menimang cucu darinya. Tapi apa daya keinginanpun belum terbesit dalam benaknya. Ia masih senang dengan kesendirian yang selalu ditemani dengan kesibukan rutinitas bekerja. Bukan tak ada yang mau melamar Lavina, hanya saja semua lamaran itu belum ia terima, sudah tiga orang pria mengajukan lamaran untuk menjadi pendamping Lavina, namun tak satupun CV untuk posisi sebagai calon suaminyapun di acc. Daya pikat Lavina masih saja menggoda lelaki bujang, tak terlihat ia hampir masuk kepala tiga, ia awet muda. Terbukti semakin banyak saja pria yang melamarnya. Tak hanya parasnya yang menawan Lavina juga berpendidikan tinggi, gelar master dari negara kanggurupun ia dapatkan, pun berasal dari keluarga baik-baik, dan kariernya bagus, jadi tak ada alasan untuk tidak melamar Lavina.
Setelah menamatkan S2nya di Australia Lavina kini bekerja di salah satu bank besar di Yogyakarta, dan menjabat sebagai manager pemasaran. Memang kesibukan selalu menyingkirkan pikirannya untuk sekedar termenung dan memikirkan teman hidupnya kelak. Ia lebih memilih menyusun strategi pemasaran daripada harus bermenye-menye dengan cinta, masa sekolah sudah banyak memberikan pengalaman bagaimana pahit dan manisnya cinta. Sampai tingkat perguruan tinggipun ia masih menikmati indahnya cinta, tapi sekarang barang satu menitpun ia tak sempat, tak mau lebih tepatnya.
Kesibukan memaksa Lavina untuk datang ke kantor sebelum jam delapan dan pulang paling akhir dari karyawan lain. Sengaja memang, Lavina lebih suka menghabiskan waktu di dalam ruangan kerjanya daripada berada di kamarnya, kadang ia membawa novel dari penulis favoritenya, Mira W. Ketika pekerjaan sudah ia selesaikan, Lavina mengisinya dengan membaca novel yang ia bawa, kadang mengobrol dengan asisten yang seruangan dengannya. Iri sering mengelayut dalam benak Lavina, asistennya itu selalu bercerita tentang tingkah anak balitanya yang lagi lucu-lucunya. Senyum simpul dilemparkan pada asistennya ketika pertanyaan kapan mau memiliki momongan diajukan padanya. Sindiran itu memang hanya sepele kedengarannya, tapi tidak bagi Lavina. Bayangkan di usia 24 tahun asistennya itu sudah dikaruniai dua buah hati, sedangkan Lavina, belum satupun. Ingin rasanya, tapi hanya ingin, belum mau merealisasikannya.
“Mba Lala nanti siang ada rapat dengan atasan,” asisten membuyarkan lamunanya.
“Iya.” Lavina menjawab singkat.
Lavina kembali membuka-buka pekerjaannya. Diselesaikan satu per satu sebelum rapat dengan atasannya. Dibantu dengan asistennya yang sedikit terlihat cemas sedari masuk ruangannya. Tak seperti biasa asistennya terlihat memikirkan sesuatu.
“Kamu kenapa Sin ?” Lavina mencoba mencari tahu apa yang telah memecah konsentrasi asistennya itu.
“Enggak Mba,” Sinta menyembunyikan kecemasannya dari Lavina.
“Enggak seperti biasanya kamu cemas gini, kamu sakit Sin ?” Kembali Lavina mengorek info.
“Caca Mba,” Sinta membingungkan Lavina dengan jawabannya.
“Kenapa Caca Sin ?”
“Caca sakit Mba, dari kemarin badannya panas. Maaf saya jadi enggak konsen kerjanya,” akhirnya Sinta mengaku.
“Udah di bawa ke dokter Sin ?” Sisi empati Lavina keluar.
“Sudah Mba, agak mendingan dari hari sebelumnya.”
“Ya sudah, setelah rapat nanti kamu boleh pulang,” Lavina memberikan tawaran.
“Mba serius ?” Sinta memastikan kalau Lavina memang memberikan izin untuknya pulang lebih awal.
“Iya Sin, kasian anak kamu, dia butuh kamu,” sisi keibuan Lavina mulai nampak.
“Makasih Mba,” Sinta berujar pada Lavina.
“Iya, sama-sama Sin. Semoga Caca lekas sembuh. Bisa lari-lari lagi, teriak-teriak, dan nyanyi lagu favoritenya,” Lavina mendiskripsikan tingkah laku Caca yang sering diceritakan Sinta.
Lavina keluar ruangan, kakinya dilangkahkan menuju Pantry. Ia haus, tehnya sudah habis dan ia berniat untuk menggantinya dengan kopi luwak kesukaannya.
Setengah jam lagi rapat dengan atasanya, pekerjaan ia serahkan pada asistennya. Lavina kembali mereview materi presentasinya. Hari ini ia akan memberikan hasil analisinya dan beberapa alternatif untuk strategi pemasaran. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Lavina bergegas menuju ruangan rapat, atasannya memang belum nampak, namun beberapa kepala bagian sudah berada di dalam ruangan. Lavina sengaja duduk di dekat kursi atasannya, kursi tersebut malah sering tak dipakai, yang lain lebih memilih kursi yang jauh dari kursi atasan. Kesempatan diambil oleh Lavina, dengan dekat atasan ia mampu menyerap dengan baik apa yang disampaikan oleh atasannya, bukan apa-apa suara dari atasannya ini terlalu kecil, maklum sudah sepuh. Rapat telah dimulai, kali ini Lavina hanya sendiri, ia tak menyuruh Sinta untuk menemani menghadiri rapat rutin. Dimintanya Sinta untuk mengerjakan pekerjaannya.  
 Giliran Lavina menyampaikan presentasinya. Dengan suara yang sedang, Lavina menyampaikan strateginya, Pak Dharma hanya menganguk-anguk sembari terus menyimak apa yang disampaikan oleh Lavina. Cukup 15 menit Lavina menyampaikan usulannya, dilanjutkan dengan karyawan lainnya. Rapat berlangsung lebih cepat dari biasanya, Pak Dharma selaku atasan telah menerima semua usulan dari karyawan dan ditutup acara rapatnya itu olehnya. Lavina terlihat puas, terlihat wajah Pak Dharma yang tersenyum sumringah sedari awal ia mempresentasikan bahannya. Tanda bahwa usulannya akan disetujui oleh atasannya tersebut. Lavina keluar dari ruangan rapat, ia sempat berpapasan dengan Sinta. Terlihat Sinta terburu-buru keluar dari kantor.
“Ati-ati Sin ! Enggak usah ngebut jalanan lagi macet kalau jam makan siang,” Lavina memberikan wejangan pada Sinta.
“Iya Mba,” bukannya keluar Sinta berbalik arah dan berpamitan pada Lavina, dipeluknya Lavina dengan spontan.
Lavina tak menyangka Sinta akan memeluknya, sambil berusaha melepaskannya. Orang-orang disekitar mereka sedang mengamati adegan yang jarang ditemui. Manager dan asistennya sedang berpelukan, mungkin salah satunya mau pergi jauh.
“Sin..Sin..,” Lavina menyadarkan Sinta yang masih memeluknya erat.
“Maaf Mba, makasih uda ngizinin Saya pulang cepet,” Sinta mulai melepaskan pelukannya pada Lavina perlahan.
“Iya. Tapi enggak usah pake peluk-pelukan segala lagi Sin, takutnya ntar Saya membeda-bedakan karyawan,” Lavina menjelaskan.
“Iya...Maaf Mba. Sinta pamit dulu ya Mba,” Sinta mulai menjauhi Lavina dan menuju pintu keluar.
Perut Lavina protes minta untuk diisi, 45 menit mengikuti rapat membuat perutnya keroncongan. Diambilnya tas di ruangannya dan bergegas keluar. Biasanya ia makan siang bareng dengan Sinta, keduanya sering membawa bekal dari rumah. Lavina dan Sinta sama-sama anak tunggal, dan enaknya jadi anak tunggal walaupun sudah nikah masih juga dimanja oleh orang tua. Selain itu mereka lebih menyukai masakan buatan ibu masing-masing, sesekali mereka makan siang diluar, biar enggak bosen kata keduanya kompak.
“Enaknya makan apa ya ?” Lavina bertanya pada dirinya. “Kayaknya ayam bakar Pak Potter enak,” gumam Lavina sendiri.
Motor ia kendarai dengan kecepatan sedang, ia mengarahkan motornya menuju warung dekat kampus sewaktu menempuh pendidikan S1nya. Warung Pak Potter biasa Lavina menyebutnya. Nama sebenarnya adalah Warung TPI, seperti nama stasiun televisi swasta yang hampir bangkrut dan sekarang telah berganti nama serta mulai bangkit. Pernah Lavina iseng-iseng menanyakan kenapa namanya Warung TPI ? Bapak-bapak yang biasanya melayaninya cuma tersenyum saja, ia hanya menjelaskan bahwa TPI adalah singkatan dari titipan Illahi. 15 menit perjalanan menuju Warung TPI, ia memarkirkan motornya di halaman warung. Tempat ini masih seperti dulu, hanya sedikit perubahan penambahan bangunan yang agak luas. Dulu Lavina sering menghabiskan waktu bersama teman satu genknya untuk makan siang dan menunggu jam kuliah selanjutnya. Warung terbagi menjadi dua bagian, bagian di depan lebih luas dari belakang. Pemiliknya sengaja membuat konsep lesehan,  yang bagi orang Jawa makan dengan lesehaan itu lebih nikmat daripada harus duduk di kursi ala-ala orang Barat. Tikar sengaja di gelar, di atasnya meja dari bambu masih dipertahankan, dan beberapa lampu hias masih menggantung di langit-langit. Pak Potter mengagetkan Lavina dari belakang, mungkin dari tadi dia sudah melihat Lavina namun tak segera disapanya melihat Lavina dengan seksama mengamati setiap sudut warungnya itu.
“La, bengongnya kok lama banget ?” Pak Potter mengagetkan Lavina.
“Iya Pak, Saya lagi nostalgia dengan tempat ini, sudah lama enggak kesini. Gimana kabar Bapak, sehatkan pak ?” Lavina mulai berbincang dengan Pak Potter.
“Alhamdulillah baik, lah kamu gimana ? Semenjak lulus kamu jarang ke sini La, gawe di mana ?” Pak Potter melempar tanya.  
“Baik juga Pak. Saya kerja di bank daerah sini juga kok Pak.” Lavina menjawab tanya Pak Potter. Dia selalu was-was jika ditanya oleh orang-orang terutama kalau sudah masuk bahasan pasangan hidup. Dan berharap Pak Potter tak menanyakannya.
“Pak pesen biasanya !” Lavina tanpa basa-basi lagi, perutnya sudah mulai berunjuk rasa menuntut segera diturunkan makanan untuk mereka.
Sembari menunggu pesanan, Lavina kembali bernostalgia dengan warung itu. Tatapannya berhenti pada sosok Pak Potter. Kacamata bututnya masih setia melekat di matanya, itu sebabnya Lavina memanggilnya dengan sebutan Pak Potter, ala-ala tokoh magician Barat dan yang tidak berubah dari Pak Potter dari awal Lavina hingga hari itu adalah gaya dandanan dari beliau. Kaos oblong polos dipadukan dengan celana selutut, ada lagi ditambah dengan topinya. Kini rambut Pak Potter mulai beruban namun kegesitannya melayani pembeli tidak berkurang dengan semakin bertaambah usianya. Setelah 15 menit menunggu pesanan Lavina dihidangkan oleh Pak Potter.
“Ayam bakar, nasinya setengah, sambel terasi, tempe gorang sama jus stoberi,” Pak Potter tak melupakan pesanan yang biasa Lavina pesan sekalipun ia sudah lama tak makan di warungnya.
“Makasih Pak,” dengan sedikit tersenyum Lavina berterimakasih. Ia tak menyangka Pak Potter masih mengingatnya.
“Manis Pak jusnya,” Lavina langsung menyeruput jus stroberi kesukaannya.
“Iyalah, khusus Lala tak banyakin stroberi sama susunya,” seakan sudah hapal keluhannya ketika mendapatkan jus stroberi yang kadang tak sesuai dengan keinginannya. Terlebih jika istri atau anaknya yang membuatkan, di tangan Pak Potter ayam bakar biasa jadi ayam bakar tak biasa dan jusnya manisnya pas.
Setelah melempar beberapa pujian untuk Pak Potter, Lavina memulai acara makan siangnya. Dengan lahap dan teratur Lavina memasukan ayam bakar dengan nasi yang masih panas serta cocolan sambal terasi Pak Potter melayangkan dirinya dengan nostalgia. Tak perlu berlama-lama, setelah menyantap makan siangnya, Lavina segera meninggalkan warung Pak Potter. Setelah berpamitan Lavina mengambil motornya, ia belum menunaikan kewajibannya sebagai muslim, diarahkan motornya menuju masjid kampusnya. Diparkirkannya kendaraan di tempat parkir. Dan melangkah menuju masjid yang sudah lama tak ia kunjungi itu. Kakinya sengaja dilangkahkan perlahan, ia kembali bernostalgia. Baru sampai gerbang masjid, langkahnya terhenti. Ia memandang taman di depan masjid, benaknya melayang sekali lagi. Di taman yang rindang yang dipenuhi dengan rerumputan dan beberapa tanaman buah. Dulu ia sering mengikuti acara forum yang digelar bersama teman sekelasnya. Bersama teman-temannya bertukar pikiran dengan topik tertentu dan tak jauh-jauh dari masalah keagamaan, kadang lebih banyak acara makan dan bercandanya daripada diskusinya. Senyum mengembang di bibir Lavina, kaki dilangkahkan menuju dalam masjid. Perlahan kakinya menyusuri selasar masjid menuju tempat wudhu, lagi-lagi Lavina bernostalgia, ia sering bersantai di selasar masjid bersama dengan teman segenknya. Lavina mengambil air wudhu dan membasuh mukanya. Segarnya air keran ia rasakan, make upnya hanyut terbawa air yang membasuh mukanya. Berulang kali ia membasuh mukanya. Setelah berwudhu Lavina terlihat lebih segar dan tanpa make up pun parasnya sudah terlihat menawan. Lavina segera menuju ruang utama masjid. Masjid kampusnya masih seperti ia kuliah dulu, hanya ada sedikit tambahan di beberapa tempat. Lavina memasuki masjid dan menaiki tangga, antara jamaah pria dan wanita memang terpisah. Untuk laki-laki biasanya di bawah dan untuk para wanita di lantai dua. Diambil mukena dari tasnya, ia memang selalu membawa mukena, salah satu benda yang jarang dibawa oleh wanita lainnya yang lebih memilih membawa alat make up. Lavina menunaikan kewajibannya dengan khusuk, gerakannya tak terlalu dipercepat seperti biasanya, ketika Lavina harus bersaing dengan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Lavina mengakhiri dengan salam, ucapakan syukur ia panjatkan pada-NYA dengan segala kenikmatan hidup yang telah ia dapatkan, di dalam doa juga terselip satu permintaan yang selalu dipanjatkan. Ya Rabb jika ia memang jodoh yang memang KAU persiapkan untukku maka jagalah hati ini sampai ia kembali padaku, namun jika ia bukan jodoh yang KAU persiapkan untukku, maka hapus dia dari hatiku, dan pertemukan aku dengan jodohku, segera. Doa telah ia panjatkan, Lavina melepas mukenanya, dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Tak sengaja ia melihat seorang wanita sedang merapikan jilbabny. Ia ingin suatu saat nanti dapat menutup aurat seperti wanita itu.Tuntutan pekerjaan membuat Lavina mengurungkan niatnya sejenak. Lavina menuruni anak tangga dan menuju pintu keluar. Dilihatnya sekali lagi beberapa sudut masjid yang sering ia kunjungi dulu. Tak disadari kakinya sudah sampai beranda masjid, di ambilnya sepatu berhaknya.
“Lavina ?” Seorang lelaki berperawakan tinggi dan berbadan sedang memecah konsentrasi Lavina yang sedang memasang sepatu di kaki kanannya.
“Gilang ? Gilang Baskara Wijaya ?” Lavina memastikan orang yang ada di depannya adalah teman lamanya.
“Lavina Palevi ?” Lelaki itu ikut-ikutan menyebutkan nama.
“Gilang...Beneran ?” Lavina mengucek-kucek matanya yang sebenarnya tak perlu dikucek.
“Iya bener, ini Lavina juga kan ?” Kembali memastikan.
“Iya, apa kabar Ge ?” Lavina biasa menyapa Gilang.
“Alhamdulilah baik, kamu ?”
“Baik juga. Sekarang kerja dimana ?” Sembari memakai sepatu bagian kiri.
“Aku enggak kerja La,” dengan sedikit menundukan kepala.
“Yakin ? Enggak kerja, kamu kan IPKnya paling tinggi di kelas,” Lavina menggoda.
“Iya, aku enggak kerja La tapi ngasih kerjaanku ke orang lain.”
“Wah udah jadi boss sekarang nih ? Bisnis apa Ge ?” Lavina kembali mengorek informasi.
“Ah bukan boss kok Cuma sedikit di atas bawahan. Bisnis pertanian sama kuliner La,” Gilang merendah.
“Wah..wah... Uda jadi orang berduit nih. Asyik, kapan-kapan harus mampir ke rumah, biar dapet cipratan,” sekali lagi Lavina menggoda.
“Boleh, mampir aja, rumahku belum pindah kok. Sekalian dibawa juga suamimu La,” Gilang menanggapi godaan Lavina.
“Hahh...” Hampir saja Lavina keceplosan untuk mengatakan jika sampai sekarang ia belum mempunyai pasangan hidup.
“Kok diem La ?” Gilang menyadari Lavina sedikit melamun ketika ia melempar tanya.
“Enggak kok, maaf Ge, aku langsung pergi. Udah jam satu nih, enggak enak sama orang kantor,” Lavina berpamitan pada Gilang. Sebenarnya ia tak terburu-buru, masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum ia kembali bekerja. Niatnya untuk mengobrol dengan teman sewaktu kuliah S1 itu diurungkan. Lavina takut jika hal yang tak ingin ia jawab ditanyakan oleh Gilang. Ia sudah bersiap ketika Gilang membahas tentang suaminya, mungkin Lavina belum siap menceritakan semuanya pada teman lamanya itu. Keduanya bertemu ketika menghadiri seminar, saling berkenalan, semakin dekat dan akrab. Pernah Gilang menyatakan perasaannya pada Lavina, namun ia hanya menjawab dengan senyuman. Lavina tidak bisa memberikan hatinya untuk Gilang, hatinya telah lama tercuri oleh teman satu angkatannya sendiri. Sejak semester awal bahkan ketika masa OSPEK kampus, sampai saat ini. Disaat yang sama Lavina dekat dengan orang yang diharapkannya itu,  Lavina berharap tak hanya sekedar menjadi teman, kekasih mungkin dan berakhir menjadi teman hidup. Sempat seseorang itu mengungkap kekagumannya pada Lavina,  namun saat itu perasaan yang sama belum tumbuh di diri Lavina, maka ditolaknya oleh Lavina. Penyelasan memang lebih banyak datang terlambat, dan hal itu yang alami oleh Lavina. Perasaan kekaguman baru tumbuh perlahan ketika orang yang diharapkannya itu pergi meninggalkannya. Ia baru sadar keterlambatannya menyadari datang cinta dalam dirinya. Setelah Lavina menolak lelaki idamannya itu, kini jarak begitu jauh di antara keduanya, bahkan untuk sekedar bertegur sapa pun tak dilakoni keduanya. Rasa segan yang terlalu tinggi, terlebih untuk Lavina. Dan kini orang yang diharapkan oleh Lavina tak hanya jauh di mata tapi menghilang dari hatinya, entah kemana, terakhir Lavina mendapatkan kabar bahwa dia kembali ke tanah kelahirannya, Medan. Berbeda dengan Gilang, penolakan memang sudah ia dapatkan dari Lavina, namun ia tak meninggalkan Lavina seperti kebanyakan orang yang ditolaknya. Ia masih berteman baik dengan Lavina sampai gelar sarjana mereka dapatkan. Namun beberapa tahun lalu Lavina senggaja menghilang. Semua akses komunikasi dihilangkan oleh Lavina, ia ingin pergi bersama harapan yang terlambat datang. Dan di hari itu Lavina bertemu dengan orang yang menjadi teman curhatnya ketika kuliah. Gilang dengan senang hati mendengarkan segala keluhan dari Lavina, keduanya saling bercerita tentang masalah pribadi dan blak-blakan tak perlu sungkan. Gilang bahkan tahu siapa sosok yang dikagumi dan diharapkan Lavina. 
Lavina telah kembali ke kantor, sebelum memasuki ruang kerjanya ia memoles kembali wajahnya di toilet. Dibersihkan wajahnya dengan toner, diambilnya krim foundation lalu diratakan ke seluruh wajahnya, dilanjutkan dengan menepuk-nepuk selaput bedak, tidak terlalu tebal dan menor, dipulaskan eye shadow berwarna natural pada kelopak matanya, dibingkai mata sipitnya dengan eye liner pencil, tak lupa sedikit maskara, terakhir dipolesnya lipstik berwarna soft pink ke bibirnya, disemprotkan parfum ke beberapa badannya, dan dandan singkat ala Lavina kelar. Ia ingin terlihat rapi dan enak dipandang mata, apalagi jika bertemu dengan atasan maupun clientnya, masak mau acak-acakan ? Sinta telah menyelesaikan tugas yang dimintanya. Ia tinggal mengeceknya, mungkin ada kekeliruan, maklum hari ini pikiran asistennya terpecah. Diletakkan tasnya di atas meja, perlahan Lavina mendudukan badannya di kursi. Disenderkan badan dan kepalanya ke kursi, sejenak matanya tertutup, pikirannya melayang jauh, membuka kenangan lamanya. Sosok yang lama tak mampir dalam benaknya itu, kini hadir kembali. Tak hanya berhasil mencuri perhatiannya, ia juga membuat Lavina mengaguminya.
“Adrian Wardhana,” Lavina menyebut nama orang yang berhasil mencuri hatinya itu. “ Kemana saja dirimu Dan ? Tidakkah kau tahu aku merindukanmu, semoga kau juga masih merindukanku. Sudahkah kau temui pasangan hidupmu ? Jika belum, aku siap menjadi teman hidupmu,” Lavina melamun sambil bergumam sendiri.
Tok..Tok..Tok, suara ketukan pintu dari luar membuyarkan semua lamunannya.
“Masuk,” dirapikan dandanannya dan dibenarkan posisinya.
“Maaf Bu menganggu, ada client yang ingin bertemu dengan Ibu,” bawahannya memberi informasi.
“Sudah ada janji ?” Lavina singkat.
“Belum Bu, tadi Saya nyari Bu Sinta enggak ketemu. Tapi saya meminta client untuk meninggalkan nomer yang  bisa dihubungi,” bawahannya menyodorkan kartu nama yang diambil dari saku bajunya.
“Oke, nanti Saya yang akan menelpon beliau langsung.”
Lavian membiarkan bawahannya keluar. Dicermatinya kartu nama yang ada di genggamannya. Sepertinya nama itu tak asing lagi baginya, dilihat alamat yang tertera dibagian bawah nama, semakin menunjukkan bahwa orang di maksud adalah temannya sendiri. Dicoba dihubungi nomer yang ada di kartu nama.
“ Selamat siang, benar ini dengan Bapak Gilang Baskara Wijaya ?”
“Iya benar, maaf ini siapa ?
“Saya Lavina Palevi dari bank yang Bapak kunjungi tadi.”
“Lavina Palevi ?”
“Iya Pak, maaf tadi asisten Saya meminta izin untuk pulang lebih awal sehingga tidak ada yang melayani Bapak. Bagaimana dengan rencana kredit yang Bapak ajukan ?
“Oh...Iya, tadi Saya sempat titip kartu nama sama orang, untuk disampaikan pada bagian simpan-pinjam. Saya bisa bertemu dengan Ibu Lavina untuk membicarakannya lebih lanjut ?”
“Tentu Pak, kapan Bapak bisa menemui Saya ?”
“Bagaimana kalau besuk ? Sebelum jam makan siang ?”
“ Bisa Pak, besuk kalau sudah sampai ke kantor bisa langsung hubungi Saya.”
“Iya. Terimakasih sebelumnya Bu.”
“Sama-sama Pak, senang bisa berpartner dengan Anda.”
“Siang.”
Lavina kembali berspekulasi. Suara calon clientnya memang terlihat sedikit kecil di bandingkan dengan suara Gilang, namun logat khas Jogja tak bisa ditutupi. Lavina semakin penasaran dengan calon clientnya itu. Besuk akan ditemuinya, dan berharap hanya kesamaan nama bukan orang. Ia masih belum siap untuk bertemu Gilang dan berbagi cerita hidupnya dengannya. Secara tidak langsung ia juga pernah mengoreskan luka di hatinya.
'
Lavina berulang kali melirik jam tangannya, ia sepertinya sudah tak sabar menemui calon clientnya. Masih satu jam lagi, Lavina kembali mempersiapkan brosur dan beberapa formulir pengajuan kredit usaha. Kuku tangannya beradu dengan meja, tak ada yang bisa diajak mengobrol, Sinta meminta izin untuk cuti. Jam dinding masih menunjuk pukul 10.00, dihilangkan kebosanan menunggu dengan membuat kopi. Sesekali Lavina berbincang dengan OB yang baru bekerja seminggu lalu, masih muda, barusan belasan tahun. Keduanya larut dalam obrolan yang kesana-sini tanpa ide pokok yang jelas. Biarlah, untuk mengusir kebosanan menunggu calon clientnya datang. Tak berapa lama ponselnya berdering. Dilayar tertera nama Bapak Gilang, segera di angkatnya.
“ Selamat Pagi Pak.”
“Pagi Bu, Saya sedang OTW ke kantor, Apakah Ibu di kantor ?”
“Iya Pak, Saya di kantor.”
“Oke, 10 menit lagi Saya sampai.”
“Baik Pak, Saya tunggu kedatangannya.”
“Selamat pagi.”
Setelah menutup percakapan dengan calon clientnya, Lavina beranjak dari sofa yang memaksa untuk tak mau ditinggalkan menuju ke ruangan untuk mengambil berkas-berkas yang sudah ia siapkan. Kembali Lavina mengecek dandanannya. Seorang bawahannya mempersilakan calon clientnya untuk masuk ke ruangannya. Lavina sudah bersiap di depan meja kerja. Jatungnya berdegup begitu kencang, tak seperti biasanya yang santai. Entah apa yang membuat jantungnya perpacu lebih kencang, dan berharap dugaannya salah. Lavina masih berharap orang yang akan ditemuinya bukan Gilang, teman kuliahnya.
Tok...Tok..Tok...
“Masuk.”
“Permisi Bu,” sambil tercengang melihat sosok wanita yang ada di depannya adalah teman kuliahnya yang kemarin baru ditemuinya setelah sekian lama lost contact.
“Gilang ?”
“Lavina ?”
Keduanya masih terpaku melihat satu sama lain, hingga Lavina memecah keheningan itu.
“Ternyata harapan memang tak sejalan dengan kenyataan,” dengan nada pasrah Lavina membuka mulut.
“Emang kenapa ? Kamu berharap yang datang Javier Hernandez kah ?” Sengaja menyindir Lavina yang ngefans berat dengan pemain asal Inggris.
“Ah...Kamu. Masih demen juga ngodain aku,” Lavina tersipu malu.
Tanpa dipersilakan Gilang telah duduk di depan Lavina. Sekarang mereka berhadap dan jaraknya hanya 10 jengkal saja, bahkan hembusan napas Lavina terdengar sangat keras. Keheningan membuat keduanya enggan untuk memulai perbincangan. Lagi-lagi Lavina harus membuka mulut duluan.
“Selamat datang di kantor kami Pak Gilang, senang bisa berpartner dengan Anda, ada yang bisa Saya bantu,” Lavina tetap memperlakukan Gilang layaknya client-client lainnya.
“Begini Bu Lavina, Saya kaget sekaligus senang bisa bertemu dengan teman lama Saya,” Gilang malah menanggapi sambutan Lavina dengan bercanda.
“Syukurlah Bapak kalau senang, Saya akan lebih senang lagi jika bisa membantu Bapak,” Lavina mulai kesal karena Gilang menanggapinya dengan bercanda.
“Jangan judes gitu Bu, nanti cantiknya ilang loh,” dan masih saja Gilang menggodanya.
“Baik Bapak, langsung saja. Ini saya ada beberapa brosur tentang kredit usaha, bisa dilihat,” sambil menyodorkan brosur pada Gilang yang masih geli melihat tingkah Lavina yang kesal padanya.
“Oya Bu Lavina, Saya cek dulu, ngomong-ngomong kok enggak ada kopi luwak ?” Gilang masih asyik menggoda Lavina.
“Sebentar Pak, Saya suruh OB untuk membuatkan kopi untuk Bapak, ada yang lain Pak ?” Lavina masih berusaha untuk melayani Gilang meskipun kini wajahnya mulai ditekuk-tekuk.
“Makasih Bu Lavina yang baik hati, tidak sombong dan suka belanja, eh... Suka menabung maksudnya.”
“Iya, sama-sama Pak.”
Gilang masih membaca brosur yang diberikan pada Lavina, ia terlihat begitu serius mencermati angka-angka yang tertera di brosur. Lavina juga masih setia menunggu keputusan dari clientnya tersebut. Tanpa di ketahui Gilang, Lavina mengamatinya. Dilihatnya tanpa berkedip. Gilang tak berubah masih seperti dulu. Wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, sifat humorisnya tak hilang, dan ...Lavina tak melanjutkan kekaguman pada seseorang yang hampir jadi pacarnya dulu. OB yang diperintahkan oleh Lavina membuat kopi memasuki ruangannya. Diletakkan dua gelas kopi luwak.
“Di minum dulu kopinya Pak mumpung masih Panas,” memecah konsentrasi Gilang membaca brosur.
“Makasih Bu. Masih suka minum kopi luwak ya ? Kalau nonton bola masih enggak ?” beberapa pertanyaan dilemparkan Gilang.
Dan kali ini Lavina menanggapinya dengan Santai. Ia tahu sifat Gilang, jika dijudesin ia makin menjadi-jadi untuk menggoda lawan bicarannya, satu-satunya jalan aman adalah mengikuti maunya, ditanggapinnya bercanda juga.
“Masih dong, nonton bolanya juga enggak mandeg. Masih dukung Barcelona ?” Lavina tak mau kalah.
“Wah..wah..wah... Udah mulai bawa-bawa tim ni ?”  Gilang sambil geleng-geleng.
“So pasti sob. Tak akan ada asap jika tak ada yang menyulut terlebih dulu apinya,” Lavina sedikit berbijak.
“Oke..oke 1-0 lah,” Gilang mengalah.
'
Kini ketakutanku terjadi juga. Aku tak berharap ia datang lagi dikehidupanku. Rasanya terlalu egois memang. Hanya saja aku belum siap. Itu saja. Seolah Tuhan tak mau melihatku mengabaikan-NYA, aku juga tahu bahwa aku belum menjalankan salah satu sunnah Nabi, menikah. Beri waktu lebih panjang lagi untukku Rabb, tidakkah kau melihat kegelisahan hati yang kian menyiksa batinku ini ? Aku meragukankan hati kecilku sendiri, tapi aku tak akan meragukan-MU sedikitpun. Sebaiknya aku tetap mempertahankannya atau mulai beranjak meninggalkan dan memulai hidup baru ?
Mengapa kau ciptakan makhluk bernama Adrian Wardhana itu ? Jika tak KAU izinkan aku untuk memilikinya. Mengapa jua KAU pertemukan aku dengannya. Jika memang dia bukan seseorang yang KAU persiapkan untukku. Aku tahu engkau pemilik segala hati ? Jika aku meminta satu hatinya untukku, apakah KAU akan mengabulkannya ?
Gejolak batin Lavina kembali menguak, sudah hampir 5 tahun ia memendamnya. Kesibukan sengaja ia jadikan alasan untuk tameng menunda kewajibannya. Diusianya yang tak lagi muda itu, ia masih saja memaksakan hatinya untuk sendiri, egoisnya. Bukankan berbagi itu menyenangkan ? Apakah trauma cinta telah membekas dalam hatinya ? Siapa gerangan orang yang tega mencincang hati Lavina secara lembut namun begitu menyakitkan. Ia harus menahan rasa kekagumannya pada orang yang dikaguminya. Ia harus menahan rasa cinta pada orang yang dicintainya, jika di suruh memilih tentunya ia lebih memilih menahan lapar selama bertahun-tahun daripada menahan gejolak jiwa sedetik saja.
“Sudah Lavina hentikan semua sandiwara ini,” sambil mengusap air mata yang tak mau ditahan keluar. “Tidakkah kau lelah dengan semua ini ? Apakah dia juga merasakan hal yang sama ? Belum Tentu.”
Lavina masih berbaring di ranjang tidur dan berselimut. Semalam ia bermimpi bertemu dengan orang yang diharapkan sekaligus disakitinya. Berbincang keduanya di dalam mimpi. Lavina dan Adrian asyik membicarakan apapun, terlebih kenangan saat kuliah dulu. Namun mimpi berubah dengan kehadiran Gilang, kenapa harus Gilang ? Tidakkah ada lelaki lain selain ia ? Di dalam mimpinya itu, Adrian melepaskan genggaman tangan Lavina dan meletakkan tangan Lavina ke tangan Gilang. Jam Weker menghentikan mimpi Lavina, ia terbangun untuk meraih jam weker yang ada di atas meja sebelah ranjangnya.
Tangisan ia hentikan. Disekanya air mata yang membasahi pipi, ia tak mau tunduk pada kesedihan hatinya. Pekerjaan menanti untuk di jamah. Lavina bergerak perlahan, dibuka selimut yang memaksa untuk terus dipeluk, beranjak ke kamar mandi. Dibasuh mukanya dengan air, terasa dingin, seperti sikap Adrian yang berubah menjadi dingin malah beku ketika penolakan meluncur dari mulut Lavina.
Di depan cermin Lavina melihat wajahnya sekali lagi. Matanya memerah, agak bengkang, pipinya masih basah, sisa tangisan semalam masih membekas. Siapa yang layak ditangisi ? Haruskah mengalir lagi air matanya ? Demi seorang lelaki yang belum tentu merasakan hal yang sama dengan dirinya. Oh malangnya Lavina, parasnya sempurna, hartanya tak kurang, dikelilingi dengan orang-orang yang baik, namun satu cacat, ia belum menemui pendampingnya, seseorang yang akan memberikan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan apa yang dimilikinya sekarang.
Ia mengambil perlengkapan make upnya. Pagi itu ia tak sesenang biasanya saat merias wajahnya. Lavina menutup kantung mata yang muncul akibat terlalu lama menangis, krim foundation diratakannya ke seluruh wajah yang terlebih dulu sudah ia dibersihkan. Suasana hati membuat dandana Lavina sedikit berbeda, eye shadow warna gelap menghiasi kelopak matanya, menyusul eye liner pencil dan maskara memperindah matanya, disapukan bedak meratas dan tipis, blush on kadang ia tambahkan untuk mempertegas tulang pipinya, terakhir ia poles lip gloss pale pink ke bibirnya. Waktu memaksa Lavina untuk bergegas menuju tempat kerja. Diambil tas dan beberapa dokumen, berpamitan pada orang tuanya dan meluncur ke tempat kerja.
“Pagi Bu,” salah satu OB menyapanya.
“Pagi Pak.”
Lavina tak mau berlama-lama berdiri, kaki jenjangnya dipaksa untuk masuk dalam ruangan kerjannya. Meja Sinta masih kosong, biasanya ia selalu datang lebih awal darinya. Tak mau membuang waktunya percuma. Lavina mengerjakan pekerjaannya sambil mendengarkan beberapa lagu favoritenya.
“Jika ada yang bilang ku lupa kau jangan kau dengar, jika ada yang bilang ku tak setia jangan kau dengar, banyak cinta yang datang mendekat ku menolak, semua itu karna ku cinta kau. Jika ada yang bilang ku tak baik jangan kau dengar, jika ada yang bilang ku berubah jangan kau dengar, banyak cinta yang datang mendekat ku menolak, semua itu karna ku cinta kau,” Lavina mendendangkan lagu lawas dari Bunga Citra Lestari yang menjadi soudtrack of lifenya. Hampir setiap pagi ia dengar dan nyanyikan. Dinikmatinya lagu itu, liriknya lah yang memaksa Lavina untuk menjadikannya lagu itu sebagai salah satu playlist favoritenya.
“Tuhan yang tahu ku cinta kau,” Sinta menyambung Lavina.
“Ah masa si ?” Lavina selalu menanggapinya Sinta yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
“Masih menjaga hati Mba ?” Sinta melempar sindiran.
“Selama lagu Yovie and Nunno judulnya masih menjaga hati, InsyaAllah masih Sin. Gimana kabar Caca ? Udah sembuhkah ? Sengaja Lavina mengalihkan topik pembicaraan. Ia tahu betul sifat Sinta, ia akan selalu menggodanya. Apalagi jika sudah masuk topik cinta, mungkin dari masuk kantor sampai pulang enggak kelar-kelar.
“Caca udah sembuh kok Mba. Kemarin dia nanyain Mba Lala, katanya sekarang Mba kok jarang maen ke rumah,” kata Sinta sambil mengambil beberapa pekerjaannya.
“Syukur deh kalau Caca udah sembuh. Nitip salam aja buat Caca, kalau ada waktu senggang kapan-kapan maen ke rumah,” Lavina berucap.
“Iya Mba, nanti Sinta sampein salamnya buat Caca.”
Keduanya larut dengan pekerjaan masing-masing. Sinta sedang mengerjakan laporan bulanan dan Lavina terlihat sedang menghentikan pekerjaannya sekarang. Ia tergoda untuk membuka laptopnya. Dihidupkan “Si Hitam” panggilan sayang untuk laptopnya itu. Tangannya beradu dengan mouse mencari file yang sengaja ia sembunyikan. Lavina tersenyum telah menemukan file yang dicarinya, dibukanya perlahan. Ditenangkan hatinya, bersiap menahan air mata yang hendak keluar, diatur posisi duduk senyaman mungkin, ia tak mau Sinta mengetahui kebiasaan Lavina jika gelisah merenggut ketenangannya.
Ia menikmati setiap detik demi detik video yang dibuat oleh Adrian. Saat mereka masih akrab, keduanya sering menghabiskan waktu bersama untuk sekedar memanfaatkan fasilitas kampus. Di dalam video itu terlihat Adrian menggoda Lavina, dan Lavina masih menanggapinya dengan bercanda, sesekali ia membandingkan Adrian dengan lelaki lain yang sedang dekat dengan dirinya. Tak hanya berdua saja, Lavina ditemani salah satu teman segenknya. Tak mau kalah juga, temannya ini ikutan aktif menggoda Adrian dan Lavina, keduanya tak dapat menyembunyikan wajah yang mulai memerah tomat karena terus digoda. Tiba di bagian akhir video, ini adalah bagian yang ditunggu Lavina, tombol Pause ditekannya, menghentikan laju video. Ini adalah saat untuk membaca kata hati Adrian yang tak diungkapkannya langsung pada Lavina.
BUAT BATU
Enaknya kamu tersenyum waktu liat tayangan ini, ini bingkisan dari aku buat persahabatan kita yang rumit. Maaf aku gak pernah punya nama bagus seperti yang kamu harapkan, bagiku kamu tetep batu yang istimewa. Jangan marah untuk semua yang aku buat karena dihadapan kamu semua rencana baik mendadak jadi berantakan. Terimakasih batu, udah mau jadi temen kecilku.    
Baru sampai kata terimakasih, dada Lavina sesak. Air mata yang sudah coba ditahannya keluar dengan perlahan, pipinya kini basah, menyadari bahwa matanya sudah berair, Lavina mengambil beberapa helai tisue yang selalu ia sedikan di laci mejanya. Disekanya dengan lembut. Sinta masih sibuk dengan kerjaannya hingga tak sadar atasannya itu kumat. Kali ini Lavina berhasil menyembunyikan air matanya dari Sinta. Ia tak melanjutkan untuk melihat videonya. Ditutup laptopnya, Lavina beranjak keluar menuju Toilet. Sinta masih sibuk dengan kerjaannya hingga ia tak sadar Lavina meninggalkannya.
“Mba...?” Dengan pandangan masih ke lembar kerjannya Sinta mencoba menanyakan hal yang membingungkannya. Sinta bertambah bingung, orang yang dipanggilnya tak berada di dekatnya. “Loh Mba Lala kok enggak ada ? Perasaan tadi masih di sini,” Sinta mengaruk rambutnya yang sebenarnya tak perlu digaruk.
Ponsel Lavina berdering mengagetkan Sinta.
“Haduh ponsel Mba Lala pake ketinggalan segala,” Sinta beranjak dari kursi dan beralih ke meja Lavina.”Gilang Barca ? Sinta sempat shock melihat nama yang tertera di layar, sejenak ia mengingat. “Bukankah Gilang Barca temen kuliah Mba Lala ? Bukannya udah lost contact lama ? Apa beda orang ?” Sinta berbicara sendiri. Membiarkan ponsel Lavina berdering, tak ada keberanian untuk mengangkatnya. Sinta kembali meletakkan ponsel ke tempat semula, tak lama ponselnya berhenti berdering.
Dari belakang Lavina muncul dengan secangkir kopi di tangannya. Bersikap seolah tak terjadi apa-apa Lavina kembali ke tempat duduknya.
“Mba tadi ada panggilan masuk di ponsel Mba, tulisannya Gilang Barca, itu bukan Gilang temen kuliah Mba dulu kan ?” Sinta melempar tanya pada Lavina yang sedang menyeruput kopi luwaknya.
Lavina belum menjawab, hening sesaat. Ia baru sadar Sinta mengetahuinya kembali menjalin hubungan dengan teman kuliah yang berusaha ia lupakan itu.
“O ya ?” Lavina singkat, lalu kembali diam.
“Gilang Barca ada berapa si ? Kayaknya Cuma satu deh ?” Sinta masih penasaran.
Lavina melirik ponselnya, dan benar saja. Satu panggilan tak terjawab dari Gilang. Keinginan untuk menelepon Gilang muncul, tapi di sebelah Sinta masih menatapnya dengan tatapan curiga.
Tak peduli dengan mata Sinta yang masih menggambarkan rasa penasaran, Lavina menghubungi kembali Gilang.
“Kenapa Ge ? Tumben pagi-pagi uda telepon ?”
“Aku kangen kamu La ?”
“Jangan bercanda deh ! Asistenku jadi melempar tatapan curiga Ge !”
“Hahahaha. Wajarlah curiga, kan enggak biasanya kamu ditelepon pria ganteng.”
“Ganteng dari mana ? Dari Gang Guru kah ?”
“Wah pelanggaran ini, sudah bawa-bawa rumah, emang Gang Pramuka oke ?”
“Oke..oke... Ini mau pamer gang rumah apa gimana ?”
“Nanti siang ada acara enggak La ? Aku mau ngajak kamu makan siang di luar.”
“Nanti siang ? Kayaknya enggak ada Ge.”
“Jadi bisa dong makan bareng ?”
“Kamu enggak makan siang bareng istri kamu ?”
“ Kalau aku maunya sama kamu. Gimana ?
Sedeng lo Ge, punya istri kok di anggurin ?”
“Ya udah ntar aku jemput kamu, da Bu manager.”
Baru mau melempar pertanyaan Gilang terburu-buru menutup teleponnya. Kebiasaan Gilang yang belum hilang, selalu memutus sambungan telepon ketika si penerima telepon belum menyetujui pembicaraan. Pikiran Lavina sejenak melayang, bukankah tak baik ia pergi dengan suami orang walaupun hanya sekedar bertemu dengan teman lama ? Tidakkah ia menyakiti hati wanita lain ?
“Ge itu Gilang temen kuliahnya Mba Lala kan ?” Sinta masih belum menghentikan penasarannya.
“Sin ? Aku kira kamu sudah berhenti mencurigaiku ? Masih penasaran ya ?” Lavina menggoda Sinta.
“Iya Mba, penasaran banget. Cerita dong Mba !” Sinta memelas.
“Emm... Kapan-kapan aja yah Sin, Mba lagi sibuk nih,” Lavina beralasan.
“Ah Mba Lala enggak asyik, enggak mau cerita lagi sama Sinta,” Sinta ngambek.
Lavina hanya membiarkan Sinta memonyongkan bibirnya tanda kalau keinginananya tidak dituruti Lavina.
 Pekerjaan membuat Lavina tak menyadari jam sudah menunjukkan pukul 12.00, dirapikan kembali pekerjaannya, dan dimasukkan ke dalam map. Lavina beranjak dari tempat duduk, diarahkan badannya menuju meja Sinta.
“Yang masih ngambek make upnya jadi jelek tuh.”
“Ah masak si Mba ?” Sinta refleks mengambil cermin yang selalu ada di laci mejanya dan melihat dandanannya.
“Iya kan Sin ?”
“Enggak kok Mba, perasaan Mba Lala aja mungkin ?”
“Makanya jangan ngambek nanti make upnya jadi jelek Sin. Mba keluar dulu ya.”
“Emang mau kemana Mba ? Mba enggak bawa bekal dari rumah ? Mau makan di luar ? Sama Siapa Mba ?” Gaya bertanya Sinta sudah seperti polisi yang menginvestigasi penjahat.
“Si..Sin..Sin.” Lavina coba menghentikan mulut Sinta yang menyerocos dengan berbagai pertanyaan yang menghakiminya. “Kamu ini nanya apa lari marathon si ?”
“Habisnya Mba Lala enggak mau cerita si. Kalau ada kesempatan buat mengorek info kan Sinta manfaatkan sebaik mungkin Mba,” Sinta membela diri.
“Ntar tunggu waktu yang tepat Sin,” Lavina singkat. Kemudian beranjak keluar ruangan meninggalkan Sinta yang masih ditemani rasa penasarannya.
Di ruang tunggu terlihat Gilang sedang duduk. Penampilannya rapi sekali, kemeja biru muda dipadukan celana hitam, dan jas warna senada dengan celananya. Seperti bukan Gilang saja mungkin dia telah bermetamorfosis. Gilang menengok ke belakang ketika mendengar suara sepatu berhak tinggi semakin mendekatinya.
“Uda lama Ge ?”
“Baru 10 menitan kok La.”
“Tumben rapi apa biasanya juga uda rapi Ge ? Kamu berubah Ge.”
“Tumben aja La, tadi aku ketemu client dulu. Kamu enggak berubah La ?
“Maksudnya Ge ?”
“Kamu tetep cantik seperti dulu.”
“Tapi kamu enggak berubah juga Ge.”
“Apanya La ?”
“Gombalnya. Kamu enggak sadar sudah ada istri yang menunggumu di rumah. Ini juga pake ngajak makan siang segala. Sok-sokan lagi, emang aku mau ?” tak tanggung-tanggung Lavina menyindir Gilang.”
“Aku pengen ngobrol sama kamu La !” Raut muka Gilang berubah jadi serius.
Melihat perubahan raut muka Gilang, Lavina juga ikut serius.
“Oke,” Lavina menyetujui permintaan Gilang.
Gilang melangkahkan kaki keluar duluan disusul dengan Lavina. Ada tanda tanya besar dan banyak pertanyaan yang muncul di benaknya yang siap ia keluarkan ketika kesempatan untuk bertanya didapatnya.
Sampai di depan kantor mobil berwarna silver berplat AB menghampirinya. Lavina belum sadar yang ada di dalam mobil adalah Gilang.
“La masuk !” Gilang membuka kaca mobilnya.
“Heh...Iya,”Lavina masuk dengan sedikit bengong. Ia baru sadar yang menyuruhnya masuk adalah teman kuliahnya yang dulu naik motor vespa jadulnya dan sekarang sedan mewah menjadi tunggangannya.
“Mau makan di mana La ?” Gilang memberi tawaran.
“Terserah kamu aja Ge,” Lavina mengikut.
“Warung lesehan deket kampus mau ?” tawar Gilang.
“Mau.”
Gilang mengarahkan mobilnya ke arah Jalan Solo, dikendarainya dengan kecepatan sedang. Gilang meraih CD dan menyetelnya. Lagu Maliq & D’essentials mengalun perlahan. Dibalik sosok Gilang yang terlihat riang dan humoris ternyata untuk selera lagu ia lebih memilih lagu medium beat bahkan terkesan melankolis. Lavina menikmati nada-nada yang cenderung membuat hatinya lemah, disenderkan badannya, sesekali kakinya bergerak mengikuti irama lagu. Percakapan belum mereka keluarkan sedari keduanya duduk di dalam mobil. Lavina juga enggan melakukannya, ia sedang menikmati musiknya.
“Sampai asyiknya jadi enggak mau ngbrol La ?” Kali ini Gilang yang memulai percakapan.
“Habis lagunya enak si Ge, slow bikin hati adem,” Lavina membenarkan diri.
“Sebenanya aku belum married La.”
Lavina belum menanggapi pernyataan yang dilontarkan Gilang barusan. Ia paling tidak menyukai topik pembicaraan yang sudah lari ke ranah pernikahan. Dikucek matanya, benarkah mimpi atau nyata ? Dicubit pipinya sendiri, Lavina merasakan sakit, berarti bukan mimpi. Dan memang Lavina tak bermimpi seperti harapannya.
“Apa..? Lavina mengeluarkan pernyataan ketidakpercayaannya. Kamu jangan bercanda Ge !”
“Aku serius La, apa kamu melihat wajah bercanda di rautku ?” Sambil menolehkan wajahnya ke arah Lavina. Memang tak terlihat wajah bercanda di raut Gilang. Namun ia masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Gilang.
“Kamu boleh percaya atau enggak, aku belum married La. Jadi mulai sekarang kamu tak perlu capek-capek meledekku yang seolah-olah takut bahkan tunduk pada seorang istri,” Gilang mulai mengungkap rahasianya. Awalnya aku juga tak percaya bahwa kamu juga belum menikah,” Gilang memulai babak baru sebuah percakapan dari hati ke hati.
“Aku masih belum percaya kamu belum married Ge. Soal aku, aku tak menyalahkannya. Memang benar aku sampai saat ini masih menyandang status lajang,” Lavina juga memulai pengakuannya.
“Kalau perlu kamu tanyakan saja pada orang tuaku, pembuktian bahwa mulutku ini bukan tong kosong,” tawar Gilang.
“Tak perlu Ge, jika memang belum menikah itu juga bukan urusanku. Sepenuhnya itu adalah privasi kamu, aku tak punya hak,” Lavina kembali mengungkap argumennya.
Sedan yang dikendarai Gilang telah sampai ke tempat yang dituju. Keduanya keluar dari mobil. Lavina lebih dulu masuk dalam warung.
“Pak biasa ya !” Sembari memilih tempat duduk. Tanpa mempedulikan Gilang yang baru saja keluar mobil.
“Mau pesen apa Mas ?” Pak Potter menawari Gilang.
“Sama seperti Mbanya tadi ?
“Mba Lala ?” Pak Potter memastikan.
“Iya, Pak.”
Gilang menyusul ke tempat duduk yang telah dipilih Lavina. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan. Makan siang yang ia rencanakan sedikit gagal. Ia menyesal telah berucap tentang dirinya sewaktu perjalanan menuju warung lesehan itu. Tak tahan lagi Gilang dengan ucapan Lavina yang selalu membawa-bawa kata istri. Ditepiskan rasa penyesalannya, dan mantap menuju Lavina. Daripada perasaan bersalah selalu menganggu ketenangannya hari itu juga ia melakukan pengakuan dosa pada Lavina.
Gilang duduk tak jauh dari Lavina. Diamatinya raut muka Lavina. Masih nampak muka kekesalan diwajahnya. Ia tahu bahwa telah merusak mood Lavina.
“Maaf La, bikin kamu jadi kayak gini ?” Perlahan Gilang berbicara.
“Uda aku maafin kok,” sedikit manyun Lavina menjawab.
“Tapi kok keliatannya maafnya enggak ikhlas La ?”
“Aku ikhlas kok, lagian aku enggak ngerasa kamu berbuat salah sama aku. Cuma miss communication, dan itu salahku karena memutus semua komunikasi termasuk denganmu,” Lavina mengaku.
“Iya aku tahu kok La, sekali lagi aku minta maaf,” kembali Gilang memohon.
“Pesenanya Mas,” Pak Potter tiba dengan nampan yang berisi pesanan mereka.
“Makasih Pak,” Lavina berujar.
“Sama-sama La, cobain dulu jus stoberinya !” Bujuk Pak potter.
“Enak Pak, manisnya Pas kok,” Lavina langsung menyeruput jus kesukaannya itu.
“Akrab bener La ? Sering makan di sini ya ?”
“Dulu waktu kuliah lumayan sering Ge,” sekarang wajah Lavina sudah berseri kembali. Dengan lahap ia memakan ayam bakar.
“Makan yang banyak La, enggak ada target buat diet kan ?” Gilang menggoda.
“Enggak kok, santai Ge,” dengan mulut penuh makanan Lavina menjawab.
Keduanya larut dalam makan siang. Gilang juga kadang mengisi perutnya di Warung TPI. Maklum anak kost kalau enggak makan di warung burjo, warung padang, mungkin warung makan lesehan jadi alternatif. Lavina begitu menikmati ayam bakarnya, tak ada rasa segan untuk melahap menu favoritenya bersama teman lamanya.
Di tempat ini juga ia bertemu dengan Adrian. Gilang dan Adrian tergabung dalam satu UKM. Mereka berteman baik dan tanpa sepengetahuan Lavina. Di tempat ini pula mereka saling mencurahkan kegelisahan hati masing-masing, ternyata keduanya mengharapkan orang yang sama yaitu Lavina. Gilangpun menerima penolakan dari Lavina begitu juga dengan Adrian. Hati Lavina belum terbuka untuk salah satu dari mereka. Sampai sekarang Gilang dan Adrian masih saling memberi kabar.
'
 Dari hari ke hari kedekatan antara Lavina dan Gilang terjalin. Sepertinya mereka mengulang kembali masa-masa seperti kuliah. Tak ada yang perlu ditutupi, kini Sinta juga sudah mengetahui keduanya menjalin silaturahmi setelah lama terputus. Gilang adalah client Lavina begitu juga dengan Lavina adalah partner Gilang. Mereka bekerja sama seperti simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu dengan lainnya. Hampir setiap hari mereka bertemu, untuk urusan bisnis terutama bahkan sekedar mengobrol dan menikmati kopi luwak bersama.
Kekagumanan yang dulu hampir sirna kini kembali datang. Gilang memang mengagumi Lavina sejak mereka bertemu. Kecantikan paras Lavina membutakan Gilang, tutur kata yang baik, dan sopan santun khas orang Timur menambah pesona Lavina dimata Gilang. Gilang tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan bertemu dengan Lavina. Diajaknya Lavina ke tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi sewaktu kuliah. Jalan-jalan saat senja satu dari hal yang mereka sukai. Atau hunting ke tempat-tempat bersejarah di kota istimewa ini. Gilang selalu menjadikan Lavina sebagai modelnya, dan tak sungkan Lavina pun mengiyakan permintaannya. Di samping sebagai wirausaha muda Gilang juga mempunyai hobi fotografi yang menurun dari ayahnya. Lavina pun senang saja berpose di depan kamera, tak ada rasa canggung atau kaku. Lavina bak model profesional yang sudah biasa bergaya di depan kamera. Sejalan dengan keinginan Lavina ketika kecil menjadi model profesional, tapi ketika dewasa dibelokannya mimpi itu, ia memilih bekerja di pemerintahan. Saat kelelahan menghinggapi, warung lesehan yang berada di sepanjang trotoar Malioboro menjadi pilihan untuk mengisi perut. Harganya murah rasanyapun enak. Berbagai macam makanan khas lesehan ada. Saat masih kuliah mereka sering berburu tempat makan lesehan yang sesuai dengan kantong mereka, terkadang keduanya bergiliran untuk membayar makanannya, kenangan yang membuat gelak tawa muncul.
Lavina pun begitu, ia telah membuka hati untuk Gilang. Ia tak lagi mengingat masa lalu yang buruk bersama Gilang. Hanya kenangan indah yang dia biarkan masih mengisi benaknya. Kadang Gilang mengingatkannya dengan sosok yang jauh, Adrian. Gilang dan Adrian sama-sama memiliki sorot mata yang tajam, itu mengapa Lavina sering tak membiarkan matanya terus-menerus bertatapan dengan mata Gilang. Nostalgia bersama Gilang begitu dinikmati oleh Lavina, namun hatinya tak diajaknya mengikuti nostalgia itu. Lavina tetap pada keyakinan hatinya, ia hanya menyimpan satu nama dalam hatinya dan menutup rapat sampai orang yang ia harapkan datang kepadanya.
Tapi mungkinkah ? Kini Adrian bak di telan bumi. Pernah terbesit di benak Lavina untuk bertanya pada Gilang tentang teman satu UKMnya itu, siapa tahu ada harapan. Namun segera diurungkan niatnya dan mengubur dalam-dalam. Lavina tak mau menyakiti lagi hati orang yang telah memberikan sedikit kebahagiaan padanya sekarang. Dengan Lavina  bersikap sewajarnya pada Gilang, ia tak mau disebut pemberi harapan palsu. Nampaknya Gilang juga dapat membaca pikiran Lavina yang masih belum bisa menghilangkan sosok Adrian dalam benaknya. Diam-diam Gilang menjalin komunikasi dengan Adrian. Bahkan mereka adalah partner bisnis dan menganggapnya sebagai keluarga.
 Dibalik ketenangan jiwa terselip sekelumit kegelisahan hati. Bagaimana tidak ? Seorang Gilang menyimpan rahasia besar tentang Adrian bertahun-tahun. Memang senyumnya selalu mengembang dihadapan Lavina, tapi tahukah Lavina, ia menangis di dalam hatinya ? Gilang memang menyimpan rapat hubungannya dengan Adrian, bahkan ini adalah amanat langsung dari Adrian. Adrian berpesan padanya untuk merahasiakan keberadaannya tanpa menyebutkan apa alasannya. Bagi Gilang bak buah simalakama, ia harus menjaga amanah sahabatnya tapi di satu sisi dia ingin membantu Lavina menemukan pujaan hati yang sengaja hilang.
Menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan apa yang ia tahu bukan perkara yang mudah, Gilang harus tersiksa menyimpan pesan temannya itu. Tapi demi sebuah persahabatan sesekali mengalah, mengalahkan ego diri. Setiap ada kesempatan untuk berbicara tentang Adrian, perasaan bersalah terlebih dulu membayangi Gilang, terkesan maju-mundur dan tega atau tidak tega. Demi orang yang dikaguminya itu, Gilang tak sampai hati untuk membuka memori Lavina dengan Adrian. Pernah Gilang merasakan mendapat kesempatan ketika Adrian memberikan amanat untuk tidak memberitahu keberadaannya, bukankah itu kesempatan Gilang untuk memiliki Lavina seutuhnya ? Secara tidak langsung Adrian telah mundur dalam persaingan merebutkan hati Lavina, dan ini adalah kesempatan untuk Gilang mencuri hati Lavina kembali. Tapi melihat Lavina saja Gilang sudah pesimis, ia seperti tak memberi kesempatan kedua pada Gilang. Sepertinya yang ada di benak wanita pujaannya itu hanya Adrian, Adrian, dan Adrian.
Adakah sedikit namaku di hatimu, Lavina ? Mengapa kau tak memberi kesempatan kedua untukku ? Akankah kau menunggu pujaan hatimu yang telah melupakanmu ? Sadarkah kau menyiksa batinmu sendiri ? Sadar Lavina...Sadar Lavina... Sempurnanya parasmu, lembutnya tutur katamu...dan sebuah kesetian yang terus kau pertahankan untuknya ? Mengapa cintamu tak dapat kumiliki ? Salahkah ku bila kau yang ada di hatiku ? Jawablah semua tanyaku ini, walaupun hanya dengan secuil senyummu itu. Namun kupastikan kau menjadi milikku seutuhnya.
Gilang bertekad untuk memperjuangkan kekagumannya pada Lavina. Satu jalan terbesar sudah ia lalui, Adrian sendiri memberikan lampu hijau untuknya. Kini tinggal meyakinkan hati Lavina untuk membuang semua kenangannya dengan Adrian, tidak mudah memang tapi ingat pepatah “alah karena biasa ” Gilang mulai membangun kepercayaan diri. Ia menyiapkan dirinya untuk layak memiliki sosok Lavina yang nyaris sempurna dimatanya. Ia ingin memiliki bidadari yang telah berhasil mencuri semua hati dan perhatiannya. Baginya senyum Lavina senyumnya, sedih Lavina sedihnya, ia ingin menyatu dengan jiwa Lavina, membangun sebuah bahtera pernikahan dengan pujaan hatinya. Lelah sudah menjadi seorang pemuja rahasia, bukankah hanya bisa menikmati keindahan dan kesempurnaan Lavina tanpa ia tahu bahwa seseorang telah mengaguminya sejadi-jadinya. Oh Tuhan inikah salah satu kenikmatan dari-MU ? Menikmati keindahan bidadari yang turun dari Surgamu ? Jadikan aku dengan dia satu.
Kesibukan mengurus beberapa bisnis tak menghalangi Gilang untuk terus memperjuangkan cintanya, sebagian penghasilan ia sisihkan untuk pernikahan kelak dengan Lavina. Tak jarang Gilang juga berkunjung ke rumah calon mertuanya, untuk sekedar mengenal satu sama lain, tanpa sepengetahuan Lavina. Dan hubungan Gilang dan Lavina semakin dekat saja, orang-orang sering memuji mereka sebagai pasangan yang serasi. Lavina yang berparas menawan serta Gilang yang tampan. Senyum simpul terkembang dari bibir Lavina ketika mendapatkan pujian itu dan Gilang selalu mengamini doa dari orang-orang yang memujinya, seolah mengharapkan doa itu terwujud kelak. Tapi hati Lavina ? Masihkah ada sosok Adrian bersarang di lapisan terbawah hatinya ? Diluar memang Lavina selalu terlihat ceria, seolah kesedihan dan air mata tak ada dalam kamus hidupnya. Itu penilai orang,yang merasakan hanya Lavina seorang. Ia memang berusaha membuka hati yang sudah terlanjur tergembok dan kuncinya dibawa seseorang yang pergi meninggalkannya. Oh malang sekali nasibmu nak, begitu sempurnanya ragamu itu, kekayaan juga menyertaimu, dan orang-orang baik selalu berada dibelakangmu, tapi satu, belumkah kau pilih satu lelaki untuk bersanding bersamamu ? Membangun bahtera kehidupan ? Kapan kau merelakan hatimu untuk orang yang mencintaimu ? Tidakkah kau lelah terus-menerus menunggu dia yang entah kau tahu atau tidak melihat kau lemah tak berdaya karna cinta ? Bangun Lavina, ini sudah pagi, tidakkah kau terlalu nyenyak dengan  mimpi dan anganmu yang melambung tinggi dengan dia ? Tidakkah kau lihat sesosok lelaki telah menantimu di depan hatinya ? Apakah keindahan Adrian telah membutakan mata hatimu, atau bahkan merenggut hati kecilmu hanya untuknya ? Demi waktu kau merugi Lavina.
'
Kabar baik menyapa Lavina ia diangkat sebagai wakil direktur di tempat bekerjanya. Kabar baik itu langsung disampaikan oleh direkturnya. Tak sia-sia usahanya selama ini, ia serahkan waktunya untuk pekerjaannya, sampai hatinyapun terabaikan. Hari ini Lavina akan menjalani acara pengesahan dirinya menjadi wakil direktur. Beberapa persiapan telah ia lakukan, terutama mental. Memikul beban mejadi wakil direktur tidak mudah. Sejak pagi ia sudah mempersiapkan diri, tak seperti biasa Lavina melakukan ritual mandinya 30 menit lebih lama dari biasanya, berdadan secantik mungkin, dan membalut badannya dengan pakaian terbaiknya. Ia pergi bersama dengan restu orang tuanya. Terkembang senyum kebanggaan dari ayah dan bundanya, namun senyum mereka belum sempurna, ada satu keinginan yang belum dipenuhi oleh Lavina, memberikan cucu pada mereka.
“Ayah bangga pada Lavina, diusia yang hampir masuk kepala tiga ini ia telah mencapai semua keinginannya,” Ayah Lavina memuji anaknya.
“Iya Yah, Bunda juga bangga pada anak kita. Namun sayang, ia belum menyempurnakan kebahagiannya Yah,” Bunda menimpali.
“Serahkan pada Yang Maha memiliki hati Bun, biar DIA yang membukakan pintu hati anak kita,” Ayah menyambung.
“Kenapa Lavina masih juga dingin, bukankah Gilang sudah menyedikan kehangatan untuknya Yah ?” Tanya Bunda.
“Memang Gilang telah bersiap dengan kehangatannya, namun jika kehangatan itu hanya di dapat dari satu sumber gimana Bun ?” Ayah malah melempar tanya.
“Ayah ini, ditanya malah balik nanya,” Bunda sedikit kesal.
“Serahkan saja pada yang di atas Bun, kita hanya bisa berdoa. Semoga Lavina segera mendapatkan pasangan hidup yang terbaik untuknya. Ayah sudah ingin sekali menimang cucu Bun, pengen sekali dipanggil kakek,” Ayah Bijak.
“Amin, Yah. Semoga Lavina segera mendapat pengganti dari Adrian. Bunda juga pengen dipanggil nenek loh,” Bunda tak mau kalah.
“Sudah... Sudah ngobrolnya, Ayah mau kasih makan si cantik dulu,” Ayah berjalan menuju kadang burung beonya.
“Bunda juga mau nyuci dulu kok.”
30 Menit perjalanan menuju kantor dirasakan begitu lama, maklum kalau hari Senin jalanan mendadak ramai oleh pekerja kantor atau para pencari ilmu. Lavina mengarahkan kaki ke Toilet, ia mau mengecek dandanannya. 5 menit di dalam Toilet, Lavina kini beranjak ke ruang kerjanya. Tak seperti biasa, lorong menuju ruang kerjanya sepi bahkan tak ia temui OB yang selalu mengepel saat ia tiba di kantor. Diliriknya jam tangannya, jam setengah delapan tepat. Disentup daun telinga pintu dan dibukanya.
Surprise...” Serentak semua yang berada dalam ruangannya berteriak.
Lavina masih kaget, ekspresi senang mulai muncul di rautnya. Dilihatnya mereka satu persatu. Sinta,  5 karyawannya, security, dan OB, semuanya menjadi satu dalam ruangannya, dan mendadak membuat ruang kerjanya menjadi sesak oleh banyak napas yang berhembus.
“Selamat Mba Lala, uda naik jabatan,” Sinta mendekat, menyalami dan memeluknya.
“Iya, makasih Sin. Kamu yang provokasi mereka nih ?” Lavina masih kebingungan. Ia menyangka baru dirinya yang mengetahui kabar baik ini, namun ternyat Sinta dan beberapa bawahannya sudah mengetahuinya.
Bawahannya bergiliran menyalami dan memberi selamat padanya, dan mulai meninggalkan ruang kerjanya, yang tersisa hanya Lavina dan Sinta. Keduanya bertatapan dan mematung di tempat, sampai akhirnya keduanya bertingkah heboh dengan gaya masing-masing. Sinta asyik dengan gaya khasnya, ia menggoyangkan badannya ala penyanyi yang punya goyang ngebor, lain lagi dengan Lavina ia mempunyai gaya sendiri seperti selebrasi ketika Javier Hernandez mencetak gol, mencium logo lambang timnya dan mengangkat kedua tangan seperti murid menaikan telunjuk tanda bertanya.
“Goooollll...Sin...” Lavina makin menjadi.
“Iya Mba,” Sinta masih menggoyangkan pinggulnya.
Puas memberikan selebrasi dan goyangan dangdut, keduanya kompak menjatuhkan badan ke sofa. Keduanya mulai menata napas yang masih terengah-engah, keringat mengucur di dahi Sinta, ia terlalu bersemangat melakukan selebrasinya.
“Capek juga Sin,” dengan napas yang masih acak-acakan.
“Iya Mba, kita terlalu lebay jogetnya,” Sinta menimpali.
“Tapi enggak papa Sin. Uda lama juga kita enggak olahraga bareng,” Lavina membenarkan.
“Bener Mba, terakhir ikut aerobik bareng sebelum aku hamil Caca.”
“Enaknya makan dimana Sin buat syukuran ?” Lavina mulai membenarkan posisinya.
“Gimana kalau lesehan sekitar Merapi itu Mba, tempatnya cozy, makanannya enak, harga terjangkau,” Sinta memberi tawaran.
“Boleh juga, kamu yang booking ya Sin, ntar kalau udah fixed kabari aku,” Lavina mengiyakan tawaran Sinta.
“Oke Mba,” Sinta singkat.
Obrolan mereka terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar dari luar.
“Masuk,” Lavina menyahut.
Masuk salah satu OB dengan bucket mawar merah ditangannya.
“Maaf Bu menganggu, ada kiriman bunga untuk Ibu,” sambil menyerahkan kiriman bunga itu pada Lavina.”
“Makasih Pak.”
“Sama-sama Bu,” sambil beranjak keluar ruangan Lavina.
“Cie... Cie... Cie yang dapat kiriman bunga mawar merah,” Sinta menggoda.
“Apain sih Sin, kayak anak ABG aja,” sambil mengambil kartu ucapan yang ada terselip di sela-sela tangkai mawar.
“Ehem... Dari siapa tu ? Secret admirer kali Mba,” Sinta makin jadi meluncurkan godaan pada Lavina.

Buat Bidadari yang paling Cantik.
Selamat untuk kenaikan jabatanmu, La. Semoga bisa jadi atasan yang bisa mengayomi bawahannya. Tetep jadi seseorang yang rendah hati, dan pertahankan gelar sebagai atasan yang cantik luar dan dalam.
 Yang  mengagumimu,
Gilang
Lavina memincingkan mata yang menandakan ketidakpercayaan kalau yang mengirim bunga adalah Gilang. Darimana ia tahu kenaikan jabatannya. Lavina mulai mengalihkan pandangannya ke arah Sinta, dilihat Sinta asyik dengan ponselnya. Seolah tahu bahwa ia akan menjadi sasaran empuk investigasinya. Menyadari Lavina mengamatinya, Sinta menatap Lavina seolah-olah mengatakan bahwa bukan dia yang memberitahu Gilang.
“Bukan Sinta Mba, suerrrr deh,” sambil mengangkat bahunya yang menyimbolkan tanda ketidaktahuan.
“Yakin bukan kamu Sin ? Terus Gilang tahu darimana coba ?” Lavina bertanya-tanya.
“Yang pasti bukan Sinta,Mba,” Sinta terus meyakinkan.
Diraihnya ponsel disaku bajunya, dicari nama Gilang dan diteleponnya.
“Iya kenapa La ?
“Kamu kirim bunga ke kantor ?”
“Iya, uda sampai di tangan ?”
“Uda Ge, makasih sebelumnya.”
“Sama-sama La. Selamat buat kenaikan jabatan kamu.”
“Iya Ge.”
“Kapan nih syukurannya La ? Jangan lupa undang-undang loh.”
“Iya, pasti Ge.”
Lavina mematikan ponselnya. Ia sudah mengetahui siapa pengirim bunga yang ia terima, walaupun sebenarnya sudah ada nama Gilang di dalam kartu ucapan itu. Ia hanya ingin memastikannya saja. Sinta meninggalkan Lavina yang masih duduk di sofa, pekerjaan menantinya. Lavina masih berputar dengan beberapa pertanyaan yang menganggu benaknya, ia tak sempat menanyakan dari siapa Gilang mengetahui bahwa ia naik jabatan. Pertanyaan itu dibiarkan pergi dari benaknya, Lavina beranjak ke mejanya.
Ditengah-tengah kesibukan keduanya menyelesaikan pekerjaan masing-masing, telepon berdering memecah keheningan, Sinta mengangkatnya.
“Selamat siang.”
“Siang, ini Mba Sinta ?”
“Benar, dari Boyong Resto ?”
“Benar Mba, tadi setelah kami cek bookingan, ternyata untuk tanggal 10, kosong Mba.”
“Jadi bisa dibooking Mas tempatnya ?”
“Bisa Mba, untuk berapa orang ?”
“Untuk 20 orang Mas, bisa ?”
“Bisa Mba, menunya mau yang standar apa yang VIP ?”
VIP aja Mas, soal budget bisa diatur belakangan.”
“Oke Mba, nanti saya hubungi lagi untuk konfirmasi.”
“Makasih Mas.”
“Sama-sama, Mba. Makasih.”
“Iya.”
Sinta meletakkan gagang telepon dan mulai membuka obrolan dengan Lavina.
“Mba, jadinya di Boyong Resto, nanti Masnya mau konfirmasi lagi.”
“Oke Sin,” Lavina menjawab tanpa menatap mata Sinta. Ia larut dalam kesibukannya.
“Sibuk bener si Mba ?” Sinta melempar tanya.
“Iya Sin, aku mau nyelesain semua pekerjaan sebelum pindah ke pekerjaan yang menunggu dijamah.”
“Oke. Met bekerja Mba, semangat Kaka,” Sinta mengeluarkan sifat ABGnya yang sering keluar tanpa disuruh.
“Dasar anak ABG  telat sadar,” Lavina menyindir tingkah laku Sinta yang masih terlihat unyu-unyu itu.
'
Tepat pukul tujuh malam acara syukuran kenaikan jabatan Lavina dimulai. Sinta yang pandai merangkai kata, cerewet yang positive maksudnya menjadi MC. Dengan suara yang terdengar serak basah Sinta membuka acara syukuran itu. Disambutnya semua yang hadir dalam acara syukuran, dari atasan sampai bawahan. Terlihat Lavina memboyong kedua orangtuanya. Ketiganya duduk di barisan depan, dengan berpose ala foto keluarga, Lavina duduk diapit Ayah dan Bundanya.
Acara serah terima jabatan dilakukan secara resmi namun tetap santai. Wakil direktur lama terpaksa mengundurkan diri dengan karena gejala stroke. Direktur bagian cabang mendapat rekomendasi untuk memilih Lavina dari Pak Dharma. Nampak Pak Dharma sedari masuk gubuk lesehan sudah melempar beberapa senyuman khasnya untuk Lavina. Dan Lavina pun sudah menebak dalam benak bahwa Pak Dharmalah yang merekomendasikannya. Setelah beberapa sambutan dari Direktur dan Pak Dharma, acara penandatanganan berkas dilakukan oleh Lavina. Goresan tanda tangan ia lakukan dengan mantap di atas dokumen yang bermaterai itu.
Acara inti sudah terlaksana, suasana sekarang menjadi agak santai. Live music terdengar mengalun dari kejauhan. Terlihat beberapa pengunjung asyik bermain perahu getek di kolam. Suasana begitu mendukung, tidak terlalu dingin, angin gunungpun berhembus semilir. Seolah semesta mendukung kebahagiaan Lavina, langit cerah, bintang-gemintang bertabur, dan sang bulan sabit malu-malu berpose. Malam itu Lavina tampil sangat cantik, auranya keluar dengan polesan make up yang pas, dibalut dengan gaun merah marun, dan rambut tergerai lurus. Beberapa pelayan membawa baki yang berisi makanan, menambah semangat para hadirin yang sudah menunggu sedari 30 menit lalu. Berbagai hidangan khas Boyong Restopun mulai tersaji di atas meja. Berbagai masakan dari ikan air tawar seperti nila goreng, ikan bawal saos asam manis, gulai gurameh, plencing kangkung, lauk-pauk beserta sambal dan lalapan, nasi yang masih mengepul yang disajikan dibakul-bakul kecil mengugah selera makan. Lavina mempersilakan semua yang hadir dalam acara syukurannya untuk menikmati hidangan yang sudah tersedia. Lavina beserta atasan dan teman sekantornya begitu menikmati hidangan, Lavina yang doyan dengan masakan ikan tawar langsung mengambil ikan bawal asam manis dengan nasi yang masih panas. Dilahapnya perlahan, sesekali menanyakan pada Bunda tentang makanan yang mereka nikmati. Raut puas nampak di masing-masing wajah, Sinta pun tak segan menambah makanan, kecil-kecil begitu kalau makannya banyak. Maklum Sinta memang sengaja tidak mengisi perutnya dari rumah dengan niat bisa makan banyak. Beberapa telah selesai menikmati hidangan, satu persatu beranjak pamit pada Lavina. Di saung masih tersisa Lavina, kedua orangtuanya dan Sinta yang masih saja menikmati gulai gurameh.
“Lapar apa doyan Sin ?” Lavina memotong kenikmatan Sinta menyantap gulai guramehnya.
“Lapar Mba, tapi doyan juga,” Sinta menanggapi dengan mulut yang penuh terisi dengan nasi dan daging gurameh.
“Makan yang banyak Sin, biar tambah gendut,” Lavina menyindir Sinta yang mempunyai perawakan kecil pendek dan cenderung tidak berkembang alias kate.
“Siap Bu wakil direktur,” Sinta menggoda.
“Malam Pak, Bu,” suara Gilang sontak memaksa pandangan beralih dari piring ke arah suara.
“Malam,”Ayah Lavina menyahut.
“Kok datengnya telat Nak ?” Bunda ikut menyahut.
“Maaf Pak, Bu, tadi Saya ada acara di kantor juga,” Gilang menjelaskan.
“O... Maklum Pak, Gilang lagi sibuk ngurusin cabang usaha yang baru dibuka,” Bunda membela.
“Iya, Bun. Ayo makan Nak Gilang, nanti keburu dihabisin Sinta,” Ayah Lavina menawari.
“Iya Pak,” Gilang duduk di dekat Sinta dan langsung mengambil nasi beserta lauk secukupnya.
Lavina terhenti sejenak, ia masih menyerapi perkataan Ayahnya. Darimana Ayahnya tahu kalau Gilang businessman, bukankah mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Nampak keakraban Ayah dan Gilang, Bundapun juga terlihat nyambung ngbrol dengan Gilang. Lavina mengakhiri makannya, dan mencuci tangannya.
“Gimana opening cabang barunya Ge,” Lavina mulai mengorek info.
“Alhamdulilah lancar La, sayang ada satu yang kurang.”
“Emang apa yang kurang ?” Lavina melempar tanya.
“Enggak ada kamu di sampingku,” Gilang menggoda Lavina.
“Kok harus aku ?” Lavina protes.
“Syukuran Mba Lala juga ada yang kurang Mas Ge,” Sinta menyahut tanpa komando.”
“Emang apa Sin ?” Gilang penasaran.
“Karena enggak ada Mas Gilang di sisi Mba Lala,” Sinta nyerocos.
Lavina dan Gilang tersenyum tersipu. Si anak kemarin itu meledek keduanya. Ayah dan Bunda hanya juga tersenyum bebarengan seolah mengiyakan ledekan bagi Lavina dan Gilang. Lavina membuang pandangan jauh ke depan, mengamati saung yang lebih terang dari lainnya. Lavina beranjak keluar, kakinya sedikit terasa keram karena duduk terlalu lama. Lavina melangkah ke saung yang menarik matanya itu. Dari jauh memang terdengar alunan lagu yang pas dengan situasi malam itu. Lavina meminta izin untuk menyanyi, dan homeband yang sedang perform itu memberikan kesempatan pada Lavina. Ia menyuruh keybordis untuk mengiringinya. Lama sekali Lavina tidak pergi ke tempat karaoke untuk sekedar membuang penat dan sekarang ada kesempatan untuk sekedar melatih suaranya. Dipilihnya lagu favoritenya, dan musik pengiringpun mengalun perlahan.
“Jika ada yang bilang ku lupa kau, jangan kau dengar. Jika ada yang bilang ku tak setia, jangan kau dengar. Banyak cinta yang datang mendekat ku menolak, semua itu karna ku cinta kau. Jika ada yang bilang ku tak baik, jangan kau dengar. Jika ada yang bilang ku berubah, jangan kau dengar. Banyak cinta yang datang mendekat ku menolak, semua itu karna ku cinta kau,” Lavina menghayati lagunya.
Terdengar beberapa tepuk tangan dari para pengunjung yang sedang menikmati hidangan. Dari kejauhan Sinta melambai-lambaikan tangannya, sesekali berteriak tidak jelas. Lavina terus mengalunkan lagu, perlahan air matanya menetes. Segera diusap dengan tisue yang berada di tangannya.
“Tuhan yang tahu ku cinta kau,” Lavina mengakhiri karaokenya.
Tepuk tangan mengalun lebih keras. Terlihat Sinta dan Gilang berjalan beriringan mendekati Lavina. Mengetahui itu, Lavina segera menghapus air matanya, dan diatur kembali napas yang sempat sesak karena terlalu menghayati lagu favoritenya itu. Dengan lembut Gilang meminta mix yang masih dipegang Lavina. Gilang mendekati Lavina, sekarang jarak mereka hanya 5 jengkal, mata mereka saling bertatapan. Lavina langsung melempar tatapan mata Gilang dengan pura-pura menatap saung di sebelahnya. Ia selalu tak tahan menatap pandangan tajamnya mata Gilang.
“Dengarkanlah wanita pujaanku. Malam ini  akan ku sampaikan. Hasrat suci kepada dewiku dengarkanlah kesungguhan ini. Aku ingin mempersuntingmu, tuk yang  pertama dan terakhir. Jangan kau tolak dan buatku hancur ku tak akan mengulang tuk meminta, satu keyakinan hatiku ini akulah yang terbaik untukmu. Dengarkanlah wanita impianku.  Malam ini akan ku sampaikan. Janji suci satu untuk selamanya dengarkanlah kesungguhan ini. Aku ingin mempersuntingmu, tuk yang  pertama dan terakhir. Jangan kau tolak dan buatku hancur ku tak akan mengulang tuk meminta, satu keyakinan hatiku ini akulah yang terbaik untukmu,” Gilang mengungkapkan perasaan dengan salah satu lagu lawas Yovie & Nuno sambil mengenggam tangan Lavina dengan lembut.
Mendapat perlakuan itu, Lavina hanya terdiam. Ia masih terpaku setelah menyenandungkan soundtrack hidup dan sekarang Gilang membuat hatinya makin melow dengan lagu yang bernada sendu sekaligus berisi harapan itu. Keduanya masih terpaku di tempat. Sinta yang mendapat suguhan konser dari hati ke hati itu segera mengabadikan moment dengan ponselnya. Lavina melempar pandangan tanda tanya pada Sinta, dan Sinta seolah pura-pura tidak melihat tatapan kegelisahan Lavina itu. Di dalam hati Lavina bergejolak berbagai rasa yang mencampur seperti permen yang mempunyai takeline manis, asam, asin, nanno rasanya. Ia membatin semoga Gilang tidak mengucapkan kalimat yang tak ingin di dengarnya. Gilang menghentikan lagunya, tak sampai akhir ia menyanyikannya. Tangan kanannya meraih benda yang ada di saku celananya. Gilang membuka perlahan, tangannya kembali meraih tangan Lavina dengan lembut.
Will you marry me ?” Gilang singkat. Sambil menyodorkan kotak berisi cincin perak kepada Lavina, dan menunggu jawaban keluar dari mulut Lavina.
Lavina masih terdiam. Kepalanya menunduk. Harapannya melenceng. Sekarang hatinya tak hanya bergejolak tapi sudah seperti perang berdarah di medan perang. Gilang mengucapkan kalimat yang tak ingin Lavina dengar yang keluar dari mulut Gilang.
“La ?” Gilang menyadarkan Lavina yang larut dalam lamunannya.
“Iiiyaa...” Lavina tergagap menjawab.
“Jawabannya ?” Gilang berbisik perlahan.
“Maaf Ge, aku enggak bisa,” Lavina melepaskan tangan Gilang yang sedari tadi mengenggam erat tangannya dan beranjak meninggalkan saung.
Melihat Lavina beranjak pergi Sinta menyusulnya dari belakang dengan sedikit berlari-lari kecil. Gilang berdiri terpaku, sebelumnya ia telah mempersiapkan diri untuk mendapat penolakan kedua kalinya dari Lavina. Diterima keputusan spontan dari Lavina, Gilang mengatur napas dan menyembunyikan raut kekecewaannya. Sampai di saung tempat Ayah dan Bunda masih berleyeh-leyeh, serta-merta Lavina mengajak kedua orangtuanya itu untuk pulang. Keduanya yang tengah asyik bernostalgia mengiyakan Lavina. Sinta baru sampai di depan saung, napasnya terengah-engah karena harus berlari-lari kecil mengejar Lavina. Gilang berada tepat di belakang Lavina. Keduanya membisu dan memberikan kesan seolah tidak ada apa-apa. Lavina melangkahkan kaki menuju tempat parkir beserta Sinta yang selalu mengutil dari belakang. Ayah dan Bunda berjalan santai bersama Gilang. Keduanya bertanya-tanya dengan sikap Lavina yang mendadak berubah. Gilang pun hanya terdiam, ia tidak mau bercerita dengan calon mertuanya itu. Ayah dan Bunda berpisah dengan Gilang di Parkiran. Lavina sesekali membunyikan klakson seolah memberi tanda pada kedua orang tuanya untuk segera masuk ke mobil. Gilang bergegas mengambil mobil dan mengutit Lavina dari belakang.
Lavina merebahkan badan ke ranjangnya. Bukan lelah fisik yang ia rasakan tapi lelah batin yang memaksa air mata keluar dari kelopak matanya. Diambil bantal untuk menutup wajahnya yang basah air mata. Ia tak menyangka Gilang masih memendam perasaan padanya. Padahal ia sama sekali tak memberikan kesempatan pada Gilang. Mungkin Cupid sedang iseng menancapkan panah cinta ke Gilang. Lavina membuang jauh prasangkaburuk pada Gilang. Ia berusaha memejamkan mata, usahanya belum juga membuahkan hasil, ia masih terjaga dengan mata yang terus berair dan membasahi bantalnya. Ponsel bergetar perlahan. Satu pesan masuk, dilihatnya perlahan, matanya mendadak melotot melihat dari siapa pesan berasal, Bingkisan Tuhan.
Malam Batu,
Lama tak bersua teman kecilku. Gimana kabar kamu sekarang ? Masih cantikkah ? Masih keras kah kepalamu ?
Selamat buat kenaikan pangkatmu, semoga bisa menjadi teladan bawahanmu, selalu jadi orang yang rendah hati.

Adrian Wardhana.
Lavina makin melotot, di baris terakhir nama Adrian Wardhana tercantum. Berbagai pertanyaan sekarang memenuhi benaknya. Apakah benar orang yang mengirim pesan itu adalah bingkisan Tuhannya atau orang lain yang sedang iseng mengerjainnya. Kalau benar itu Adrian dari mana ia mendapatkan nomernya ? Dan bagaimana ia tahu Lavina naik jabatan ? Segelintir pertanyaan berputar-putar dalam benaknya. Tak menyiakan waktu, Lavina segera membalas.
INI ADRIAN WARDHANA KAH ?
Semenit balasan muncul.
IYA.
Lavina makin penasaran.
ENGGAK BERCANDA KAN ?
Balasan kembali masuk.
:)
Lavina membalas.
APA BUKTINYA KALAU ANDA ADRIAN WARDHANA ?
Lavina menunggu balasan pesan dari orang yang mengaku sebagai Adrian.
BUAT BATU
ENAKNYA KAMU TERSENYUM WAKTU LIAT TAYANGAN INI, INI BINGKISAN DARI AKU BUAT PERSAHABATAN KITA YANG RUMIT. MAAF AKU GAK PERNAH PUNYA NAMA BAGUS SEPERTI YANG KAMU HARAPKAN, BAGIKU KAMU TETEP BATU YANG ISTIMEWA. JANGAN MARAH UNTUK SEMUA YANG AKU BUAT KARENA DIHADAPAN KAMU SEMUA RENCANA BAIK MENDADAK JADI BERANTAKAN. TERIMAKASIH BATU, UDAH MAU JADI TEMEN KECILKU.   
Mata Lavina makin melotot melihat balasan yang ia terima. Kata-kata itu berasal dari Adrian dalam video yang diberikan padanya. Ia belum percaya sepenuhnya pada pengirim pesan. Ia berniat meneleponnya, namun ponselnya mati duluan, Lavina lupa menchargingnya.
'
Sudah tujuh hari Lavina sengaja tak menerima panggilan maupun pesan dari Gilang. Hampir setiap 3 jam sekali ponselnya berdering, namun sama sekali tak ia hiraukan. Lavina masih shock dengan apa yang dilakukan Gilang padanya, setelah 5 tahun lalu Gilang menyatakan perasaannya sekarang ia kembali mengulanginya, seolah tak takut dengan penolakan dari Lavina. Sekarang Lavina telah berpindah tempat kerja. Tak ada si anak ABG telat sadar itu yang menemani hari-harinya. Atasannya memindahkan Lavina ke kantor pusat untuk memudahkan hubungan pekerjaan. Sudah seminggu juga Lavina menyimpan rasa penasaran terhadap orang yang mengaku sebagai Adrian-nya. Ia belum berani menghubungi lagi, walaupun rasa rindu begitu menyiksa batinya.
Tak hanya Lavina yang tersiksa batinnya, Gilang pun merasakannya. Ia mendapatkan penolakan untuk kedua kalinya dari bidadari yang dikaguminya. Pun lebih tersiksa lagi, ia tak dapat bertemu dengan Lavina, menikmati senyum manis, paras menawan, dan celotehan khas Lavina. Ia hanya bisa mengetahui keadaan Lavina dari Sinta yang sengaja dimintanya menjadi mata-mata. Kekalahan kedua sedang dirasakan oleh Gilang, dengan sombongnya ia ingin memiliki Lavina seutuhnya. Terpikir Gilang untuk meminta wejangan dari sahabatnya, Adrian. Kebetulan Adrian mendapat tugas kantor ke Yogyakarta selama 2 pekan, kesempatan ini dimanfaatkan Gilang selain untuk berbisnis sekaligus bernostalgia dengan sahabatnya itu. Gilang pun tak segan untuk menjemput Adrian di bandara dan menyuruh sahabatnya itu tinggal sementara di rumahnya.
Gilang mengutarakan gejolak batinya pada Adrian. Senyum simpul ditampakkan oleh Adrian. Entah itu senyum karena shock mendengar cerita Gilang atau senyum bermakna bahwa usaha Gilang untuk mencuri hati Lavina gagal. Dengan bijak Adrian memberi wejangannya, diberi semangat untuk Gilang serta diceritakan beberapa sikap Lavina yang kurang baik. Keduanya saling bercerita satu sama lain. Di akhir obrolan keduanya bercerita, pengakuan keluar dari mulut Adrian. Ia berkata bahwa sampai saat ini juga belum bisa melupakan Lavina. Walaupun ia pergi menyebreang pulau, yang tak hanya sehari dua hari, tapi bertahun-tahun namun tetap saja belum bisa melupakan orang yang mencuri seluruh perhatiannya itu. Gilang tercengang mendengar setiap kata yang terucap dari mulut Adrian. Ia tak percaya bahwa Adrian tetap memelihara rasa kekagumannya pada Lavina. Ini artinya satu saingan tumbuh lagi, bahkan dapat dipastikan memenangkan persaingan hati. Keduanya mengakhiri perbincangan, Adrian harus menemui timnya untuk melaksanakan tugas, sedang Gilang ada meeting dengan partner.
Beberapa rencana muncul di benak Gilang, bukan rencana baik tentunya. Entah setan mana yang menanamkan pengaruh pada Gilang. Ia berusaha untuk menyembunyikan kehadiran Adrian dari Lavina. Kebetulan Lavina sedang tak ingin berhubungan dengannya dan ini adalah moment yang bagus tanpa harus banyak berbohong. Senyum congkak terlihat di raut Gilang menandakan bahwa ia akan segera merealisasikan rencananya itu.
Adrian mulai bergegas ke tempat yang sudah disepakati. Dengan menggunakan taksi Adrian berangkat. 15 menit perjalanan menuju tempat makan lesehan, Adrian tiba ditempat yang disepakati. Kaki dilangkahkan masuk ke dalam, dan mendekat menuju kerumunan temannya. Meeting sengaja digelar di luar kantor, setelah selesai rapat bisa langsung mengisi perut dan notabene mereka sudah bosen dengan suasana rapat yang terlalu formal. Mata Adrian menatap sosok yang tak asing baginya, di meja nomer 7 ia menangkap sosok Lavina. Samar memang namun ia tak lupa dengan wajah cantik Lavina. Diraih ponselnya dan dicari nama Lavina yang ia tulis dengan Bingkisan Tuhan. Beberapa detik panggilan menyambung, dari jauh terlihat Lavina sedang meraih ponsel yang di dalam tasnya. Adrian masih mengamati Lavina dari jauh. Panggilannya tak langsung diangkat oleh Lavina, masih didiamkan. Adrian berkata dalam hati untuk menyuruh Lavina mengangkat ponselnya, dan setelah satu menit panggilan di abaikan, Lavina mengangkatnya.
“Adrian ?”
“Lavina.”
“Ini benar Adrian Wardhana ?”
“Benar. Ini benar Batu ?”
“Benar.”
“Aku lagi di Jogja, La.”
“Jooogja..?”
“Iya, La.”
“Kemana saja kamu ?”
“Aku pergi menenangkan hati tapi gagal, La.”
“Kenapa ? Kau masih tak bisa mengusir kehadiranku dibenakku, Ar.”
“Iya La. Kamu masih seperti dulu tak berubah sedikitpun.”
“Maksud kamu ?”
“Kamu masih cantik dan keras kepala ?”
“Masih suka kumat Ar ?”
“Kumat apanya ?”
“Ngegombalnya.”
“Ar, aku merindukanmu. Tak lelahkah kau terus menyiksaku dengan rasa rindu ini ?”
“Tak hanya kau,La. Aku juga merasakannya. Jauh lebih dari dirimu ?”
Telepon terputus ketika Adrian melihat sosok Gilang dari luar  menuju tempat lesehannya. Darimana Gilang tahu dia ada disini, mungkin dari Mba Minah, pembantunya. Gilang makin mendekat dan duduk di sebelah Gilang, ternyata keduanya berkerjasama untuk project Adrian dan timnya. Adrian masih shock, ia tak mengira bakal satu project dengan sahabatnya.
“Maaf telat, tadi saya ketemu partner dulu,” Gilang meminta maaf untuk keterlambatannya.
“Iya Pak, kami maklum kok. Bapak kan sibuk,” salah satu tim menanggapinya.
“Langsung dimulai saja rapatnya,” Ketua tim membujuk.
Lavina tengah asyik menikmati penyetan bersama rekan kantornya, tak lupa ia mengajak mantan asistennya itu. Kenyang telah dirasa oleh Lavina, ia beranjak untuk mencuci tangannya, disusul dengan Sinta dibelakangnya. Keduanya sempat berebut mencuci tangan di tempat yang sudah disediakan, bak adek-kakak yang kalau ketemu berantem terus dan jarang yang mau mengalah. Pandangan Lavina sesaat terfokus pada seorang lelaki yang sedang berbicara, ia begitu mengamati sosok lelaki itu, tak sadar kaki Lavina melangkah perlahan. Mengetahui Lavina bertingkah aneh, Sinta memanggil nama Lavina untuk menghentikan langkahnya, namun tak berhasil. Langkahnya terhenti ketika sosok yang diamati dari jauh memang tidak salah lagi dengan pikirannya. Adrian Wardhana kini ada di depannya. Semua pandangan yang awalnya terfokus pada Adrian, kini beralih pada Lavina. Menyadari Adrian diacuhkan, pandangannya mengikuti arah yang memecah konsentrasinya. Mata Lavina menatap tepat pada mata Adrian. Keduanya mematung satu sama lain, di samping Adrian, Gilang pun juga memincingkan matanya. Ketiganya menjadi mematung. Sinta mengenggam tangan Lavina untuk kembali ke meja mereka, namun Lavina melepaskan genggaman itu. Mengetahui yang di depannya adalah orang begitu diharapkan mantan atasannya itu, Sinta mematung. Dengan sekonyong-konyong Lavina mendekati sosok pujaan hatinya itu, dipeluknya erat raga lelaki yang dengan setia ia tunggu. Sambil berbisik di telinga Adrian “nikahi aku sayang.”
'
Ketika cinta turun ke langit dunia tak ada satupun makhluk yang kuasa menolaknya. Jika kau mau memutar sejarah, bisa kau ambil kisah dari Barat atau Timur. Ambil saja contoh kisah Romeo-Juliet dari peradaban bangsa Barat dan Layla-Majnun dari bangsa Timur. Bukankan keduanya menceritakan perjuangan, pengorbanan, keegoisan manusia, air mata, senyum munafik, merah darah, penghianatan, kebutaan hati, kenekatan yang sengaja ditampakkan, untuk apa ? Kalau bukan cinta. Pernah kau merasa jiwamu itu tersentuh barang gaib yang menyelinap dalam ruang kosong hatimu, memenuhi benakmu dengan satu sosok, tak hanya itu, mata beningmu mendadak buta, senyum simpul kini lebih mengembang, dan hari-harimu tak akan jauh-jauh dari orang yang kau kagumi itu. Pernah ? Pastilah pernah, namun sengaja kau hindari bukan ? Ruginya dirimu itu, tak kau nikmati salah satu karunia-NYA, menikmati keindahan makhluk ciptaan-NYA, sungguh sayang tak kau gubris perasaanmu itu. Sibukkah kau dengan duniamu ? Bukankah Tuhan menciptakan kita berpasang-pasangan, jangan egois saja, tak selamanya kau akan memiliki dirimu itu. Jangan menjadi Lavina kedua ! Kau tahu mengapa, kau melewatkan kesempatan untuk menikmati apa itu cinta, bukan bermaksud untuk menyuruhmu seperti Juliet yang dengan bodohnya menerima nasehat dari pemuka agama, yang mengakibatkan kekasihnya mati mengenaskan, dan ia menyusul pujaan hatinya ke alam yang lebih kekal abadi. Jika suatu saat kau temui sebuah jalan dengan dua arah yang sangat membingungkanmu, tanyakan pada-NYA dan hati kecilmu itu, bukankah kau berTUHAN dan berPERASAAN bukan seperti malaikat yang tak punya NAFSU. Temukan orang yang tepat untuk menjadi teman hidupmu kelak, mulai dari sekarang !
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar