Ketika Cinta Turun Ke Langit Dunia
Parasnya cantik kombinasi antara Jawa dan Arab. Kulitnya kuning
langsat, alisnya tebal, matanya cokelat, bulu matanya lentik, hidungnya mancung
ala turunan Timur Tengah, dan bibirnya tipis berwarna cerah, rambut hitam lurus
terurai panjang melengkapi kecantikannya. Tak hanya itu, badannya ramping,
tinggi semampai, namun tetap berisi tak seperti wanita masa kini yang kurus bak
model profesional.
Lavina Palevi, nama yang diberikan kedua orang tuanya, anak
tunggal dari pasangan Edvan Palevi dan Upik Widyatmoko. Bundanya tak bisa
memberinya teman rumah karena beberapa kali sang bunda mengalami keguguran, dan
hal itu memaksa Lavina menjadi anak satu-satunya keluarga Palevi.
Diusianya yang hampir menginjak kepala tiga Lavina juga belum
berniat mengakhiri masa lajangnya. Ia tahu bahwa ayah dan bundanya sudah tak
sabar ingin menimang cucu darinya. Tapi apa daya keinginanpun belum terbesit
dalam benaknya. Ia masih senang dengan kesendirian yang selalu ditemani dengan
kesibukan rutinitas bekerja. Bukan tak ada yang mau melamar Lavina, hanya saja
semua lamaran itu belum ia terima, sudah tiga orang pria mengajukan lamaran
untuk menjadi pendamping Lavina, namun tak satupun CV untuk posisi sebagai
calon suaminyapun di acc. Daya pikat Lavina masih saja menggoda lelaki
bujang, tak terlihat ia hampir masuk kepala tiga, ia awet muda. Terbukti
semakin banyak saja pria yang melamarnya. Tak hanya parasnya yang menawan
Lavina juga berpendidikan tinggi, gelar master dari negara kanggurupun ia
dapatkan, pun berasal dari keluarga baik-baik, dan kariernya bagus, jadi tak
ada alasan untuk tidak melamar Lavina.
Setelah menamatkan S2nya di Australia Lavina kini bekerja di
salah satu bank besar di Yogyakarta, dan menjabat sebagai manager pemasaran.
Memang kesibukan selalu menyingkirkan pikirannya untuk sekedar termenung dan
memikirkan teman hidupnya kelak. Ia lebih memilih menyusun strategi pemasaran
daripada harus bermenye-menye dengan cinta, masa sekolah sudah banyak
memberikan pengalaman bagaimana pahit dan manisnya cinta. Sampai tingkat perguruan
tinggipun ia masih menikmati indahnya cinta, tapi sekarang barang satu menitpun
ia tak sempat, tak mau lebih tepatnya.
Kesibukan memaksa Lavina untuk datang ke kantor sebelum jam
delapan dan pulang paling akhir dari karyawan lain. Sengaja memang, Lavina
lebih suka menghabiskan waktu di dalam ruangan kerjanya daripada berada di
kamarnya, kadang ia membawa novel dari penulis favoritenya, Mira W. Ketika
pekerjaan sudah ia selesaikan, Lavina mengisinya dengan membaca novel yang ia
bawa, kadang mengobrol dengan asisten yang seruangan dengannya. Iri sering
mengelayut dalam benak Lavina, asistennya itu selalu bercerita tentang tingkah
anak balitanya yang lagi lucu-lucunya. Senyum simpul dilemparkan pada
asistennya ketika pertanyaan kapan mau memiliki momongan diajukan padanya.
Sindiran itu memang hanya sepele kedengarannya, tapi tidak bagi Lavina.
Bayangkan di usia 24 tahun asistennya itu sudah dikaruniai dua buah hati,
sedangkan Lavina, belum satupun. Ingin rasanya, tapi hanya ingin, belum mau
merealisasikannya.
“Mba Lala nanti siang ada rapat dengan atasan,” asisten
membuyarkan lamunanya.
“Iya.” Lavina menjawab singkat.
Lavina kembali membuka-buka pekerjaannya. Diselesaikan satu per
satu sebelum rapat dengan atasannya. Dibantu dengan asistennya yang sedikit
terlihat cemas sedari masuk ruangannya. Tak seperti biasa asistennya terlihat
memikirkan sesuatu.
“Kamu kenapa Sin ?” Lavina mencoba mencari tahu apa yang telah
memecah konsentrasi asistennya itu.
“Enggak Mba,” Sinta menyembunyikan kecemasannya dari Lavina.
“Enggak seperti biasanya kamu cemas gini, kamu sakit Sin ?”
Kembali Lavina mengorek info.
“Caca Mba,” Sinta membingungkan Lavina dengan jawabannya.
“Kenapa Caca Sin ?”
“Caca sakit Mba, dari kemarin badannya panas. Maaf saya jadi
enggak konsen kerjanya,” akhirnya Sinta mengaku.
“Udah di bawa ke dokter Sin ?” Sisi empati Lavina keluar.
“Sudah Mba, agak mendingan dari hari sebelumnya.”
“Ya sudah, setelah rapat nanti kamu boleh pulang,” Lavina
memberikan tawaran.
“Mba serius ?” Sinta memastikan kalau Lavina memang memberikan
izin untuknya pulang lebih awal.
“Iya Sin, kasian anak kamu, dia butuh kamu,” sisi keibuan
Lavina mulai nampak.
“Makasih Mba,” Sinta berujar pada Lavina.
“Iya, sama-sama Sin. Semoga Caca lekas sembuh. Bisa lari-lari
lagi, teriak-teriak, dan nyanyi lagu favoritenya,” Lavina mendiskripsikan
tingkah laku Caca yang sering diceritakan Sinta.
Lavina keluar ruangan, kakinya dilangkahkan menuju Pantry.
Ia haus, tehnya sudah habis dan ia berniat untuk menggantinya dengan kopi luwak
kesukaannya.
Setengah jam lagi rapat dengan atasanya, pekerjaan ia serahkan
pada asistennya. Lavina kembali mereview materi presentasinya. Hari ini ia akan
memberikan hasil analisinya dan beberapa alternatif untuk strategi pemasaran.
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Lavina bergegas menuju ruangan rapat,
atasannya memang belum nampak, namun beberapa kepala bagian sudah berada di
dalam ruangan. Lavina sengaja duduk di dekat kursi atasannya, kursi tersebut
malah sering tak dipakai, yang lain lebih memilih kursi yang jauh dari kursi
atasan. Kesempatan diambil oleh Lavina, dengan dekat atasan ia mampu menyerap
dengan baik apa yang disampaikan oleh atasannya, bukan apa-apa suara dari
atasannya ini terlalu kecil, maklum sudah sepuh. Rapat telah dimulai,
kali ini Lavina hanya sendiri, ia tak menyuruh Sinta untuk menemani menghadiri
rapat rutin. Dimintanya Sinta untuk mengerjakan pekerjaannya.
Giliran Lavina
menyampaikan presentasinya. Dengan suara yang sedang, Lavina menyampaikan
strateginya, Pak Dharma hanya menganguk-anguk sembari terus menyimak apa yang
disampaikan oleh Lavina. Cukup 15 menit Lavina menyampaikan usulannya,
dilanjutkan dengan karyawan lainnya. Rapat berlangsung lebih cepat dari
biasanya, Pak Dharma selaku atasan telah menerima semua usulan dari karyawan dan
ditutup acara rapatnya itu olehnya. Lavina terlihat puas, terlihat wajah Pak
Dharma yang tersenyum sumringah sedari awal ia mempresentasikan
bahannya. Tanda bahwa usulannya akan disetujui oleh atasannya tersebut. Lavina
keluar dari ruangan rapat, ia sempat berpapasan dengan Sinta. Terlihat Sinta
terburu-buru keluar dari kantor.
“Ati-ati Sin ! Enggak usah ngebut jalanan lagi macet kalau jam
makan siang,” Lavina memberikan wejangan pada Sinta.
“Iya Mba,” bukannya keluar Sinta berbalik arah dan berpamitan
pada Lavina, dipeluknya Lavina dengan spontan.
Lavina tak menyangka Sinta akan memeluknya, sambil berusaha
melepaskannya. Orang-orang disekitar mereka sedang mengamati adegan yang jarang
ditemui. Manager dan asistennya sedang berpelukan, mungkin salah satunya mau
pergi jauh.
“Sin..Sin..,” Lavina menyadarkan Sinta yang masih memeluknya
erat.
“Maaf Mba, makasih uda ngizinin Saya pulang cepet,” Sinta mulai
melepaskan pelukannya pada Lavina perlahan.
“Iya. Tapi enggak usah pake peluk-pelukan segala lagi Sin,
takutnya ntar Saya membeda-bedakan karyawan,” Lavina menjelaskan.
“Iya...Maaf Mba. Sinta pamit dulu ya Mba,” Sinta mulai menjauhi
Lavina dan menuju pintu keluar.
Perut Lavina protes minta untuk diisi, 45 menit mengikuti rapat
membuat perutnya keroncongan. Diambilnya tas di ruangannya dan bergegas keluar.
Biasanya ia makan siang bareng dengan Sinta, keduanya sering membawa bekal dari
rumah. Lavina dan Sinta sama-sama anak tunggal, dan enaknya jadi anak tunggal
walaupun sudah nikah masih juga dimanja oleh orang tua. Selain itu mereka lebih
menyukai masakan buatan ibu masing-masing, sesekali mereka makan siang diluar,
biar enggak bosen kata keduanya kompak.
“Enaknya makan apa ya ?” Lavina bertanya pada dirinya.
“Kayaknya ayam bakar Pak Potter enak,” gumam Lavina sendiri.
Motor ia kendarai dengan kecepatan sedang, ia mengarahkan
motornya menuju warung dekat kampus sewaktu menempuh pendidikan S1nya. Warung
Pak Potter biasa Lavina menyebutnya. Nama sebenarnya adalah Warung TPI, seperti
nama stasiun televisi swasta yang hampir bangkrut dan sekarang telah berganti
nama serta mulai bangkit. Pernah Lavina iseng-iseng menanyakan kenapa namanya
Warung TPI ? Bapak-bapak yang biasanya melayaninya cuma tersenyum saja, ia
hanya menjelaskan bahwa TPI adalah singkatan dari titipan Illahi. 15 menit
perjalanan menuju Warung TPI, ia memarkirkan motornya di halaman warung. Tempat
ini masih seperti dulu, hanya sedikit perubahan penambahan bangunan yang agak
luas. Dulu Lavina sering menghabiskan waktu bersama teman satu genknya untuk
makan siang dan menunggu jam kuliah selanjutnya. Warung terbagi menjadi dua
bagian, bagian di depan lebih luas dari belakang. Pemiliknya sengaja membuat
konsep lesehan, yang bagi orang
Jawa makan dengan lesehaan itu lebih nikmat daripada harus duduk di kursi
ala-ala orang Barat. Tikar sengaja di gelar, di atasnya meja dari bambu masih
dipertahankan, dan beberapa lampu hias masih menggantung di langit-langit. Pak
Potter mengagetkan Lavina dari belakang, mungkin dari tadi dia sudah melihat
Lavina namun tak segera disapanya melihat Lavina dengan seksama mengamati
setiap sudut warungnya itu.
“La, bengongnya kok lama banget ?” Pak Potter mengagetkan
Lavina.
“Iya Pak, Saya lagi nostalgia dengan tempat ini, sudah lama
enggak kesini. Gimana kabar Bapak, sehatkan pak ?” Lavina mulai berbincang
dengan Pak Potter.
“Alhamdulillah baik, lah kamu gimana ? Semenjak lulus kamu
jarang ke sini La, gawe di mana ?” Pak Potter melempar tanya.
“Baik juga Pak. Saya kerja di bank daerah sini juga kok Pak.”
Lavina menjawab tanya Pak Potter. Dia selalu was-was jika ditanya oleh
orang-orang terutama kalau sudah masuk bahasan pasangan hidup. Dan berharap Pak
Potter tak menanyakannya.
“Pak pesen biasanya !” Lavina tanpa basa-basi lagi, perutnya
sudah mulai berunjuk rasa menuntut segera diturunkan makanan untuk mereka.
Sembari menunggu pesanan, Lavina kembali bernostalgia dengan
warung itu. Tatapannya berhenti pada sosok Pak Potter. Kacamata bututnya masih
setia melekat di matanya, itu sebabnya Lavina memanggilnya dengan sebutan Pak
Potter, ala-ala tokoh magician Barat dan yang tidak berubah dari Pak
Potter dari awal Lavina hingga hari itu adalah gaya dandanan dari beliau. Kaos
oblong polos dipadukan dengan celana selutut, ada lagi ditambah dengan topinya.
Kini rambut Pak Potter mulai beruban namun kegesitannya melayani pembeli tidak
berkurang dengan semakin bertaambah usianya. Setelah 15 menit menunggu pesanan
Lavina dihidangkan oleh Pak Potter.
“Ayam bakar, nasinya setengah, sambel terasi, tempe gorang sama
jus stoberi,” Pak Potter tak melupakan pesanan yang biasa Lavina pesan
sekalipun ia sudah lama tak makan di warungnya.
“Makasih Pak,” dengan sedikit tersenyum Lavina berterimakasih.
Ia tak menyangka Pak Potter masih mengingatnya.
“Manis Pak jusnya,” Lavina langsung menyeruput jus stroberi
kesukaannya.
“Iyalah, khusus Lala tak banyakin stroberi sama susunya,”
seakan sudah hapal keluhannya ketika mendapatkan jus stroberi yang kadang tak
sesuai dengan keinginannya. Terlebih jika istri atau anaknya yang membuatkan,
di tangan Pak Potter ayam bakar biasa jadi ayam bakar tak biasa dan jusnya
manisnya pas.
Setelah melempar beberapa pujian untuk Pak Potter, Lavina
memulai acara makan siangnya. Dengan lahap dan teratur Lavina memasukan ayam
bakar dengan nasi yang masih panas serta cocolan sambal terasi Pak Potter
melayangkan dirinya dengan nostalgia. Tak perlu berlama-lama, setelah menyantap
makan siangnya, Lavina segera meninggalkan warung Pak Potter. Setelah
berpamitan Lavina mengambil motornya, ia belum menunaikan kewajibannya sebagai
muslim, diarahkan motornya menuju masjid kampusnya. Diparkirkannya kendaraan di
tempat parkir. Dan melangkah menuju masjid yang sudah lama tak ia kunjungi itu.
Kakinya sengaja dilangkahkan perlahan, ia kembali bernostalgia. Baru sampai
gerbang masjid, langkahnya terhenti. Ia memandang taman di depan masjid,
benaknya melayang sekali lagi. Di taman yang rindang yang dipenuhi dengan
rerumputan dan beberapa tanaman buah. Dulu ia sering mengikuti acara forum yang
digelar bersama teman sekelasnya. Bersama teman-temannya bertukar pikiran
dengan topik tertentu dan tak jauh-jauh dari masalah keagamaan, kadang lebih
banyak acara makan dan bercandanya daripada diskusinya. Senyum mengembang di
bibir Lavina, kaki dilangkahkan menuju dalam masjid. Perlahan kakinya menyusuri
selasar masjid menuju tempat wudhu, lagi-lagi Lavina bernostalgia, ia sering
bersantai di selasar masjid bersama dengan teman segenknya. Lavina mengambil
air wudhu dan membasuh mukanya. Segarnya air keran ia rasakan, make upnya
hanyut terbawa air yang membasuh mukanya. Berulang kali ia membasuh mukanya.
Setelah berwudhu Lavina terlihat lebih segar dan tanpa make up pun
parasnya sudah terlihat menawan. Lavina segera menuju ruang utama masjid.
Masjid kampusnya masih seperti ia kuliah dulu, hanya ada sedikit tambahan di
beberapa tempat. Lavina memasuki masjid dan menaiki tangga, antara jamaah pria
dan wanita memang terpisah. Untuk laki-laki biasanya di bawah dan untuk para
wanita di lantai dua. Diambil mukena dari tasnya, ia memang selalu membawa
mukena, salah satu benda yang jarang dibawa oleh wanita lainnya yang lebih
memilih membawa alat make up. Lavina menunaikan kewajibannya dengan
khusuk, gerakannya tak terlalu dipercepat seperti biasanya, ketika Lavina harus
bersaing dengan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Lavina mengakhiri
dengan salam, ucapakan syukur ia panjatkan pada-NYA dengan segala kenikmatan
hidup yang telah ia dapatkan, di dalam doa juga terselip satu permintaan yang
selalu dipanjatkan. Ya Rabb jika ia memang jodoh yang memang KAU persiapkan
untukku maka jagalah hati ini sampai ia kembali padaku, namun jika ia bukan
jodoh yang KAU persiapkan untukku, maka hapus dia dari hatiku, dan pertemukan
aku dengan jodohku, segera. Doa telah ia panjatkan, Lavina melepas
mukenanya, dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Tak sengaja ia
melihat seorang wanita sedang merapikan jilbabny. Ia ingin suatu saat nanti
dapat menutup aurat seperti wanita itu.Tuntutan pekerjaan membuat Lavina
mengurungkan niatnya sejenak. Lavina menuruni anak tangga dan menuju pintu
keluar. Dilihatnya sekali lagi beberapa sudut masjid yang sering ia kunjungi
dulu. Tak disadari kakinya sudah sampai beranda masjid, di ambilnya sepatu
berhaknya.
“Lavina ?” Seorang lelaki berperawakan tinggi dan berbadan
sedang memecah konsentrasi Lavina yang sedang memasang sepatu di kaki kanannya.
“Gilang ? Gilang Baskara Wijaya ?” Lavina memastikan orang yang
ada di depannya adalah teman lamanya.
“Lavina Palevi ?” Lelaki itu ikut-ikutan menyebutkan nama.
“Gilang...Beneran ?” Lavina mengucek-kucek matanya yang
sebenarnya tak perlu dikucek.
“Iya bener, ini Lavina juga kan ?” Kembali memastikan.
“Iya, apa kabar Ge ?” Lavina biasa menyapa Gilang.
“Alhamdulilah baik, kamu ?”
“Baik juga. Sekarang kerja dimana ?” Sembari memakai sepatu
bagian kiri.
“Aku enggak kerja La,” dengan sedikit menundukan kepala.
“Yakin ? Enggak kerja, kamu kan IPKnya paling tinggi di kelas,”
Lavina menggoda.
“Iya, aku enggak kerja La tapi ngasih kerjaanku ke orang lain.”
“Wah udah jadi boss sekarang nih ? Bisnis apa Ge ?” Lavina
kembali mengorek informasi.
“Ah bukan boss kok Cuma sedikit di atas bawahan. Bisnis
pertanian sama kuliner La,” Gilang merendah.
“Wah..wah... Uda jadi orang berduit nih. Asyik, kapan-kapan
harus mampir ke rumah, biar dapet cipratan,” sekali lagi Lavina
menggoda.
“Boleh, mampir aja, rumahku belum pindah kok. Sekalian dibawa
juga suamimu La,” Gilang menanggapi godaan Lavina.
“Hahh...” Hampir saja Lavina keceplosan untuk mengatakan jika
sampai sekarang ia belum mempunyai pasangan hidup.
“Kok diem La ?” Gilang menyadari Lavina sedikit melamun ketika
ia melempar tanya.
“Enggak kok, maaf Ge, aku langsung pergi. Udah jam satu nih,
enggak enak sama orang kantor,” Lavina berpamitan pada Gilang. Sebenarnya ia
tak terburu-buru, masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum ia kembali bekerja.
Niatnya untuk mengobrol dengan teman sewaktu kuliah S1 itu diurungkan. Lavina
takut jika hal yang tak ingin ia jawab ditanyakan oleh Gilang. Ia sudah bersiap
ketika Gilang membahas tentang suaminya, mungkin Lavina belum siap menceritakan
semuanya pada teman lamanya itu. Keduanya bertemu ketika menghadiri seminar,
saling berkenalan, semakin dekat dan akrab. Pernah Gilang menyatakan
perasaannya pada Lavina, namun ia hanya menjawab dengan senyuman. Lavina tidak
bisa memberikan hatinya untuk Gilang, hatinya telah lama tercuri oleh teman
satu angkatannya sendiri. Sejak semester awal bahkan ketika masa OSPEK kampus,
sampai saat ini. Disaat yang sama Lavina dekat dengan orang yang diharapkannya
itu, Lavina berharap tak hanya sekedar
menjadi teman, kekasih mungkin dan berakhir menjadi teman hidup. Sempat
seseorang itu mengungkap kekagumannya pada Lavina, namun saat itu perasaan yang sama belum
tumbuh di diri Lavina, maka ditolaknya oleh Lavina. Penyelasan memang lebih
banyak datang terlambat, dan hal itu yang alami oleh Lavina. Perasaan kekaguman
baru tumbuh perlahan ketika orang yang diharapkannya itu pergi meninggalkannya.
Ia baru sadar keterlambatannya menyadari datang cinta dalam dirinya. Setelah
Lavina menolak lelaki idamannya itu, kini jarak begitu jauh di antara keduanya,
bahkan untuk sekedar bertegur sapa pun tak dilakoni keduanya. Rasa segan yang
terlalu tinggi, terlebih untuk Lavina. Dan kini orang yang diharapkan oleh
Lavina tak hanya jauh di mata tapi menghilang dari hatinya, entah kemana,
terakhir Lavina mendapatkan kabar bahwa dia kembali ke tanah kelahirannya,
Medan. Berbeda dengan Gilang, penolakan memang sudah ia dapatkan dari Lavina,
namun ia tak meninggalkan Lavina seperti kebanyakan orang yang ditolaknya. Ia
masih berteman baik dengan Lavina sampai gelar sarjana mereka dapatkan. Namun
beberapa tahun lalu Lavina senggaja menghilang. Semua akses komunikasi
dihilangkan oleh Lavina, ia ingin pergi bersama harapan yang terlambat datang.
Dan di hari itu Lavina bertemu dengan orang yang menjadi teman curhatnya ketika
kuliah. Gilang dengan senang hati mendengarkan segala keluhan dari Lavina,
keduanya saling bercerita tentang masalah pribadi dan blak-blakan tak perlu
sungkan. Gilang bahkan tahu siapa sosok yang dikagumi dan diharapkan
Lavina.
Lavina telah kembali ke kantor, sebelum memasuki ruang kerjanya
ia memoles kembali wajahnya di toilet. Dibersihkan wajahnya dengan toner,
diambilnya krim foundation lalu diratakan ke seluruh wajahnya,
dilanjutkan dengan menepuk-nepuk selaput bedak, tidak terlalu tebal dan menor,
dipulaskan eye shadow berwarna natural pada kelopak matanya, dibingkai
mata sipitnya dengan eye liner pencil, tak lupa sedikit maskara,
terakhir dipolesnya lipstik berwarna soft pink ke bibirnya, disemprotkan
parfum ke beberapa badannya, dan dandan singkat ala Lavina kelar. Ia ingin
terlihat rapi dan enak dipandang mata, apalagi jika bertemu dengan atasan
maupun clientnya, masak mau acak-acakan ? Sinta telah menyelesaikan
tugas yang dimintanya. Ia tinggal mengeceknya, mungkin ada kekeliruan, maklum
hari ini pikiran asistennya terpecah. Diletakkan tasnya di atas meja, perlahan
Lavina mendudukan badannya di kursi. Disenderkan badan dan kepalanya ke kursi,
sejenak matanya tertutup, pikirannya melayang jauh, membuka kenangan lamanya.
Sosok yang lama tak mampir dalam benaknya itu, kini hadir kembali. Tak hanya
berhasil mencuri perhatiannya, ia juga membuat Lavina mengaguminya.
“Adrian Wardhana,” Lavina menyebut nama orang yang berhasil
mencuri hatinya itu. “ Kemana saja dirimu Dan ? Tidakkah kau tahu aku
merindukanmu, semoga kau juga masih merindukanku. Sudahkah kau temui pasangan
hidupmu ? Jika belum, aku siap menjadi teman hidupmu,” Lavina melamun sambil bergumam
sendiri.
Tok..Tok..Tok, suara ketukan pintu dari luar membuyarkan semua
lamunannya.
“Masuk,” dirapikan dandanannya dan dibenarkan posisinya.
“Maaf Bu menganggu, ada client yang ingin bertemu dengan
Ibu,” bawahannya memberi informasi.
“Sudah ada janji ?” Lavina singkat.
“Belum Bu, tadi Saya nyari Bu Sinta enggak ketemu. Tapi saya
meminta client untuk meninggalkan nomer yang bisa dihubungi,” bawahannya menyodorkan kartu
nama yang diambil dari saku bajunya.
“Oke, nanti Saya yang akan menelpon beliau langsung.”
Lavian membiarkan bawahannya keluar. Dicermatinya kartu nama
yang ada di genggamannya. Sepertinya nama itu tak asing lagi baginya, dilihat
alamat yang tertera dibagian bawah nama, semakin menunjukkan bahwa orang di
maksud adalah temannya sendiri. Dicoba dihubungi nomer yang ada di kartu nama.
“ Selamat siang, benar ini dengan Bapak Gilang Baskara Wijaya
?”
“Iya benar, maaf ini siapa ?
“Saya Lavina Palevi dari bank yang Bapak kunjungi tadi.”
“Lavina Palevi ?”
“Iya Pak, maaf tadi asisten Saya meminta izin untuk pulang
lebih awal sehingga tidak ada yang melayani Bapak. Bagaimana dengan rencana
kredit yang Bapak ajukan ?
“Oh...Iya, tadi Saya sempat titip kartu nama sama orang, untuk
disampaikan pada bagian simpan-pinjam. Saya bisa bertemu dengan Ibu Lavina
untuk membicarakannya lebih lanjut ?”
“Tentu Pak, kapan Bapak bisa menemui Saya ?”
“Bagaimana kalau besuk ? Sebelum jam makan siang ?”
“ Bisa Pak, besuk kalau sudah sampai ke kantor bisa langsung
hubungi Saya.”
“Iya. Terimakasih sebelumnya Bu.”
“Sama-sama Pak, senang bisa berpartner dengan Anda.”
“Siang.”
Lavina kembali berspekulasi. Suara calon clientnya
memang terlihat sedikit kecil di bandingkan dengan suara Gilang, namun logat
khas Jogja tak bisa ditutupi. Lavina semakin penasaran dengan calon clientnya
itu. Besuk akan ditemuinya, dan berharap hanya kesamaan nama bukan orang. Ia
masih belum siap untuk bertemu Gilang dan berbagi cerita hidupnya dengannya.
Secara tidak langsung ia juga pernah mengoreskan luka di hatinya.
'
Lavina berulang kali melirik jam tangannya, ia sepertinya sudah
tak sabar menemui calon clientnya. Masih satu jam lagi, Lavina kembali
mempersiapkan brosur dan beberapa formulir pengajuan kredit usaha. Kuku
tangannya beradu dengan meja, tak ada yang bisa diajak mengobrol, Sinta meminta
izin untuk cuti. Jam dinding masih menunjuk pukul 10.00, dihilangkan kebosanan
menunggu dengan membuat kopi. Sesekali Lavina berbincang dengan OB yang baru
bekerja seminggu lalu, masih muda, barusan belasan tahun. Keduanya larut dalam
obrolan yang kesana-sini tanpa ide pokok yang jelas. Biarlah, untuk mengusir
kebosanan menunggu calon clientnya datang. Tak berapa lama ponselnya
berdering. Dilayar tertera nama Bapak Gilang, segera di angkatnya.
“ Selamat Pagi Pak.”
“Pagi Bu, Saya sedang OTW ke kantor, Apakah Ibu di
kantor ?”
“Iya Pak, Saya di kantor.”
“Oke, 10 menit lagi Saya sampai.”
“Baik Pak, Saya tunggu kedatangannya.”
“Selamat pagi.”
Setelah menutup percakapan dengan calon clientnya,
Lavina beranjak dari sofa yang memaksa untuk tak mau ditinggalkan menuju ke
ruangan untuk mengambil berkas-berkas yang sudah ia siapkan. Kembali Lavina
mengecek dandanannya. Seorang bawahannya mempersilakan calon clientnya
untuk masuk ke ruangannya. Lavina sudah bersiap di depan meja kerja. Jatungnya
berdegup begitu kencang, tak seperti biasanya yang santai. Entah apa yang
membuat jantungnya perpacu lebih kencang, dan berharap dugaannya salah. Lavina
masih berharap orang yang akan ditemuinya bukan Gilang, teman kuliahnya.
Tok...Tok..Tok...
“Masuk.”
“Permisi Bu,” sambil tercengang melihat sosok wanita yang ada
di depannya adalah teman kuliahnya yang kemarin baru ditemuinya setelah sekian
lama lost contact.
“Gilang ?”
“Lavina ?”
Keduanya masih terpaku melihat satu sama lain, hingga Lavina
memecah keheningan itu.
“Ternyata harapan memang tak sejalan dengan kenyataan,” dengan
nada pasrah Lavina membuka mulut.
“Emang kenapa ? Kamu berharap yang datang Javier Hernandez kah
?” Sengaja menyindir Lavina yang ngefans berat dengan pemain asal Inggris.
“Ah...Kamu. Masih demen juga ngodain aku,” Lavina tersipu malu.
Tanpa dipersilakan Gilang telah duduk di depan Lavina. Sekarang
mereka berhadap dan jaraknya hanya 10 jengkal saja, bahkan hembusan napas
Lavina terdengar sangat keras. Keheningan membuat keduanya enggan untuk memulai
perbincangan. Lagi-lagi Lavina harus membuka mulut duluan.
“Selamat datang di kantor kami Pak Gilang, senang bisa berpartner
dengan Anda, ada yang bisa Saya bantu,” Lavina tetap memperlakukan Gilang
layaknya client-client lainnya.
“Begini Bu Lavina, Saya kaget sekaligus senang bisa bertemu
dengan teman lama Saya,” Gilang malah menanggapi sambutan Lavina dengan
bercanda.
“Syukurlah Bapak kalau senang, Saya akan lebih senang lagi jika
bisa membantu Bapak,” Lavina mulai kesal karena Gilang menanggapinya dengan
bercanda.
“Jangan judes gitu Bu, nanti cantiknya ilang loh,” dan masih
saja Gilang menggodanya.
“Baik Bapak, langsung saja. Ini saya ada beberapa brosur
tentang kredit usaha, bisa dilihat,” sambil menyodorkan brosur pada Gilang yang
masih geli melihat tingkah Lavina yang kesal padanya.
“Oya Bu Lavina, Saya cek dulu, ngomong-ngomong kok enggak ada
kopi luwak ?” Gilang masih asyik menggoda Lavina.
“Sebentar Pak, Saya suruh OB untuk membuatkan kopi untuk Bapak,
ada yang lain Pak ?” Lavina masih berusaha untuk melayani Gilang meskipun kini
wajahnya mulai ditekuk-tekuk.
“Makasih Bu Lavina yang baik hati, tidak sombong dan suka
belanja, eh... Suka menabung maksudnya.”
“Iya, sama-sama Pak.”
Gilang masih membaca brosur yang diberikan pada Lavina, ia
terlihat begitu serius mencermati angka-angka yang tertera di brosur. Lavina
juga masih setia menunggu keputusan dari clientnya tersebut. Tanpa di
ketahui Gilang, Lavina mengamatinya. Dilihatnya tanpa berkedip. Gilang tak
berubah masih seperti dulu. Wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung,
sifat humorisnya tak hilang, dan ...Lavina tak melanjutkan kekaguman pada
seseorang yang hampir jadi pacarnya dulu. OB yang diperintahkan oleh Lavina
membuat kopi memasuki ruangannya. Diletakkan dua gelas kopi luwak.
“Di minum dulu kopinya Pak mumpung masih Panas,” memecah
konsentrasi Gilang membaca brosur.
“Makasih Bu. Masih suka minum kopi luwak ya ? Kalau nonton bola
masih enggak ?” beberapa pertanyaan dilemparkan Gilang.
Dan kali ini Lavina menanggapinya dengan Santai. Ia tahu sifat
Gilang, jika dijudesin ia makin menjadi-jadi untuk menggoda lawan bicarannya,
satu-satunya jalan aman adalah mengikuti maunya, ditanggapinnya bercanda juga.
“Masih dong, nonton bolanya juga enggak mandeg. Masih
dukung Barcelona ?” Lavina tak mau kalah.
“Wah..wah..wah... Udah mulai bawa-bawa tim ni ?” Gilang sambil geleng-geleng.
“So pasti sob. Tak akan ada asap jika tak ada yang menyulut
terlebih dulu apinya,” Lavina sedikit berbijak.
“Oke..oke 1-0 lah,” Gilang mengalah.
'
Kini ketakutanku terjadi juga. Aku tak berharap ia datang lagi
dikehidupanku. Rasanya terlalu egois memang. Hanya saja aku belum siap. Itu
saja. Seolah Tuhan tak mau melihatku mengabaikan-NYA, aku juga tahu bahwa aku
belum menjalankan salah satu sunnah Nabi, menikah. Beri waktu lebih panjang
lagi untukku Rabb, tidakkah kau melihat kegelisahan hati yang kian menyiksa
batinku ini ? Aku meragukankan hati kecilku sendiri, tapi aku tak akan
meragukan-MU sedikitpun. Sebaiknya aku tetap mempertahankannya atau mulai
beranjak meninggalkan dan memulai hidup baru ?
Mengapa kau ciptakan makhluk bernama Adrian Wardhana itu ? Jika
tak KAU izinkan aku untuk memilikinya. Mengapa jua KAU pertemukan aku
dengannya. Jika memang dia bukan seseorang yang KAU persiapkan untukku. Aku
tahu engkau pemilik segala hati ? Jika aku meminta satu hatinya untukku, apakah
KAU akan mengabulkannya ?
Gejolak batin Lavina kembali menguak, sudah hampir 5 tahun ia
memendamnya. Kesibukan sengaja ia jadikan alasan untuk tameng menunda
kewajibannya. Diusianya yang tak lagi muda itu, ia masih saja memaksakan
hatinya untuk sendiri, egoisnya. Bukankan berbagi itu menyenangkan ? Apakah
trauma cinta telah membekas dalam hatinya ? Siapa gerangan orang yang tega
mencincang hati Lavina secara lembut namun begitu menyakitkan. Ia harus menahan
rasa kekagumannya pada orang yang dikaguminya. Ia harus menahan rasa cinta pada
orang yang dicintainya, jika di suruh memilih tentunya ia lebih memilih menahan
lapar selama bertahun-tahun daripada menahan gejolak jiwa sedetik saja.
“Sudah Lavina hentikan semua sandiwara ini,” sambil mengusap
air mata yang tak mau ditahan keluar. “Tidakkah kau lelah dengan semua ini ?
Apakah dia juga merasakan hal yang sama ? Belum Tentu.”
Lavina masih berbaring di ranjang tidur dan berselimut. Semalam
ia bermimpi bertemu dengan orang yang diharapkan sekaligus disakitinya.
Berbincang keduanya di dalam mimpi. Lavina dan Adrian asyik membicarakan
apapun, terlebih kenangan saat kuliah dulu. Namun mimpi berubah dengan
kehadiran Gilang, kenapa harus Gilang ? Tidakkah ada lelaki lain selain ia ? Di
dalam mimpinya itu, Adrian melepaskan genggaman tangan Lavina dan meletakkan
tangan Lavina ke tangan Gilang. Jam Weker menghentikan mimpi Lavina, ia
terbangun untuk meraih jam weker yang ada di atas meja sebelah ranjangnya.
Tangisan ia hentikan. Disekanya air mata yang membasahi pipi,
ia tak mau tunduk pada kesedihan hatinya. Pekerjaan menanti untuk di jamah.
Lavina bergerak perlahan, dibuka selimut yang memaksa untuk terus dipeluk,
beranjak ke kamar mandi. Dibasuh mukanya dengan air, terasa dingin, seperti
sikap Adrian yang berubah menjadi dingin malah beku ketika penolakan meluncur
dari mulut Lavina.
Di depan cermin Lavina melihat wajahnya sekali lagi. Matanya
memerah, agak bengkang, pipinya masih basah, sisa tangisan semalam masih
membekas. Siapa yang layak ditangisi ? Haruskah mengalir lagi air matanya ?
Demi seorang lelaki yang belum tentu merasakan hal yang sama dengan dirinya. Oh
malangnya Lavina, parasnya sempurna, hartanya tak kurang, dikelilingi dengan
orang-orang yang baik, namun satu cacat, ia belum menemui pendampingnya,
seseorang yang akan memberikan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan apa yang
dimilikinya sekarang.
Ia mengambil perlengkapan make upnya. Pagi itu ia tak
sesenang biasanya saat merias wajahnya. Lavina menutup kantung mata yang muncul
akibat terlalu lama menangis, krim foundation diratakannya ke seluruh
wajah yang terlebih dulu sudah ia dibersihkan. Suasana hati membuat dandana
Lavina sedikit berbeda, eye shadow warna gelap menghiasi kelopak
matanya, menyusul eye liner pencil dan maskara memperindah
matanya, disapukan bedak meratas dan tipis, blush on kadang ia tambahkan
untuk mempertegas tulang pipinya, terakhir ia poles lip gloss pale pink
ke bibirnya. Waktu memaksa Lavina untuk bergegas menuju tempat kerja. Diambil
tas dan beberapa dokumen, berpamitan pada orang tuanya dan meluncur ke tempat
kerja.
“Pagi Bu,” salah satu OB menyapanya.
“Pagi Pak.”
Lavina tak mau berlama-lama berdiri, kaki jenjangnya dipaksa
untuk masuk dalam ruangan kerjannya. Meja Sinta masih kosong, biasanya ia
selalu datang lebih awal darinya. Tak mau membuang waktunya percuma. Lavina
mengerjakan pekerjaannya sambil mendengarkan beberapa lagu favoritenya.
“Jika ada yang bilang ku lupa kau jangan kau dengar, jika ada
yang bilang ku tak setia jangan kau dengar, banyak cinta yang datang mendekat
ku menolak, semua itu karna ku cinta kau. Jika ada yang bilang ku tak baik
jangan kau dengar, jika ada yang bilang ku berubah jangan kau dengar, banyak
cinta yang datang mendekat ku menolak, semua itu karna ku cinta kau,” Lavina
mendendangkan lagu lawas dari Bunga Citra Lestari yang menjadi soudtrack of
lifenya. Hampir setiap pagi ia dengar dan nyanyikan. Dinikmatinya lagu itu,
liriknya lah yang memaksa Lavina untuk menjadikannya lagu itu sebagai salah
satu playlist favoritenya.
“Tuhan yang tahu ku cinta kau,” Sinta menyambung Lavina.
“Ah masa si ?” Lavina selalu menanggapinya Sinta yang tiba-tiba
muncul dari balik pintu.
“Masih menjaga hati Mba ?” Sinta melempar sindiran.
“Selama lagu Yovie and Nunno judulnya masih menjaga hati,
InsyaAllah masih Sin. Gimana kabar Caca ? Udah sembuhkah ? Sengaja Lavina
mengalihkan topik pembicaraan. Ia tahu betul sifat Sinta, ia akan selalu
menggodanya. Apalagi jika sudah masuk topik cinta, mungkin dari masuk kantor
sampai pulang enggak kelar-kelar.
“Caca udah sembuh kok Mba. Kemarin dia nanyain Mba Lala,
katanya sekarang Mba kok jarang maen ke rumah,” kata Sinta sambil mengambil
beberapa pekerjaannya.
“Syukur deh kalau Caca udah sembuh. Nitip salam aja buat Caca,
kalau ada waktu senggang kapan-kapan maen ke rumah,” Lavina berucap.
“Iya Mba, nanti Sinta sampein salamnya buat Caca.”
Keduanya larut dengan pekerjaan masing-masing. Sinta sedang
mengerjakan laporan bulanan dan Lavina terlihat sedang menghentikan
pekerjaannya sekarang. Ia tergoda untuk membuka laptopnya. Dihidupkan “Si
Hitam” panggilan sayang untuk laptopnya itu. Tangannya beradu dengan mouse
mencari file yang sengaja ia sembunyikan. Lavina tersenyum telah
menemukan file yang dicarinya, dibukanya perlahan. Ditenangkan hatinya,
bersiap menahan air mata yang hendak keluar, diatur posisi duduk senyaman
mungkin, ia tak mau Sinta mengetahui kebiasaan Lavina jika gelisah merenggut
ketenangannya.
Ia menikmati setiap detik demi detik video yang dibuat oleh
Adrian. Saat mereka masih akrab, keduanya sering menghabiskan waktu bersama
untuk sekedar memanfaatkan fasilitas kampus. Di dalam video itu terlihat Adrian
menggoda Lavina, dan Lavina masih menanggapinya dengan bercanda, sesekali ia
membandingkan Adrian dengan lelaki lain yang sedang dekat dengan dirinya. Tak
hanya berdua saja, Lavina ditemani salah satu teman segenknya. Tak mau kalah
juga, temannya ini ikutan aktif menggoda Adrian dan Lavina, keduanya tak dapat
menyembunyikan wajah yang mulai memerah tomat karena terus digoda. Tiba di bagian
akhir video, ini adalah bagian yang ditunggu Lavina, tombol Pause ditekannya,
menghentikan laju video. Ini adalah saat untuk membaca kata hati Adrian yang
tak diungkapkannya langsung pada Lavina.
BUAT BATU
Enaknya kamu tersenyum waktu liat tayangan ini, ini
bingkisan dari aku buat persahabatan kita yang rumit. Maaf aku gak pernah punya
nama bagus seperti yang kamu harapkan, bagiku kamu tetep batu yang istimewa.
Jangan marah untuk semua yang aku buat karena dihadapan kamu semua rencana baik
mendadak jadi berantakan. Terimakasih batu, udah mau jadi temen kecilku.
Baru sampai kata terimakasih, dada Lavina sesak. Air mata yang
sudah coba ditahannya keluar dengan perlahan, pipinya kini basah, menyadari
bahwa matanya sudah berair, Lavina mengambil beberapa helai tisue yang selalu
ia sedikan di laci mejanya. Disekanya dengan lembut. Sinta masih sibuk dengan
kerjaannya hingga tak sadar atasannya itu kumat. Kali ini Lavina berhasil
menyembunyikan air matanya dari Sinta. Ia tak melanjutkan untuk melihat videonya.
Ditutup laptopnya, Lavina beranjak keluar menuju Toilet. Sinta masih sibuk
dengan kerjaannya hingga ia tak sadar Lavina meninggalkannya.
“Mba...?” Dengan pandangan masih ke lembar kerjannya Sinta
mencoba menanyakan hal yang membingungkannya. Sinta bertambah bingung, orang
yang dipanggilnya tak berada di dekatnya. “Loh Mba Lala kok enggak ada ?
Perasaan tadi masih di sini,” Sinta mengaruk rambutnya yang sebenarnya tak
perlu digaruk.
Ponsel Lavina berdering mengagetkan Sinta.
“Haduh ponsel Mba Lala pake ketinggalan segala,” Sinta beranjak
dari kursi dan beralih ke meja Lavina.”Gilang Barca ? Sinta sempat shock
melihat nama yang tertera di layar, sejenak ia mengingat. “Bukankah Gilang
Barca temen kuliah Mba Lala ? Bukannya udah lost contact lama ? Apa beda
orang ?” Sinta berbicara sendiri. Membiarkan ponsel Lavina berdering, tak ada
keberanian untuk mengangkatnya. Sinta kembali meletakkan ponsel ke tempat
semula, tak lama ponselnya berhenti berdering.
Dari belakang Lavina muncul dengan secangkir kopi di tangannya.
Bersikap seolah tak terjadi apa-apa Lavina kembali ke tempat duduknya.
“Mba tadi ada panggilan masuk di ponsel Mba, tulisannya Gilang
Barca, itu bukan Gilang temen kuliah Mba dulu kan ?” Sinta melempar tanya pada
Lavina yang sedang menyeruput kopi luwaknya.
Lavina belum menjawab, hening sesaat. Ia baru sadar Sinta
mengetahuinya kembali menjalin hubungan dengan teman kuliah yang berusaha ia
lupakan itu.
“O ya ?” Lavina singkat, lalu kembali diam.
“Gilang Barca ada berapa si ? Kayaknya Cuma satu deh ?” Sinta
masih penasaran.
Lavina melirik ponselnya, dan benar saja. Satu panggilan tak
terjawab dari Gilang. Keinginan untuk menelepon Gilang muncul, tapi di sebelah
Sinta masih menatapnya dengan tatapan curiga.
Tak peduli dengan mata Sinta yang masih menggambarkan rasa
penasaran, Lavina menghubungi kembali Gilang.
“Kenapa Ge ? Tumben pagi-pagi uda telepon ?”
“Aku kangen kamu La ?”
“Jangan bercanda deh ! Asistenku jadi melempar tatapan curiga
Ge !”
“Hahahaha. Wajarlah curiga, kan enggak biasanya kamu ditelepon
pria ganteng.”
“Ganteng dari mana ? Dari Gang Guru kah ?”
“Wah pelanggaran ini, sudah bawa-bawa rumah, emang Gang Pramuka
oke ?”
“Oke..oke... Ini mau pamer gang rumah apa gimana ?”
“Nanti siang ada acara enggak La ? Aku mau ngajak kamu makan
siang di luar.”
“Nanti siang ? Kayaknya enggak ada Ge.”
“Jadi bisa dong makan bareng ?”
“Kamu enggak makan siang bareng istri kamu ?”
“ Kalau aku maunya sama kamu. Gimana ?
“Sedeng lo Ge, punya istri kok di anggurin ?”
“Ya udah ntar aku jemput kamu, da Bu manager.”
Baru mau melempar pertanyaan Gilang terburu-buru menutup
teleponnya. Kebiasaan Gilang yang belum hilang, selalu memutus sambungan
telepon ketika si penerima telepon belum menyetujui pembicaraan. Pikiran Lavina
sejenak melayang, bukankah tak baik ia pergi dengan suami orang walaupun hanya
sekedar bertemu dengan teman lama ? Tidakkah ia menyakiti hati wanita lain ?
“Ge itu Gilang temen kuliahnya Mba Lala kan ?” Sinta masih
belum menghentikan penasarannya.
“Sin ? Aku kira kamu sudah berhenti mencurigaiku ? Masih
penasaran ya ?” Lavina menggoda Sinta.
“Iya Mba, penasaran banget. Cerita dong Mba !” Sinta memelas.
“Emm... Kapan-kapan aja yah Sin, Mba lagi sibuk nih,” Lavina
beralasan.
“Ah Mba Lala enggak asyik, enggak mau cerita lagi sama Sinta,”
Sinta ngambek.
Lavina hanya membiarkan Sinta memonyongkan bibirnya tanda kalau
keinginananya tidak dituruti Lavina.
Pekerjaan membuat Lavina
tak menyadari jam sudah menunjukkan pukul 12.00, dirapikan kembali
pekerjaannya, dan dimasukkan ke dalam map. Lavina beranjak dari tempat duduk,
diarahkan badannya menuju meja Sinta.
“Yang masih ngambek make upnya jadi jelek tuh.”
“Ah masak si Mba ?” Sinta refleks mengambil cermin yang selalu
ada di laci mejanya dan melihat dandanannya.
“Iya kan Sin ?”
“Enggak kok Mba, perasaan Mba Lala aja mungkin ?”
“Makanya jangan ngambek nanti make upnya jadi jelek Sin.
Mba keluar dulu ya.”
“Emang mau kemana Mba ? Mba enggak bawa bekal dari rumah ? Mau
makan di luar ? Sama Siapa Mba ?” Gaya bertanya Sinta sudah seperti polisi yang
menginvestigasi penjahat.
“Si..Sin..Sin.” Lavina coba menghentikan mulut Sinta yang
menyerocos dengan berbagai pertanyaan yang menghakiminya. “Kamu ini nanya apa
lari marathon si ?”
“Habisnya Mba Lala enggak mau cerita si. Kalau ada kesempatan
buat mengorek info kan Sinta manfaatkan sebaik mungkin Mba,” Sinta membela
diri.
“Ntar tunggu waktu yang tepat Sin,” Lavina singkat. Kemudian
beranjak keluar ruangan meninggalkan Sinta yang masih ditemani rasa
penasarannya.
Di ruang tunggu terlihat Gilang sedang duduk. Penampilannya
rapi sekali, kemeja biru muda dipadukan celana hitam, dan jas warna senada
dengan celananya. Seperti bukan Gilang saja mungkin dia telah bermetamorfosis.
Gilang menengok ke belakang ketika mendengar suara sepatu berhak tinggi semakin
mendekatinya.
“Uda lama Ge ?”
“Baru 10 menitan kok La.”
“Tumben rapi apa biasanya juga uda rapi Ge ? Kamu berubah Ge.”
“Tumben aja La, tadi aku ketemu client dulu. Kamu enggak
berubah La ?
“Maksudnya Ge ?”
“Kamu tetep cantik seperti dulu.”
“Tapi kamu enggak berubah juga Ge.”
“Apanya La ?”
“Gombalnya. Kamu enggak sadar sudah ada istri yang menunggumu
di rumah. Ini juga pake ngajak makan siang segala. Sok-sokan lagi, emang aku
mau ?” tak tanggung-tanggung Lavina menyindir Gilang.”
“Aku pengen ngobrol sama kamu La !” Raut muka Gilang berubah
jadi serius.
Melihat perubahan raut muka Gilang, Lavina juga ikut serius.
“Oke,” Lavina menyetujui permintaan Gilang.
Gilang melangkahkan kaki keluar duluan disusul dengan Lavina.
Ada tanda tanya besar dan banyak pertanyaan yang muncul di benaknya yang siap
ia keluarkan ketika kesempatan untuk bertanya didapatnya.
Sampai di depan kantor mobil berwarna silver berplat AB
menghampirinya. Lavina belum sadar yang ada di dalam mobil adalah Gilang.
“La masuk !” Gilang membuka kaca mobilnya.
“Heh...Iya,”Lavina masuk dengan sedikit bengong. Ia baru sadar
yang menyuruhnya masuk adalah teman kuliahnya yang dulu naik motor vespa
jadulnya dan sekarang sedan mewah menjadi tunggangannya.
“Mau makan di mana La ?” Gilang memberi tawaran.
“Terserah kamu aja Ge,” Lavina mengikut.
“Warung lesehan deket kampus mau ?” tawar Gilang.
“Mau.”
Gilang mengarahkan mobilnya ke arah Jalan Solo, dikendarainya
dengan kecepatan sedang. Gilang meraih CD dan menyetelnya. Lagu Maliq &
D’essentials mengalun perlahan. Dibalik sosok Gilang yang terlihat riang dan
humoris ternyata untuk selera lagu ia lebih memilih lagu medium beat
bahkan terkesan melankolis. Lavina menikmati nada-nada yang cenderung membuat
hatinya lemah, disenderkan badannya, sesekali kakinya bergerak mengikuti irama
lagu. Percakapan belum mereka keluarkan sedari keduanya duduk di dalam mobil.
Lavina juga enggan melakukannya, ia sedang menikmati musiknya.
“Sampai asyiknya jadi enggak mau ngbrol La ?” Kali ini Gilang
yang memulai percakapan.
“Habis lagunya enak si Ge, slow bikin hati adem,” Lavina
membenarkan diri.
“Sebenanya aku belum married La.”
Lavina belum menanggapi pernyataan yang dilontarkan Gilang
barusan. Ia paling tidak menyukai topik pembicaraan yang sudah lari ke ranah
pernikahan. Dikucek matanya, benarkah mimpi atau nyata ? Dicubit pipinya
sendiri, Lavina merasakan sakit, berarti bukan mimpi. Dan memang Lavina tak
bermimpi seperti harapannya.
“Apa..? Lavina mengeluarkan pernyataan ketidakpercayaannya.
Kamu jangan bercanda Ge !”
“Aku serius La, apa kamu melihat wajah bercanda di rautku ?”
Sambil menolehkan wajahnya ke arah Lavina. Memang tak terlihat wajah bercanda
di raut Gilang. Namun ia masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Gilang.
“Kamu boleh percaya atau enggak, aku belum married La.
Jadi mulai sekarang kamu tak perlu capek-capek meledekku yang seolah-olah takut
bahkan tunduk pada seorang istri,” Gilang mulai mengungkap rahasianya. Awalnya
aku juga tak percaya bahwa kamu juga belum menikah,” Gilang memulai babak baru
sebuah percakapan dari hati ke hati.
“Aku masih belum percaya kamu belum married Ge. Soal
aku, aku tak menyalahkannya. Memang benar aku sampai saat ini masih menyandang
status lajang,” Lavina juga memulai pengakuannya.
“Kalau perlu kamu tanyakan saja pada orang tuaku, pembuktian
bahwa mulutku ini bukan tong kosong,” tawar Gilang.
“Tak perlu Ge, jika memang belum menikah itu juga bukan
urusanku. Sepenuhnya itu adalah privasi kamu, aku tak punya hak,” Lavina
kembali mengungkap argumennya.
Sedan yang dikendarai Gilang telah sampai ke tempat yang
dituju. Keduanya keluar dari mobil. Lavina lebih dulu masuk dalam warung.
“Pak biasa ya !” Sembari memilih tempat duduk. Tanpa
mempedulikan Gilang yang baru saja keluar mobil.
“Mau pesen apa Mas ?” Pak Potter menawari Gilang.
“Sama seperti Mbanya tadi ?
“Mba Lala ?” Pak Potter memastikan.
“Iya, Pak.”
Gilang menyusul ke tempat duduk yang telah dipilih Lavina.
Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan. Makan siang yang ia rencanakan sedikit
gagal. Ia menyesal telah berucap tentang dirinya sewaktu perjalanan menuju
warung lesehan itu. Tak tahan lagi Gilang dengan ucapan Lavina yang selalu
membawa-bawa kata istri. Ditepiskan rasa penyesalannya, dan mantap menuju
Lavina. Daripada perasaan bersalah selalu menganggu ketenangannya hari itu juga
ia melakukan pengakuan dosa pada Lavina.
Gilang duduk tak jauh dari Lavina. Diamatinya raut muka Lavina.
Masih nampak muka kekesalan diwajahnya. Ia tahu bahwa telah merusak mood Lavina.
“Maaf La, bikin kamu jadi kayak gini ?” Perlahan Gilang berbicara.
“Uda aku maafin kok,” sedikit manyun Lavina menjawab.
“Tapi kok keliatannya maafnya enggak ikhlas La ?”
“Aku ikhlas kok, lagian aku enggak ngerasa kamu berbuat salah
sama aku. Cuma miss communication, dan itu salahku karena memutus semua
komunikasi termasuk denganmu,” Lavina mengaku.
“Iya aku tahu kok La, sekali lagi aku minta maaf,” kembali
Gilang memohon.
“Pesenanya Mas,” Pak Potter tiba dengan nampan yang berisi
pesanan mereka.
“Makasih Pak,” Lavina berujar.
“Sama-sama La, cobain dulu jus stoberinya !” Bujuk Pak potter.
“Enak Pak, manisnya Pas kok,” Lavina langsung menyeruput jus
kesukaannya itu.
“Akrab bener La ? Sering makan di sini ya ?”
“Dulu waktu kuliah lumayan sering Ge,” sekarang wajah Lavina
sudah berseri kembali. Dengan lahap ia memakan ayam bakar.
“Makan yang banyak La, enggak ada target buat diet kan
?” Gilang menggoda.
“Enggak kok, santai Ge,” dengan mulut penuh makanan Lavina
menjawab.
Keduanya larut dalam makan siang. Gilang juga kadang mengisi
perutnya di Warung TPI. Maklum anak kost kalau enggak makan di warung burjo,
warung padang, mungkin warung makan lesehan jadi alternatif. Lavina begitu
menikmati ayam bakarnya, tak ada rasa segan untuk melahap menu favoritenya
bersama teman lamanya.
Di tempat ini juga ia bertemu dengan Adrian. Gilang dan Adrian
tergabung dalam satu UKM. Mereka berteman baik dan tanpa sepengetahuan Lavina.
Di tempat ini pula mereka saling mencurahkan kegelisahan hati masing-masing,
ternyata keduanya mengharapkan orang yang sama yaitu Lavina. Gilangpun menerima
penolakan dari Lavina begitu juga dengan Adrian. Hati Lavina belum terbuka
untuk salah satu dari mereka. Sampai sekarang Gilang dan Adrian masih saling
memberi kabar.
'
Dari hari ke hari
kedekatan antara Lavina dan Gilang terjalin. Sepertinya mereka mengulang
kembali masa-masa seperti kuliah. Tak ada yang perlu ditutupi, kini Sinta juga
sudah mengetahui keduanya menjalin silaturahmi setelah lama terputus. Gilang
adalah client Lavina begitu juga dengan Lavina adalah partner
Gilang. Mereka bekerja sama seperti simbiosis mutualisme, saling
menguntungkan satu dengan lainnya. Hampir setiap hari mereka bertemu, untuk
urusan bisnis terutama bahkan sekedar mengobrol dan menikmati kopi luwak
bersama.
Kekagumanan yang dulu hampir sirna kini kembali datang. Gilang
memang mengagumi Lavina sejak mereka bertemu. Kecantikan paras Lavina
membutakan Gilang, tutur kata yang baik, dan sopan santun khas orang Timur
menambah pesona Lavina dimata Gilang. Gilang tidak menyia-nyiakan setiap
kesempatan bertemu dengan Lavina. Diajaknya Lavina ke tempat-tempat yang biasa
mereka kunjungi sewaktu kuliah. Jalan-jalan saat senja satu dari hal yang
mereka sukai. Atau hunting ke tempat-tempat bersejarah di kota istimewa
ini. Gilang selalu menjadikan Lavina sebagai modelnya, dan tak sungkan Lavina
pun mengiyakan permintaannya. Di samping sebagai wirausaha muda Gilang juga
mempunyai hobi fotografi yang menurun dari ayahnya. Lavina pun senang saja
berpose di depan kamera, tak ada rasa canggung atau kaku. Lavina bak model
profesional yang sudah biasa bergaya di depan kamera. Sejalan dengan keinginan
Lavina ketika kecil menjadi model profesional, tapi ketika dewasa dibelokannya
mimpi itu, ia memilih bekerja di pemerintahan. Saat kelelahan menghinggapi,
warung lesehan yang berada di sepanjang trotoar Malioboro menjadi pilihan untuk
mengisi perut. Harganya murah rasanyapun enak. Berbagai macam makanan khas
lesehan ada. Saat masih kuliah mereka sering berburu tempat makan lesehan yang
sesuai dengan kantong mereka, terkadang keduanya bergiliran untuk membayar
makanannya, kenangan yang membuat gelak tawa muncul.
Lavina pun begitu, ia telah membuka hati untuk Gilang. Ia tak
lagi mengingat masa lalu yang buruk bersama Gilang. Hanya kenangan indah yang
dia biarkan masih mengisi benaknya. Kadang Gilang mengingatkannya dengan sosok
yang jauh, Adrian. Gilang dan Adrian sama-sama memiliki sorot mata yang tajam,
itu mengapa Lavina sering tak membiarkan matanya terus-menerus bertatapan
dengan mata Gilang. Nostalgia bersama Gilang begitu dinikmati oleh Lavina,
namun hatinya tak diajaknya mengikuti nostalgia itu. Lavina tetap pada
keyakinan hatinya, ia hanya menyimpan satu nama dalam hatinya dan menutup rapat
sampai orang yang ia harapkan datang kepadanya.
Tapi mungkinkah ? Kini Adrian bak di telan bumi. Pernah
terbesit di benak Lavina untuk bertanya pada Gilang tentang teman satu UKMnya
itu, siapa tahu ada harapan. Namun segera diurungkan niatnya dan mengubur
dalam-dalam. Lavina tak mau menyakiti lagi hati orang yang telah memberikan
sedikit kebahagiaan padanya sekarang. Dengan Lavina bersikap sewajarnya pada Gilang, ia tak mau
disebut pemberi harapan palsu. Nampaknya Gilang juga dapat membaca pikiran
Lavina yang masih belum bisa menghilangkan sosok Adrian dalam benaknya.
Diam-diam Gilang menjalin komunikasi dengan Adrian. Bahkan mereka adalah partner
bisnis dan menganggapnya sebagai keluarga.
Dibalik ketenangan jiwa
terselip sekelumit kegelisahan hati. Bagaimana tidak ? Seorang Gilang menyimpan
rahasia besar tentang Adrian bertahun-tahun. Memang senyumnya selalu mengembang
dihadapan Lavina, tapi tahukah Lavina, ia menangis di dalam hatinya ? Gilang
memang menyimpan rapat hubungannya dengan Adrian, bahkan ini adalah amanat
langsung dari Adrian. Adrian berpesan padanya untuk merahasiakan keberadaannya
tanpa menyebutkan apa alasannya. Bagi Gilang bak buah simalakama, ia harus
menjaga amanah sahabatnya tapi di satu sisi dia ingin membantu Lavina menemukan
pujaan hati yang sengaja hilang.
Menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan apa yang ia tahu
bukan perkara yang mudah, Gilang harus tersiksa menyimpan pesan temannya itu.
Tapi demi sebuah persahabatan sesekali mengalah, mengalahkan ego diri. Setiap
ada kesempatan untuk berbicara tentang Adrian, perasaan bersalah terlebih dulu
membayangi Gilang, terkesan maju-mundur dan tega atau tidak tega. Demi orang
yang dikaguminya itu, Gilang tak sampai hati untuk membuka memori Lavina dengan
Adrian. Pernah Gilang merasakan mendapat kesempatan ketika Adrian memberikan
amanat untuk tidak memberitahu keberadaannya, bukankah itu kesempatan Gilang
untuk memiliki Lavina seutuhnya ? Secara tidak langsung Adrian telah mundur
dalam persaingan merebutkan hati Lavina, dan ini adalah kesempatan untuk Gilang
mencuri hati Lavina kembali. Tapi melihat Lavina saja Gilang sudah pesimis, ia
seperti tak memberi kesempatan kedua pada Gilang. Sepertinya yang ada di benak
wanita pujaannya itu hanya Adrian, Adrian, dan Adrian.
Adakah sedikit namaku di hatimu, Lavina ? Mengapa kau tak
memberi kesempatan kedua untukku ? Akankah kau menunggu pujaan hatimu yang
telah melupakanmu ? Sadarkah kau menyiksa batinmu sendiri ? Sadar
Lavina...Sadar Lavina... Sempurnanya parasmu, lembutnya tutur katamu...dan
sebuah kesetian yang terus kau pertahankan untuknya ? Mengapa cintamu tak dapat
kumiliki ? Salahkah ku bila kau yang ada di hatiku ? Jawablah semua tanyaku
ini, walaupun hanya dengan secuil senyummu itu. Namun kupastikan kau menjadi
milikku seutuhnya.
Gilang bertekad untuk memperjuangkan kekagumannya pada Lavina.
Satu jalan terbesar sudah ia lalui, Adrian sendiri memberikan lampu hijau
untuknya. Kini tinggal meyakinkan hati Lavina untuk membuang semua kenangannya
dengan Adrian, tidak mudah memang tapi ingat pepatah “alah karena biasa ”
Gilang mulai membangun kepercayaan diri. Ia menyiapkan dirinya untuk layak
memiliki sosok Lavina yang nyaris sempurna dimatanya. Ia ingin memiliki
bidadari yang telah berhasil mencuri semua hati dan perhatiannya. Baginya
senyum Lavina senyumnya, sedih Lavina sedihnya, ia ingin menyatu dengan jiwa
Lavina, membangun sebuah bahtera pernikahan dengan pujaan hatinya. Lelah sudah
menjadi seorang pemuja rahasia, bukankah hanya bisa menikmati keindahan dan
kesempurnaan Lavina tanpa ia tahu bahwa seseorang telah mengaguminya
sejadi-jadinya. Oh Tuhan inikah salah satu kenikmatan dari-MU ? Menikmati
keindahan bidadari yang turun dari Surgamu ? Jadikan aku dengan dia satu.
Kesibukan mengurus beberapa bisnis tak menghalangi Gilang untuk
terus memperjuangkan cintanya, sebagian penghasilan ia sisihkan untuk
pernikahan kelak dengan Lavina. Tak jarang Gilang juga berkunjung ke rumah
calon mertuanya, untuk sekedar mengenal satu sama lain, tanpa sepengetahuan
Lavina. Dan hubungan Gilang dan Lavina semakin dekat saja, orang-orang sering
memuji mereka sebagai pasangan yang serasi. Lavina yang berparas menawan serta
Gilang yang tampan. Senyum simpul terkembang dari bibir Lavina ketika
mendapatkan pujian itu dan Gilang selalu mengamini doa dari orang-orang yang
memujinya, seolah mengharapkan doa itu terwujud kelak. Tapi hati Lavina ?
Masihkah ada sosok Adrian bersarang di lapisan terbawah hatinya ? Diluar memang
Lavina selalu terlihat ceria, seolah kesedihan dan air mata tak ada dalam kamus
hidupnya. Itu penilai orang,yang merasakan hanya Lavina seorang. Ia memang
berusaha membuka hati yang sudah terlanjur tergembok dan kuncinya dibawa
seseorang yang pergi meninggalkannya. Oh malang sekali nasibmu nak, begitu
sempurnanya ragamu itu, kekayaan juga menyertaimu, dan orang-orang baik selalu
berada dibelakangmu, tapi satu, belumkah kau pilih satu lelaki untuk bersanding
bersamamu ? Membangun bahtera kehidupan ? Kapan kau merelakan hatimu untuk
orang yang mencintaimu ? Tidakkah kau lelah terus-menerus menunggu dia yang
entah kau tahu atau tidak melihat kau lemah tak berdaya karna cinta ? Bangun
Lavina, ini sudah pagi, tidakkah kau terlalu nyenyak dengan mimpi dan anganmu yang melambung tinggi
dengan dia ? Tidakkah kau lihat sesosok lelaki telah menantimu di depan hatinya
? Apakah keindahan Adrian telah membutakan mata hatimu, atau bahkan merenggut
hati kecilmu hanya untuknya ? Demi waktu kau merugi Lavina.
'
Kabar baik menyapa Lavina ia diangkat sebagai wakil direktur di
tempat bekerjanya. Kabar baik itu langsung disampaikan oleh direkturnya. Tak
sia-sia usahanya selama ini, ia serahkan waktunya untuk pekerjaannya, sampai
hatinyapun terabaikan. Hari ini Lavina akan menjalani acara pengesahan dirinya
menjadi wakil direktur. Beberapa persiapan telah ia lakukan, terutama mental.
Memikul beban mejadi wakil direktur tidak mudah. Sejak pagi ia sudah
mempersiapkan diri, tak seperti biasa Lavina melakukan ritual mandinya 30 menit
lebih lama dari biasanya, berdadan secantik mungkin, dan membalut badannya
dengan pakaian terbaiknya. Ia pergi bersama dengan restu orang tuanya.
Terkembang senyum kebanggaan dari ayah dan bundanya, namun senyum mereka belum
sempurna, ada satu keinginan yang belum dipenuhi oleh Lavina, memberikan cucu
pada mereka.
“Ayah bangga pada Lavina, diusia yang hampir masuk kepala tiga
ini ia telah mencapai semua keinginannya,” Ayah Lavina memuji anaknya.
“Iya Yah, Bunda juga bangga pada anak kita. Namun sayang, ia
belum menyempurnakan kebahagiannya Yah,” Bunda menimpali.
“Serahkan pada Yang Maha memiliki hati Bun, biar DIA yang
membukakan pintu hati anak kita,” Ayah menyambung.
“Kenapa Lavina masih juga dingin, bukankah Gilang sudah
menyedikan kehangatan untuknya Yah ?” Tanya Bunda.
“Memang Gilang telah bersiap dengan kehangatannya, namun jika
kehangatan itu hanya di dapat dari satu sumber gimana Bun ?” Ayah malah
melempar tanya.
“Ayah ini, ditanya malah balik nanya,” Bunda sedikit kesal.
“Serahkan saja pada yang di atas Bun, kita hanya bisa berdoa.
Semoga Lavina segera mendapatkan pasangan hidup yang terbaik untuknya. Ayah
sudah ingin sekali menimang cucu Bun, pengen sekali dipanggil kakek,” Ayah
Bijak.
“Amin, Yah. Semoga Lavina segera mendapat pengganti dari
Adrian. Bunda juga pengen dipanggil nenek loh,” Bunda tak mau kalah.
“Sudah... Sudah ngobrolnya, Ayah mau kasih makan si cantik
dulu,” Ayah berjalan menuju kadang burung beonya.
“Bunda juga mau nyuci dulu kok.”
30 Menit perjalanan menuju kantor dirasakan begitu lama, maklum
kalau hari Senin jalanan mendadak ramai oleh pekerja kantor atau para pencari
ilmu. Lavina mengarahkan kaki ke Toilet, ia mau mengecek dandanannya. 5 menit
di dalam Toilet, Lavina kini beranjak ke ruang kerjanya. Tak seperti biasa,
lorong menuju ruang kerjanya sepi bahkan tak ia temui OB yang selalu mengepel
saat ia tiba di kantor. Diliriknya jam tangannya, jam setengah delapan tepat.
Disentup daun telinga pintu dan dibukanya.
“Surprise...” Serentak semua yang berada dalam
ruangannya berteriak.
Lavina masih kaget, ekspresi senang mulai muncul di rautnya. Dilihatnya
mereka satu persatu. Sinta, 5
karyawannya, security, dan OB, semuanya menjadi satu dalam ruangannya,
dan mendadak membuat ruang kerjanya menjadi sesak oleh banyak napas yang
berhembus.
“Selamat Mba Lala, uda naik jabatan,” Sinta mendekat, menyalami
dan memeluknya.
“Iya, makasih Sin. Kamu yang provokasi mereka nih ?” Lavina
masih kebingungan. Ia menyangka baru dirinya yang mengetahui kabar baik ini,
namun ternyat Sinta dan beberapa bawahannya sudah mengetahuinya.
Bawahannya bergiliran menyalami dan memberi selamat padanya,
dan mulai meninggalkan ruang kerjanya, yang tersisa hanya Lavina dan Sinta.
Keduanya bertatapan dan mematung di tempat, sampai akhirnya keduanya bertingkah
heboh dengan gaya masing-masing. Sinta asyik dengan gaya khasnya, ia menggoyangkan
badannya ala penyanyi yang punya goyang ngebor, lain lagi dengan Lavina ia
mempunyai gaya sendiri seperti selebrasi ketika Javier Hernandez mencetak gol,
mencium logo lambang timnya dan mengangkat kedua tangan seperti murid menaikan
telunjuk tanda bertanya.
“Goooollll...Sin...” Lavina makin menjadi.
“Iya Mba,” Sinta masih menggoyangkan pinggulnya.
Puas memberikan selebrasi dan goyangan dangdut, keduanya kompak
menjatuhkan badan ke sofa. Keduanya mulai menata napas yang masih
terengah-engah, keringat mengucur di dahi Sinta, ia terlalu bersemangat
melakukan selebrasinya.
“Capek juga Sin,” dengan napas yang masih acak-acakan.
“Iya Mba, kita terlalu lebay jogetnya,” Sinta menimpali.
“Tapi enggak papa Sin. Uda lama juga kita enggak olahraga
bareng,” Lavina membenarkan.
“Bener Mba, terakhir ikut aerobik bareng sebelum aku
hamil Caca.”
“Enaknya makan dimana Sin buat syukuran ?” Lavina mulai
membenarkan posisinya.
“Gimana kalau lesehan sekitar Merapi itu Mba, tempatnya cozy,
makanannya enak, harga terjangkau,” Sinta memberi tawaran.
“Boleh juga, kamu yang booking ya Sin, ntar kalau udah fixed
kabari aku,” Lavina mengiyakan tawaran Sinta.
“Oke Mba,” Sinta singkat.
Obrolan mereka terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar
dari luar.
“Masuk,” Lavina menyahut.
Masuk salah satu OB dengan bucket mawar merah
ditangannya.
“Maaf Bu menganggu, ada kiriman bunga untuk Ibu,” sambil
menyerahkan kiriman bunga itu pada Lavina.”
“Makasih Pak.”
“Sama-sama Bu,” sambil beranjak keluar ruangan Lavina.
“Cie... Cie... Cie yang dapat kiriman bunga mawar merah,” Sinta
menggoda.
“Apain sih Sin, kayak anak ABG aja,” sambil mengambil kartu
ucapan yang ada terselip di sela-sela tangkai mawar.
“Ehem... Dari siapa tu ? Secret admirer kali Mba,” Sinta
makin jadi meluncurkan godaan pada Lavina.
Buat Bidadari yang paling Cantik.
Selamat untuk kenaikan jabatanmu, La. Semoga bisa jadi
atasan yang bisa mengayomi bawahannya. Tetep jadi seseorang yang rendah hati,
dan pertahankan gelar sebagai atasan yang cantik luar dan dalam.
Yang mengagumimu,
Gilang
Lavina memincingkan mata yang menandakan ketidakpercayaan kalau
yang mengirim bunga adalah Gilang. Darimana ia tahu kenaikan jabatannya. Lavina
mulai mengalihkan pandangannya ke arah Sinta, dilihat Sinta asyik dengan
ponselnya. Seolah tahu bahwa ia akan menjadi sasaran empuk investigasinya.
Menyadari Lavina mengamatinya, Sinta menatap Lavina seolah-olah mengatakan
bahwa bukan dia yang memberitahu Gilang.
“Bukan Sinta Mba, suerrrr deh,” sambil mengangkat
bahunya yang menyimbolkan tanda ketidaktahuan.
“Yakin bukan kamu Sin ? Terus Gilang tahu darimana coba ?”
Lavina bertanya-tanya.
“Yang pasti bukan Sinta,Mba,” Sinta terus meyakinkan.
Diraihnya ponsel disaku bajunya, dicari nama Gilang dan
diteleponnya.
“Iya kenapa La ?
“Kamu kirim bunga ke kantor ?”
“Iya, uda sampai di tangan ?”
“Uda Ge, makasih sebelumnya.”
“Sama-sama La. Selamat buat kenaikan jabatan kamu.”
“Iya Ge.”
“Kapan nih syukurannya La ? Jangan lupa undang-undang loh.”
“Iya, pasti Ge.”
Lavina mematikan ponselnya. Ia sudah mengetahui siapa pengirim
bunga yang ia terima, walaupun sebenarnya sudah ada nama Gilang di dalam kartu
ucapan itu. Ia hanya ingin memastikannya saja. Sinta meninggalkan Lavina yang
masih duduk di sofa, pekerjaan menantinya. Lavina masih berputar dengan
beberapa pertanyaan yang menganggu benaknya, ia tak sempat menanyakan dari
siapa Gilang mengetahui bahwa ia naik jabatan. Pertanyaan itu dibiarkan pergi
dari benaknya, Lavina beranjak ke mejanya.
Ditengah-tengah kesibukan keduanya menyelesaikan pekerjaan
masing-masing, telepon berdering memecah keheningan, Sinta mengangkatnya.
“Selamat siang.”
“Siang, ini Mba Sinta ?”
“Benar, dari Boyong Resto ?”
“Benar Mba, tadi setelah kami cek bookingan, ternyata
untuk tanggal 10, kosong Mba.”
“Jadi bisa dibooking Mas tempatnya ?”
“Bisa Mba, untuk berapa orang ?”
“Untuk 20 orang Mas, bisa ?”
“Bisa Mba, menunya mau yang standar apa yang VIP ?”
“VIP aja Mas, soal budget bisa diatur
belakangan.”
“Oke Mba, nanti saya hubungi lagi untuk konfirmasi.”
“Makasih Mas.”
“Sama-sama, Mba. Makasih.”
“Iya.”
Sinta meletakkan gagang telepon dan mulai membuka obrolan
dengan Lavina.
“Mba, jadinya di Boyong Resto, nanti Masnya mau konfirmasi
lagi.”
“Oke Sin,” Lavina menjawab tanpa menatap mata Sinta. Ia larut
dalam kesibukannya.
“Sibuk bener si Mba ?” Sinta melempar tanya.
“Iya Sin, aku mau nyelesain semua pekerjaan sebelum pindah ke
pekerjaan yang menunggu dijamah.”
“Oke. Met bekerja Mba, semangat Kaka,” Sinta mengeluarkan sifat
ABGnya yang sering keluar tanpa disuruh.
“Dasar anak ABG telat
sadar,” Lavina menyindir tingkah laku Sinta yang masih terlihat unyu-unyu itu.
'
Tepat pukul tujuh malam acara syukuran kenaikan jabatan Lavina
dimulai. Sinta yang pandai merangkai kata, cerewet yang positive maksudnya
menjadi MC. Dengan suara yang terdengar serak basah Sinta membuka acara
syukuran itu. Disambutnya semua yang hadir dalam acara syukuran, dari atasan
sampai bawahan. Terlihat Lavina memboyong kedua orangtuanya. Ketiganya duduk di
barisan depan, dengan berpose ala foto keluarga, Lavina duduk diapit Ayah dan
Bundanya.
Acara serah terima jabatan dilakukan secara resmi namun tetap
santai. Wakil direktur lama terpaksa mengundurkan diri dengan karena gejala stroke.
Direktur bagian cabang mendapat rekomendasi untuk memilih Lavina dari Pak
Dharma. Nampak Pak Dharma sedari masuk gubuk lesehan sudah melempar beberapa
senyuman khasnya untuk Lavina. Dan Lavina pun sudah menebak dalam benak bahwa
Pak Dharmalah yang merekomendasikannya. Setelah beberapa sambutan dari Direktur
dan Pak Dharma, acara penandatanganan berkas dilakukan oleh Lavina. Goresan
tanda tangan ia lakukan dengan mantap di atas dokumen yang bermaterai itu.
Acara inti sudah terlaksana, suasana sekarang menjadi agak
santai. Live music terdengar mengalun dari kejauhan. Terlihat beberapa
pengunjung asyik bermain perahu getek di kolam. Suasana begitu
mendukung, tidak terlalu dingin, angin gunungpun berhembus semilir. Seolah
semesta mendukung kebahagiaan Lavina, langit cerah, bintang-gemintang bertabur,
dan sang bulan sabit malu-malu berpose. Malam itu Lavina tampil sangat cantik,
auranya keluar dengan polesan make up yang pas, dibalut dengan gaun
merah marun, dan rambut tergerai lurus. Beberapa pelayan membawa baki yang
berisi makanan, menambah semangat para hadirin yang sudah menunggu sedari 30
menit lalu. Berbagai hidangan khas Boyong Restopun mulai tersaji di atas meja.
Berbagai masakan dari ikan air tawar seperti nila goreng, ikan bawal saos asam
manis, gulai gurameh, plencing kangkung, lauk-pauk beserta sambal dan lalapan,
nasi yang masih mengepul yang disajikan dibakul-bakul kecil mengugah selera
makan. Lavina mempersilakan semua yang hadir dalam acara syukurannya untuk
menikmati hidangan yang sudah tersedia. Lavina beserta atasan dan teman
sekantornya begitu menikmati hidangan, Lavina yang doyan dengan masakan ikan
tawar langsung mengambil ikan bawal asam manis dengan nasi yang masih panas.
Dilahapnya perlahan, sesekali menanyakan pada Bunda tentang makanan yang mereka
nikmati. Raut puas nampak di masing-masing wajah, Sinta pun tak segan menambah
makanan, kecil-kecil begitu kalau makannya banyak. Maklum Sinta memang sengaja
tidak mengisi perutnya dari rumah dengan niat bisa makan banyak. Beberapa telah
selesai menikmati hidangan, satu persatu beranjak pamit pada Lavina. Di saung
masih tersisa Lavina, kedua orangtuanya dan Sinta yang masih saja menikmati
gulai gurameh.
“Lapar apa doyan Sin ?” Lavina memotong kenikmatan Sinta
menyantap gulai guramehnya.
“Lapar Mba, tapi doyan juga,” Sinta menanggapi dengan mulut
yang penuh terisi dengan nasi dan daging gurameh.
“Makan yang banyak Sin, biar tambah gendut,” Lavina menyindir
Sinta yang mempunyai perawakan kecil pendek dan cenderung tidak berkembang
alias kate.
“Siap Bu wakil direktur,” Sinta menggoda.
“Malam Pak, Bu,” suara Gilang sontak memaksa pandangan beralih
dari piring ke arah suara.
“Malam,”Ayah Lavina menyahut.
“Kok datengnya telat Nak ?” Bunda ikut menyahut.
“Maaf Pak, Bu, tadi Saya ada acara di kantor juga,” Gilang
menjelaskan.
“O... Maklum Pak, Gilang lagi sibuk ngurusin cabang usaha yang
baru dibuka,” Bunda membela.
“Iya, Bun. Ayo makan Nak Gilang, nanti keburu dihabisin Sinta,”
Ayah Lavina menawari.
“Iya Pak,” Gilang duduk di dekat Sinta dan langsung mengambil
nasi beserta lauk secukupnya.
Lavina terhenti sejenak, ia masih menyerapi perkataan Ayahnya.
Darimana Ayahnya tahu kalau Gilang businessman, bukankah mereka belum
pernah bertemu sebelumnya. Nampak keakraban Ayah dan Gilang, Bundapun juga
terlihat nyambung ngbrol dengan Gilang. Lavina mengakhiri makannya, dan mencuci
tangannya.
“Gimana opening cabang barunya Ge,” Lavina mulai
mengorek info.
“Alhamdulilah lancar La, sayang ada satu yang kurang.”
“Emang apa yang kurang ?” Lavina melempar tanya.
“Enggak ada kamu di sampingku,” Gilang menggoda Lavina.
“Kok harus aku ?” Lavina protes.
“Syukuran Mba Lala juga ada yang kurang Mas Ge,” Sinta menyahut
tanpa komando.”
“Emang apa Sin ?” Gilang penasaran.
“Karena enggak ada Mas Gilang di sisi Mba Lala,” Sinta
nyerocos.
Lavina dan Gilang tersenyum tersipu. Si anak kemarin itu
meledek keduanya. Ayah dan Bunda hanya juga tersenyum bebarengan seolah
mengiyakan ledekan bagi Lavina dan Gilang. Lavina membuang pandangan jauh ke
depan, mengamati saung yang lebih terang dari lainnya. Lavina beranjak keluar,
kakinya sedikit terasa keram karena duduk terlalu lama. Lavina melangkah ke
saung yang menarik matanya itu. Dari jauh memang terdengar alunan lagu yang pas
dengan situasi malam itu. Lavina meminta izin untuk menyanyi, dan homeband
yang sedang perform itu memberikan kesempatan pada Lavina. Ia menyuruh keybordis
untuk mengiringinya. Lama sekali Lavina tidak pergi ke tempat karaoke untuk
sekedar membuang penat dan sekarang ada kesempatan untuk sekedar melatih
suaranya. Dipilihnya lagu favoritenya, dan musik pengiringpun mengalun
perlahan.
“Jika ada yang bilang ku lupa kau, jangan kau dengar. Jika ada
yang bilang ku tak setia, jangan kau dengar. Banyak cinta yang datang mendekat
ku menolak, semua itu karna ku cinta kau. Jika ada yang bilang ku tak baik,
jangan kau dengar. Jika ada yang bilang ku berubah, jangan kau dengar. Banyak
cinta yang datang mendekat ku menolak, semua itu karna ku cinta kau,” Lavina
menghayati lagunya.
Terdengar beberapa tepuk tangan dari para pengunjung yang
sedang menikmati hidangan. Dari kejauhan Sinta melambai-lambaikan tangannya,
sesekali berteriak tidak jelas. Lavina terus mengalunkan lagu, perlahan air
matanya menetes. Segera diusap dengan tisue yang berada di tangannya.
“Tuhan yang tahu ku cinta kau,” Lavina mengakhiri karaokenya.
Tepuk tangan mengalun lebih keras. Terlihat Sinta dan Gilang
berjalan beriringan mendekati Lavina. Mengetahui itu, Lavina segera menghapus
air matanya, dan diatur kembali napas yang sempat sesak karena terlalu
menghayati lagu favoritenya itu. Dengan lembut Gilang meminta mix yang
masih dipegang Lavina. Gilang mendekati Lavina, sekarang jarak mereka hanya 5
jengkal, mata mereka saling bertatapan. Lavina langsung melempar tatapan mata
Gilang dengan pura-pura menatap saung di sebelahnya. Ia selalu tak tahan
menatap pandangan tajamnya mata Gilang.
“Dengarkanlah wanita pujaanku. Malam ini akan ku sampaikan. Hasrat suci kepada dewiku
dengarkanlah kesungguhan ini. Aku ingin mempersuntingmu, tuk yang pertama dan terakhir. Jangan kau tolak dan
buatku hancur ku tak akan mengulang tuk meminta, satu keyakinan hatiku ini
akulah yang terbaik untukmu. Dengarkanlah wanita impianku. Malam ini akan ku sampaikan. Janji suci satu
untuk selamanya dengarkanlah kesungguhan ini. Aku ingin mempersuntingmu, tuk
yang pertama dan terakhir. Jangan kau
tolak dan buatku hancur ku tak akan mengulang tuk meminta, satu keyakinan
hatiku ini akulah yang terbaik untukmu,” Gilang mengungkapkan perasaan dengan
salah satu lagu lawas Yovie & Nuno sambil mengenggam tangan Lavina dengan
lembut.
Mendapat perlakuan itu, Lavina hanya terdiam. Ia masih terpaku
setelah menyenandungkan soundtrack hidup dan sekarang Gilang membuat
hatinya makin melow dengan lagu yang bernada sendu sekaligus berisi harapan
itu. Keduanya masih terpaku di tempat. Sinta yang mendapat suguhan konser dari
hati ke hati itu segera mengabadikan moment dengan ponselnya. Lavina
melempar pandangan tanda tanya pada Sinta, dan Sinta seolah pura-pura tidak
melihat tatapan kegelisahan Lavina itu. Di dalam hati Lavina bergejolak
berbagai rasa yang mencampur seperti permen yang mempunyai takeline
manis, asam, asin, nanno rasanya. Ia membatin semoga Gilang tidak mengucapkan
kalimat yang tak ingin di dengarnya. Gilang menghentikan lagunya, tak sampai
akhir ia menyanyikannya. Tangan kanannya meraih benda yang ada di saku
celananya. Gilang membuka perlahan, tangannya kembali meraih tangan Lavina
dengan lembut.
“Will you marry me ?” Gilang singkat. Sambil menyodorkan
kotak berisi cincin perak kepada Lavina, dan menunggu jawaban keluar dari mulut
Lavina.
Lavina masih terdiam. Kepalanya menunduk. Harapannya melenceng.
Sekarang hatinya tak hanya bergejolak tapi sudah seperti perang berdarah di
medan perang. Gilang mengucapkan kalimat yang tak ingin Lavina dengar yang
keluar dari mulut Gilang.
“La ?” Gilang menyadarkan Lavina yang larut dalam lamunannya.
“Iiiyaa...” Lavina tergagap menjawab.
“Jawabannya ?” Gilang berbisik perlahan.
“Maaf Ge, aku enggak bisa,” Lavina melepaskan tangan Gilang
yang sedari tadi mengenggam erat tangannya dan beranjak meninggalkan saung.
Melihat Lavina beranjak pergi Sinta menyusulnya dari belakang
dengan sedikit berlari-lari kecil. Gilang berdiri terpaku, sebelumnya ia telah
mempersiapkan diri untuk mendapat penolakan kedua kalinya dari Lavina. Diterima
keputusan spontan dari Lavina, Gilang mengatur napas dan menyembunyikan raut
kekecewaannya. Sampai di saung tempat Ayah dan Bunda masih berleyeh-leyeh,
serta-merta Lavina mengajak kedua orangtuanya itu untuk pulang. Keduanya yang
tengah asyik bernostalgia mengiyakan Lavina. Sinta baru sampai di depan saung,
napasnya terengah-engah karena harus berlari-lari kecil mengejar Lavina. Gilang
berada tepat di belakang Lavina. Keduanya membisu dan memberikan kesan seolah
tidak ada apa-apa. Lavina melangkahkan kaki menuju tempat parkir beserta Sinta
yang selalu mengutil dari belakang. Ayah dan Bunda berjalan santai bersama
Gilang. Keduanya bertanya-tanya dengan sikap Lavina yang mendadak berubah.
Gilang pun hanya terdiam, ia tidak mau bercerita dengan calon mertuanya itu.
Ayah dan Bunda berpisah dengan Gilang di Parkiran. Lavina sesekali membunyikan
klakson seolah memberi tanda pada kedua orang tuanya untuk segera masuk ke
mobil. Gilang bergegas mengambil mobil dan mengutit Lavina dari belakang.
Lavina merebahkan badan ke ranjangnya. Bukan lelah fisik yang
ia rasakan tapi lelah batin yang memaksa air mata keluar dari kelopak matanya.
Diambil bantal untuk menutup wajahnya yang basah air mata. Ia tak menyangka
Gilang masih memendam perasaan padanya. Padahal ia sama sekali tak memberikan
kesempatan pada Gilang. Mungkin Cupid sedang iseng menancapkan panah cinta ke
Gilang. Lavina membuang jauh prasangkaburuk pada Gilang. Ia berusaha memejamkan
mata, usahanya belum juga membuahkan hasil, ia masih terjaga dengan mata yang
terus berair dan membasahi bantalnya. Ponsel bergetar perlahan. Satu pesan
masuk, dilihatnya perlahan, matanya mendadak melotot melihat dari siapa pesan
berasal, Bingkisan Tuhan.
Malam Batu,
Lama tak bersua teman kecilku. Gimana kabar kamu sekarang ?
Masih cantikkah ? Masih keras kah kepalamu ?
Selamat buat kenaikan pangkatmu, semoga bisa menjadi teladan
bawahanmu, selalu jadi orang yang rendah hati.
Adrian Wardhana.
Lavina makin melotot, di baris terakhir nama Adrian Wardhana
tercantum. Berbagai pertanyaan sekarang memenuhi benaknya. Apakah benar orang
yang mengirim pesan itu adalah bingkisan Tuhannya atau orang lain yang sedang
iseng mengerjainnya. Kalau benar itu Adrian dari mana ia mendapatkan nomernya ?
Dan bagaimana ia tahu Lavina naik jabatan ? Segelintir pertanyaan
berputar-putar dalam benaknya. Tak menyiakan waktu, Lavina segera membalas.
INI ADRIAN WARDHANA KAH ?
Semenit balasan muncul.
IYA.
Lavina makin penasaran.
ENGGAK BERCANDA KAN ?
Balasan kembali masuk.
:)
Lavina membalas.
APA BUKTINYA KALAU ANDA ADRIAN WARDHANA ?
Lavina menunggu balasan pesan dari orang yang mengaku sebagai
Adrian.
BUAT BATU
ENAKNYA KAMU TERSENYUM WAKTU LIAT TAYANGAN INI, INI BINGKISAN
DARI AKU BUAT PERSAHABATAN KITA YANG RUMIT. MAAF AKU GAK PERNAH PUNYA NAMA
BAGUS SEPERTI YANG KAMU HARAPKAN, BAGIKU KAMU TETEP BATU YANG ISTIMEWA. JANGAN
MARAH UNTUK SEMUA YANG AKU BUAT KARENA DIHADAPAN KAMU SEMUA RENCANA BAIK
MENDADAK JADI BERANTAKAN. TERIMAKASIH BATU, UDAH MAU JADI TEMEN KECILKU.
Mata Lavina makin melotot melihat balasan yang ia terima.
Kata-kata itu berasal dari Adrian dalam video yang diberikan padanya. Ia belum
percaya sepenuhnya pada pengirim pesan. Ia berniat meneleponnya, namun
ponselnya mati duluan, Lavina lupa menchargingnya.
'
Sudah tujuh hari Lavina sengaja tak menerima panggilan maupun
pesan dari Gilang. Hampir setiap 3 jam sekali ponselnya berdering, namun sama
sekali tak ia hiraukan. Lavina masih shock dengan apa yang dilakukan
Gilang padanya, setelah 5 tahun lalu Gilang menyatakan perasaannya sekarang ia
kembali mengulanginya, seolah tak takut dengan penolakan dari Lavina. Sekarang
Lavina telah berpindah tempat kerja. Tak ada si anak ABG telat sadar itu yang
menemani hari-harinya. Atasannya memindahkan Lavina ke kantor pusat untuk
memudahkan hubungan pekerjaan. Sudah seminggu juga Lavina menyimpan rasa
penasaran terhadap orang yang mengaku sebagai Adrian-nya. Ia belum berani
menghubungi lagi, walaupun rasa rindu begitu menyiksa batinya.
Tak hanya Lavina yang tersiksa batinnya, Gilang pun
merasakannya. Ia mendapatkan penolakan untuk kedua kalinya dari bidadari yang
dikaguminya. Pun lebih tersiksa lagi, ia tak dapat bertemu dengan Lavina,
menikmati senyum manis, paras menawan, dan celotehan khas Lavina. Ia hanya bisa
mengetahui keadaan Lavina dari Sinta yang sengaja dimintanya menjadi mata-mata.
Kekalahan kedua sedang dirasakan oleh Gilang, dengan sombongnya ia ingin
memiliki Lavina seutuhnya. Terpikir Gilang untuk meminta wejangan dari
sahabatnya, Adrian. Kebetulan Adrian mendapat tugas kantor ke Yogyakarta selama
2 pekan, kesempatan ini dimanfaatkan Gilang selain untuk berbisnis sekaligus
bernostalgia dengan sahabatnya itu. Gilang pun tak segan untuk menjemput Adrian
di bandara dan menyuruh sahabatnya itu tinggal sementara di rumahnya.
Gilang mengutarakan gejolak batinya pada Adrian. Senyum simpul
ditampakkan oleh Adrian. Entah itu senyum karena shock mendengar cerita
Gilang atau senyum bermakna bahwa usaha Gilang untuk mencuri hati Lavina gagal.
Dengan bijak Adrian memberi wejangannya, diberi semangat untuk Gilang serta
diceritakan beberapa sikap Lavina yang kurang baik. Keduanya saling bercerita
satu sama lain. Di akhir obrolan keduanya bercerita, pengakuan keluar dari
mulut Adrian. Ia berkata bahwa sampai saat ini juga belum bisa melupakan
Lavina. Walaupun ia pergi menyebreang pulau, yang tak hanya sehari dua hari,
tapi bertahun-tahun namun tetap saja belum bisa melupakan orang yang mencuri
seluruh perhatiannya itu. Gilang tercengang mendengar setiap kata yang terucap
dari mulut Adrian. Ia tak percaya bahwa Adrian tetap memelihara rasa
kekagumannya pada Lavina. Ini artinya satu saingan tumbuh lagi, bahkan dapat
dipastikan memenangkan persaingan hati. Keduanya mengakhiri perbincangan,
Adrian harus menemui timnya untuk melaksanakan tugas, sedang Gilang ada meeting
dengan partner.
Beberapa rencana muncul di benak Gilang, bukan rencana baik
tentunya. Entah setan mana yang menanamkan pengaruh pada Gilang. Ia berusaha
untuk menyembunyikan kehadiran Adrian dari Lavina. Kebetulan Lavina sedang tak
ingin berhubungan dengannya dan ini adalah moment yang bagus tanpa harus banyak
berbohong. Senyum congkak terlihat di raut Gilang menandakan bahwa ia akan
segera merealisasikan rencananya itu.
Adrian mulai bergegas ke tempat yang sudah disepakati. Dengan
menggunakan taksi Adrian berangkat. 15 menit perjalanan menuju tempat makan
lesehan, Adrian tiba ditempat yang disepakati. Kaki dilangkahkan masuk ke
dalam, dan mendekat menuju kerumunan temannya. Meeting sengaja digelar
di luar kantor, setelah selesai rapat bisa langsung mengisi perut dan notabene
mereka sudah bosen dengan suasana rapat yang terlalu formal. Mata Adrian
menatap sosok yang tak asing baginya, di meja nomer 7 ia menangkap sosok
Lavina. Samar memang namun ia tak lupa dengan wajah cantik Lavina. Diraih
ponselnya dan dicari nama Lavina yang ia tulis dengan Bingkisan Tuhan. Beberapa
detik panggilan menyambung, dari jauh terlihat Lavina sedang meraih ponsel yang
di dalam tasnya. Adrian masih mengamati Lavina dari jauh. Panggilannya tak
langsung diangkat oleh Lavina, masih didiamkan. Adrian berkata dalam hati untuk
menyuruh Lavina mengangkat ponselnya, dan setelah satu menit panggilan di
abaikan, Lavina mengangkatnya.
“Adrian ?”
“Lavina.”
“Ini benar Adrian Wardhana ?”
“Benar. Ini benar Batu ?”
“Benar.”
“Aku lagi di Jogja, La.”
“Jooogja..?”
“Iya, La.”
“Kemana saja kamu ?”
“Aku pergi menenangkan hati tapi gagal, La.”
“Kenapa ? Kau masih tak bisa mengusir kehadiranku dibenakku,
Ar.”
“Iya La. Kamu masih seperti dulu tak berubah sedikitpun.”
“Maksud kamu ?”
“Kamu masih cantik dan keras kepala ?”
“Masih suka kumat Ar ?”
“Kumat apanya ?”
“Ngegombalnya.”
“Ar, aku merindukanmu. Tak lelahkah kau terus menyiksaku dengan
rasa rindu ini ?”
“Tak hanya kau,La. Aku juga merasakannya. Jauh lebih dari
dirimu ?”
Telepon terputus ketika Adrian melihat sosok Gilang dari luar menuju tempat lesehannya. Darimana Gilang
tahu dia ada disini, mungkin dari Mba Minah, pembantunya. Gilang makin mendekat
dan duduk di sebelah Gilang, ternyata keduanya berkerjasama untuk project Adrian
dan timnya. Adrian masih shock, ia tak mengira bakal satu project
dengan sahabatnya.
“Maaf telat, tadi saya ketemu partner dulu,” Gilang
meminta maaf untuk keterlambatannya.
“Iya Pak, kami maklum kok. Bapak kan sibuk,” salah satu tim
menanggapinya.
“Langsung dimulai saja rapatnya,” Ketua tim membujuk.
Lavina tengah asyik menikmati penyetan bersama rekan
kantornya, tak lupa ia mengajak mantan asistennya itu. Kenyang telah dirasa
oleh Lavina, ia beranjak untuk mencuci tangannya, disusul dengan Sinta
dibelakangnya. Keduanya sempat berebut mencuci tangan di tempat yang sudah
disediakan, bak adek-kakak yang kalau ketemu berantem terus dan jarang yang mau
mengalah. Pandangan Lavina sesaat terfokus pada seorang lelaki yang sedang
berbicara, ia begitu mengamati sosok lelaki itu, tak sadar kaki Lavina
melangkah perlahan. Mengetahui Lavina bertingkah aneh, Sinta memanggil nama
Lavina untuk menghentikan langkahnya, namun tak berhasil. Langkahnya terhenti
ketika sosok yang diamati dari jauh memang tidak salah lagi dengan pikirannya.
Adrian Wardhana kini ada di depannya. Semua pandangan yang awalnya terfokus
pada Adrian, kini beralih pada Lavina. Menyadari Adrian diacuhkan, pandangannya
mengikuti arah yang memecah konsentrasinya. Mata Lavina menatap tepat pada mata
Adrian. Keduanya mematung satu sama lain, di samping Adrian, Gilang pun juga
memincingkan matanya. Ketiganya menjadi mematung. Sinta mengenggam tangan
Lavina untuk kembali ke meja mereka, namun Lavina melepaskan genggaman itu.
Mengetahui yang di depannya adalah orang begitu diharapkan mantan atasannya
itu, Sinta mematung. Dengan sekonyong-konyong Lavina mendekati sosok pujaan
hatinya itu, dipeluknya erat raga lelaki yang dengan setia ia tunggu. Sambil
berbisik di telinga Adrian “nikahi aku sayang.”
'
Ketika cinta turun ke langit dunia tak ada satupun makhluk yang
kuasa menolaknya. Jika kau mau memutar sejarah, bisa kau ambil kisah dari Barat
atau Timur. Ambil saja contoh kisah Romeo-Juliet dari peradaban bangsa Barat
dan Layla-Majnun dari bangsa Timur. Bukankan keduanya menceritakan perjuangan,
pengorbanan, keegoisan manusia, air mata, senyum munafik, merah darah,
penghianatan, kebutaan hati, kenekatan yang sengaja ditampakkan, untuk apa ?
Kalau bukan cinta. Pernah kau merasa jiwamu itu tersentuh barang gaib yang
menyelinap dalam ruang kosong hatimu, memenuhi benakmu dengan satu sosok, tak
hanya itu, mata beningmu mendadak buta, senyum simpul kini lebih mengembang,
dan hari-harimu tak akan jauh-jauh dari orang yang kau kagumi itu. Pernah ?
Pastilah pernah, namun sengaja kau hindari bukan ? Ruginya dirimu itu, tak kau
nikmati salah satu karunia-NYA, menikmati keindahan makhluk ciptaan-NYA,
sungguh sayang tak kau gubris perasaanmu itu. Sibukkah kau dengan duniamu ?
Bukankah Tuhan menciptakan kita berpasang-pasangan, jangan egois saja, tak
selamanya kau akan memiliki dirimu itu. Jangan menjadi Lavina kedua ! Kau tahu
mengapa, kau melewatkan kesempatan untuk menikmati apa itu cinta, bukan
bermaksud untuk menyuruhmu seperti Juliet yang dengan bodohnya menerima nasehat
dari pemuka agama, yang mengakibatkan kekasihnya mati mengenaskan, dan ia
menyusul pujaan hatinya ke alam yang lebih kekal abadi. Jika suatu saat kau
temui sebuah jalan dengan dua arah yang sangat membingungkanmu, tanyakan
pada-NYA dan hati kecilmu itu, bukankah kau berTUHAN dan berPERASAAN bukan
seperti malaikat yang tak punya NAFSU. Temukan orang yang tepat untuk menjadi
teman hidupmu kelak, mulai dari sekarang !
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar