23 Juli 2012

Cerpen Perdana


Air Mata Senja


Usianya telah menginjak kepala enam. Raganya masih terlihat bugar, tidak terlihat punggungnya terkena penyakit oesteoporosis layaknya orang lanjut usia pada umumnya, tubuhnya tinggi malahan terlalu tinggi untuk ukuran wanita di masanya 170 cm, mukanya sedikit hitam karena sering diterpa matahari saat beraktifitas, rambutnya memutih, dan tubuhnya mengurus termakan usianya.
Di hari senjanya Mbah Parni biasa disapa harus turut membanting tulang untuk membantu mencukupi keluarganya. Uang pensiun tinggalan dari suaminya yang menjadi pegawai negeri berpangkat rendah tak cukup menutupi kebutuhan yang semakin hari semakin bertambah saja.
Bersama dengan dua anak perempuan, menantu, dan tiga cucunya Mbah Parni tinggal. Rumah Mbah Parni memang terbilang luas, anak tirinya memperbaiki gubuknya yang dulu hampir rubuh termakan usia. Bangunannya nampak kokoh dan lebih layak untuk di tinggali. Tak banyak perabotan yang mengisi rumah Mbah Parni. Diruang tamu hanya ada meja berukuran sedang dengan empat kursi yang mengelilinginya, televisi 14 inci, di dinding terpasang foto pernikahan anak keduanya serta jam dinding yang hampir mati. Dindingnya penuh coretan-coretan dari pensil warna, karya besar lukisan abstrak dari cucunya yang paling kecil. Mbah Parni kerapkali memarahi cucunya itu untuk tidak mencoret-coret dinding yang kini terlihat kotor dan tidak sedap di pandang mata, namun namanya anak kecil semakin dilarang malah semakin menjadi dan sering mengulangnya.
            Ada empat kamar tidur berukuran 2 x 3 m, dapur, dan kamar mandi. Bahkan saking luasnya, bagian dari rumah Mbah Parni ada yang disewakan. Banyak dari bagian dalam kamar tidak diplester, keterbatasan dana dari anak tirinya dan Mbah Parni pun tak menuntut lebih rumahnya harus bagus, yang penting dapat ditempati dan melindungi diri dari panas dan hujan, sudah cukup baginya.
            Hari-hari Mbah Parni disibukkan dengan bercocok tanam di sawahnya. Harta tinggalan dari almarhum suaminya. Walaupun Mbah Parni hanya istri ke dua namun suaminya memberi haknya untuk menerima uang pensiun dan menggarap sawah. Sawah menjadi sumber utama penghasilan Mbah Parni, ia tak mau menerima belas kasihan dari anaknya terutama anak tirinya yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. Mbah Parni menanami sawahnya dengan berbagai palawija seperti singkong, kacang, dan jagung, jika cuaca mendukung Mbah Parni menanam padi. Tak jarang Mbah Parni juga bekerja mengarap ladang orang demi menambah penghasilan yang kadang tak di dapatnya dari sawah sendiri.
                Dua anak dan menantunya pun tidak tinggal diam di rumah. Ketiganya nyambi kerja seadanya, dua anak perempuannya bekerja di pabrik mebel tak jauh dari rumah sedangkan menantunya menjadi penjaga rumah di kompleks sebelah mereka tinggal. Dua cucunya sudah sekolah, cucu yang paling besar sudah kelas tiga sekolah menengah pertama, cucu keduanya masih sekolah dasar, dan si buyung baru akan masuk taman kanak-kanak tahun depan.
            Saat pagi menjelang semua anggota keluarga sibuk dengan urusan masing-masing. Pagi-pagi sekali Mbah Parni sudah bergegas menyiapkan sarapan untuk anak dan cucunya. Mbah Parni sering membelikan bubur jika persediaan beras habis. Terkadang seorang cucunya melemparkan pertanyaan protes jika setiap hari sarapannya hanya bubur, Mbah Parni hanya terdiam dan mengelus dada. Bibirnya diam tapi hatinya menangis.
z
Kembali Ke Rahmatullah
            Pagi itu Mbah Parni merasa gelisah sendiri. Dari semalam pikirannya tak tenang. Ada yang mengganjal pikirannya sehingga usaha untuk memejamkan matanyapun berakhir sia-sia, ia tetap terjaga hingga pagi menjelang. Kegelisahan tiba-tiba mengelayutinya, Mbah Parni membatin semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Seperti biasa Mbah Parni sibuk membereskan rumah, setelah menyapu halaman rumah. Dilanjutkannya pekerjaan rumah yaitu membuat sarapan untuk anak dan cucunya. Kali ini tidak bubur lagi tapi diganti dengan nasi goreng dan telur goreng.
Setelah selesai sarapan secara berbarengan anak dan mertua menuju tempat bekerja di susul dengan dua cucunya yang bergegas ke sekolah. Dirumah hanya tinggal Mbah Parni dan cucu paling kecilnya. Dimandikannya dengan air hangat dan diganti pakaiannya dengan yang bersih. Setelah pekerjaan rumah diselesaikannya dan kewajiban untuk memandikan cucunya sudah ia lakukan, Mbah Parni bergegas pergi ke sawah.
            Ketika matahari sudah berada di atas kepala, Mbah Parni mengakhiri pekerjaannya dan kembali ke rumah. Dari jauh terlihat cucunya sudah mengeluh kelaparan dengan ngedumel sendiri di depan pintu. Dibukanya pintu dan segera menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Dimasaknya daun singkong yang didapat dari sawah oleh Mbah Parni dan digorengnya tempe yang ditukarkan dengan sebagian daun singkong yang dijualnya.
            Kedua anak perempuannya kembali ke rumah untuk sekedar ngaso dan mengisi perut. Keduanya memilih untuk mengisi perut di rumah ketimbang harus mengeluarkan uang beberapa lembar ribuan. Mbah Parni menyuruh kedua anaknya untuk bersantap siang, tentu dengan makanan seadanya. Kedua anaknya ini tidak pernah protes dengan apa yang dibuat oleh Mbah Parni.
            Mbah Parni sejenak mengistirahatkan badannya yang sedari tadi ia gerakkan. Dicucupnya teh hangat pahit yang biasa ia buat. Disandarkan punggungnya ke tembok dan membiarkan rambut yang kian hari kian memutih itu tertiup angin. Hari ini cukup melelahkan, dicangkulnya hampir setengah bagian sawahnya, Mbah Parni berencana untuk menanaminya dengan jagung.
            Menantunya telah kembali ke rumah, dibawakan makanan pemberian dari majikannya. Seperti giliran saja, dua anak perempuannya kembali untuk bekerja. Dilihatnya dengan senyum simpul kedua anaknya itu, lalu terkenang peristiwa-peristiwa yang cukup memainkan logika untuk berpikir lebih dalam.
            Anak sulungnya, Narti mempunyai trackrecord kelam. Sekolah menengah atas tak sampai ia tuntaskan, terpaksa ia hentikan karena sebuah janin sudah berada di perutnya. Tak lain tak bukan ayah dari sang jabang bayi itu adalah Joko, anggota tentara yang sejak setahun lalu menjalin kasih dengan Narti.
            Narti mengandaskan impian untuk menuntaskan sekolahnya. Dipilihnya untuk menjadi istri dari seorang tentara. Pikiran Narti terlalu sempit, otaknya sudah dibutakan dengan namanya cinta. Dinikahinya Narti oleh Joko, di saksikan oleh keluarga dari Joko dan tentu saja Mbah Parni. Raut muka Mbah Parni menyimpan tanya, senyum simpul berkali-kali ia lemparkan pada orang-orang yang hadir dalam hajatan itu, namun hatinya sejatinya menangis, sejadi-jadinya menangis. Anak perempuan yang ia sayangi sekarang telah mengucapkan janji setia seumur hidup dengan lelaki yang sama sekali belum dikenalnya itu. Bahkan Mbah Parni baru mengetahui siapa nama menantunya ketika penghulu menyebutkan nama pengantin prianya.
            Beberapa bulan dari pernikahan, Narti melahirkan anak perempuan. Joko memutuskan untuk memboyong Narti dan anaknya untuk menempati rumah dinas tak jauh dari kediaman mertuanya. Joko mendapatkan tugas negara untuk menjaga keamanan di Aceh. Mbah Parni sempat meminta Narti untuk tinggal bersamanya namun Narti menolaknya, alasannya ia tak mau merepotkan ibunya untuk kedua kalinya.
            Narti mengemasi pakaian seadanya dan pindah menuju rumah dinas Joko. Dimatanya Joko adalah sosok yang begitu asing baginya. Narti belum pernah sama sekali membawanya ke rumah untuk sekedar memperkenalkan padanya, mendadak sekali Narti memberitahu rencananya untuk menikah, itu pun Narti sama sekali tidak memberitahu bagaimana calon suaminya itu.
            Mbah Parni sadar ia melamun terlalu lama. Cucu paling besarnya telah pulang disusul dengan cucu keduanya. Cucunya terlihat lahap menikmati makan siangnya, sayur daun singkong dan tempe goreng di temani nasi hangat, sederhana tapi nikmat sekali untuk perut yang sedari tadi menahan lapar.
            Dilewati begitu saja ketiga cucunya yang sedang asyik bersantap siang sembari menonton TV. Mbah Parni beranjak ke kamar, tubuhnya memaksa untuk dibaringkan sejenak. Disusunnya bantal menjadi dua, direbahkan badannya yang letih setelah beraktifitas sedari pagi. Mbah Parni tertidur nyenyak.
            Rumah sudah kembali ramai dengan penghuninya. Kedua anak dan mertuanya telah kembali dari tempat bekerja. Narti mencari sosok ibunya dari ruang tamu sampai dapur tapi tak dijumpainya sosok yang dicarinya. Beranjak ke tempat tidur Simbok, biasa Narti memanggil Mbah Parni. Didapatinya orang yang dicarinya tertidur nyenyak sekali, terdengar sesekali dengkuran yang lumayan keras. Dibiarkan Simbok tidur, tak biasanya Simbok tidur seawal ini, mungkin ia kelelahan, batin Narti.
            Sore mulai menjelang. Matahari mulai kembali ke peraduannya. Langit mulai gelap agak semburat. Beberapa burung terlihat bergerombol ke arah utara kembali ke sarangnya. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu. Mbah Parni masih tertidur nyenyak, terlalu pulas malahan, tak satupun anaknya membangunkannya untuk sekedar membersihkan badannya dari keringat.
            Seseorang dari depan pintu mengetuk beberapa kali, cucu sulungnya membuka pintu perlahan. Seseorang yang belum pernah dilihat dan dikenal sebelumnya, dipanggilnya ibunya, Narti. Dengan sedikit buru-buru Narti segera menemui orang yang datang ke rumahnya itu.
            Dengan sedikit terbata-bata seseorang yang mengaku teman kerja dari kakak tirinya itu menyampaikan kabar buruk. Kakak tirinya mengalami kecelakaan kerja waktu pulang dari kantor. Sekejap ruang tamu yang sedari ramai dengan candaan cucunya mendadak jadi hening, raut muka bingung dan kagetpun bercampur jadi satu.
            Dibangunkan secara perlahan Mbah Parni oleh menantunya. Mbah Parni sempat kaget ketika tangannya diraba, dan ia mulai membenarkan posisinya. Dirapikan bajunya, ditalikan kembali tali stagennya, digelungkan rambut yang acak-acakan, setelah rapi Mbah Parni menuju ke depan.
            Dijelaskan kembali apa yang sedang terjadi. Bahwa menantunya terkena musibah, motor yang dikendarainya terserempet truk pengangkut pasir. Mbah Parni sesaat terdiam, ia baru sadar pikirannya semalam itu merupakan firasat dari Sang Maha Kuasa bahwa akan terjadi sesuatu yang akan menimpa keluarganya.
            Mertuanya telah meminta bantuan pada tetangga, untuk meminjam mobil. Mbah Parni, kedua anak dan menantunya menuju rumah sakit tempat dimana anak dan menantunya di rujuk. Dengan perasaan bercampur aduk Mbah Parni memikirkan nasib anak dan menantunya itu. Mobil dilarikan dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit.
            Sesampainya di rumah sakit, menantunya segera mencari tahu tentang pasien atas nama kakak iparnya itu. Ternyata istrinya mengalami luka cukup parah, dokter memberikan dugaan sementara bahwa istri dari kakak iparnya itu terkena gegar otak yang disebabkan terbenturnya kepala cukup keras dengan jalan. Anak tirinya itu tidak mengalami luka cukup berat, hanya lecet-lecet di bagian tangannya. Mbah Parni mendekat pada anak tirinya, dilihatnya anak tirinya itu dengan tatapan dalam, air matanya menetes tanpa ia sadari. Beberapa kali anak tirinya itu ngedumel tentang peristiwa yang begitu cepatnya terjadi. Sesekali dari sanak keluarga dan teman kantor anaknya yang menjenguk bertanya tentang kronologi yang mengakibatkan istrinya kini terbujur koma.
            Mbah Parni tak kuat melihat menantunya terbujur kaku di tempat tidur. Hidungnya ditempel alat bantu pernafasan, tangannya dipasang selang infus, dan badannya ditutupi selimut. Air matanya menetes, dadanya sesak, mulutnya terbungkam. Mbah Parni mengamati lebih dekat, dibelaninya rambut menantunya itu dengan lembut.
            Diputuskan untuk menunggui menantunya yang berjuang melawan maut itu. Menantu lainnya sempat menyarankan Mbah Parni untuk pulang, tak baik untuk orang tua terlalu lama di rumah sakit bujuknya. Namun sepertinya kata-kata itu hanya di anggap angin lewat saja. Mbah Parni masih duduk di sebelah menantunya yang sedang berjuang untuk hidup kembali.           
            Mbah Parni memutuskan bermalam di rumah sakit. Ditenangkan hati anak tirinya, diberikan semangat untuk tidak menyesali kejadian yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
Sabar le, ini sudah jalannya sang kuasa,” sembari Mbah Parni mengusap air matanya yang sedari tadi membasahi pipinya.
Anak tirinya itu tidak menjawab sepatah katapun. Bibirnya mendadak kaku, sejak tadi ia terus mengulang-ulang menceritakan kronologi kecelakan yang menimpa ia dan istrinya, mungkin lelah, hatinya bukan bibirnya.
            Pagi-pagi sekali menantunya sudah datang ke rumah sakit. Dibawakannya makanan kecil dan air panas yang dimasukkan ke tremos. Dibuatkannya kopi dan diberikan roti untuk kakak iparnya, sempat ditolaknya namun ia tetap membujuk kakak iparnya untuk mengisi perut. Kembali diisi gelas dengan air panas, dibuatnya teh panas pahit kesukaan mertuanya itu.
            Perkembangan hari kedua tidak menunjukkan peningkatan. Malah kata suster yang merawat istri kakak iparnya itu semakin melemah, detak jantungnya tidak sekuat saat awal pemasangan alat pendeteksi detak jantung. Dicoba dilihatnya alat yang dipasang di dada istri kakak iparnya, diperhatikan garis-garis yang nampak di layar benda yang diletakkan di meja samping tempat tidur. Garisnya naik turun, cenderung semakin lemah. Tidak secepat dan sebanyak kemarin garis-garis yang menunjukan detak jantung itu.
            Dihari kedua menantunya itu dirawat pembesuk terus berdatangan dari pagi. Kebanyakan dari teman kantor anak tiri dan menantunya itu. Siang hari datang besannya dan beberapa keluarga dari menantunya. Besannya terlihat sangat shock melihat anaknya terbujur kaku di ranjang dengan bantuan alat pernapasan. Kedua besan itu nampak saling menguatkan satu sama lain, terutama ibu dari istri anak tirinya. Mbah Parni sesekali mengusap matanya yang sembab karena dari semalam air matanya tak berhenti mengalirkan air mata kesedihan.
            Kedua keluarga nampak berkumpul di Kamar Elisabeth yang masih di bagi dua dengan orang yang juga di rawat sekamar dengan menantunya itu. Salah satu keluarga dari istrinya meminta pihak rumah sakit untuk memindahkan adik mereka ke ruang yang lebih nyaman, karena ruangan yang ditempati terlalu ramai.
            Perlahan pembesuk mulai meninggalkan ruangan. Segenap doa dan harapan ditujukan untuk menantunya. Ruang menjadi sepi. Suster menyuruh para penunggu dan pembesuk meninggalkan pasien karena akan dilakukan pemeriksaan terhadap pasien. Dan pembesuk pun mulai meninggalkan ruangan.
             Mbah Parni dan anak tirinya berada di teras ruangan. Keduanya terlihat duduk sedikit berjauhan. Mbah Parni menyuruh anak tirinya itu untuk membersihkan badannya yang sedari kemarin tidak tersentuh air. Pikirannya terkuras untuk istri tercintanya, mungkin sampai tak sempat memikirkan untuk mandi bahkan makan, rasanya menelan air pun sangat tidak nafsu, kesedihan telah menghilangkan nafsu makannya.
            Malam mulai mengepung kota istimewa ini. Jalan di sekitar rumah sakit mulai padat oleh orang-orang yang pulang dari beraktifitas. Lampu-lampu rumah sakit mulai di hidupkan. Dokter dan suster yang memeriksa menantunya itu akhirnya keluar juga. Sejak satu jam lalu keduanya sibuk memeriksa menantunya. Diajaknya anak tiriny ke ruangan dokter, untuk membicarakan tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh pihak rumah sakit.
            Setelah dilakukan scan ternyata istrinya terkena gegar otak yang kemungkinan besar karena kepalanya membentur terlalu keras jalan. Didengarnya penjelasan dokter dengan seksama, dokter hanya mengatakan bahwa nyawa istrinya hanya bergantung pada alat bantu pernafasan yang sekarang dipasang di badan istrinya itu. Sekejap badannya lemas mendengar perkataan dokter. Diterimanya kabar yang semakin membuat hatinya hancur berkeping-keping. Perasaan bersalah pun mengelayuti jiwanya, secara tidak langsung ia menjadi perantara Tuhan dengan terjadinya musibah yang menimpa istrinya sekarang.
            Dihampiri kedua anaknya itu. Si kecil belum begitu memahami apa yang sedang terjadi dengan ayahnya. Dijelaskannya secara singkat tentang apa yang sedang terjadi pada Ibu mereka. Anak sulungnya hanya terdiam, sesekali tangannya memegang tembok. Spontan ia berkata bahwa ibu mereka tidak akan lama lagi hidup.
            Mbah Parni dan kedua cucunya diantar oleh keluarga menantunya kembali ke rumah. Tak baik untuk orang lanjut usia dan anak-anak untuk berada di rumah sakit. Dan akhirnya Mbah Parni mendengarkan nasihat ini. Ketiganya kembali ke rumah.
            Ruang Elizabeth kembali hening. Jam kunjung pembesuk sudah habis. Waktunya memberi kesempatan untuk para pasien beristirahat. Dengan setia ditemaninya istri yang semenjak hari Senin tertidur dan belum menunjukkan tanda-tanda untuk bangun. Bahkan mungkin tak mau bangun dan mengakhiri mimpi panjangnya.
            Tepat pukul 20.55, istrinya menghembuskan nafas terakhir. Istrinya telah kembali ke rahmatullah setelah tertidur selama tiga hari di rumah sakit. Dokter mengecek pasien dan memastikan pasien telah berhenti bernafas. Diceknya denyut nadi, sudah hilang, dilihatnya matanya, sudah putih. Istrinya telah berpulang ke rahmatullah.
            Pihak rumah sakit menunggu selama dua jam sesuai dengan prosedur yang biasa di gunakan. Siapa tahu dalam waktu dua jam itu Tuhan masih memberikan nafas kedua untuk mereka yang telah mengalami proses sakaratul maut. Namun dua jam telah berlalu dan istrinya itu tidak terbangun lagi. Badannya kaku, dan tetap kaku seperti dua jam sebelumnya. Petugas membawa istrinya ke ruang jenazah untuk dimandikan kemudian diserahkan kepada pihak keluarga.
            Secara tidak langsung jasad istri dari menantunya itu tidak menginginkan kedua anak dan mertuanya untuk menyaksikan sakaratul mautnya. Saat itu hanya sang suami yang menyaksikan peristiwa berpisahnya arwah dengan jasad. Tenang, perlahan dan berlangsung secara cepat.
            Sesampainya Mbah Parni dan kedua cucunya sampai rumah. Kabar duka diterimanya dari orang rumah sakit. Menantu dan anak keduanya kembali lagi ke rumah sakit. Dilihatnya kakak ipar mereka meneteskan air mata, mereka mendekat dan menguatkan hati kakak iparnya.
            Diberitahu keluarga dari pihak istri kakak iparnya. Dan tak lama kemudian beberapa orang dari keluarga istrinya datang. Setelah urusan administrasi selesai, jenazah istrinya di bawa ke rumah mertuanya itu. Perjalanan hanya sekitar 10 menit dari rumah sakit. Di rumah duka sudah terpasang tenda dan beberapa warga membantu mempersiapkan berbagai keperluan. Kakak-kakak dari istrinya telah berkumpul seluruhnya dan suasana haru pun tak terbendung lagi. Tangisan pecah, sejenak suasana duka menyelimuti kediaman besannya itu.
            Tubuhnya dibiarkan terjatuh di kasur. Matanya lelah sekali, sedari hari pertama istrinya dirawat ia tidak tidur sama sekali. Dan selama tiga hari kemarin ia meminta izin untuk tidak berangkat ke kantor dan atasannya memberikan izin tersebut.
            Malam berlangsung secara cepat. Itu yang dirasakan oleh Mbah Parni. Disuruhnya menantunya untuk mengantarkannya ke rumah besannya. Dengan membawa kedua cucunya Mbah Parni berangkat ke rumah duka. Sesampainya di halaman rumah besannya itu air mata tak terasa sudah membasahi pipinya. Kedua cucunya itu berlari ke dalam rumah tanpa di komando.
             Dengan langkah perlahan Mbah Parni dan menantunya masuk ke rumah duka. Mbah Parni langsung memeluk besannya. Mereka berpelukan erat dan saling minta maaf, entah meminta maaf untuk apa. Salah satu anak besannya mempersilakan Mbah Parni untuk masuk ke dalam, beberapa orang yang akan bertakziah sudah berdatangan satu per satu.
            Rumah duka semakin ramai dan penuh dengan orang-orang yang bertakziah. Acara upacara pemakaman segera di mulai. Seorang pemuka agama memulai acara pemakaman yang digelar menggunakan adat jawa. Kami dipersilahkan untuk berjalan di bawah keranda yang dipanggul beberapa pemuda. Orang menyebutkan dengan tlusuban. Namun setiap acara pemakaman tak akan dihilangkan dari susunan acaranya. Kemudian Pemuka agama tersebut mewakili keluarga besar dari jenazah meminta maaf kepada semua yang hadir dalam upacara pemakan itu untuk semua kesalahan yang telah diperbuat oleh jenazah baik disecara sengaja maupun tidak, dan bagi para takziah yang mempunyai urusan hutang-piutang dengan jenazah dapat diselesaikan dengan keluarga jenazah.
Tepat pukul satu siang jenazah di bawa ke pemakaman keluarga yang berjarak 500 m dari rumah duka. Mbah Parni tidak mengikuti sampai makam, ia masih dengan besannya, keduanya masih saling menguatkan dan sesekali membicarakan kenangang kedua anaknya.
Di makam telah bersiap dua orang yang sudah mengalami lubang untuk mengubur jenazah. Rombongan pembawa jenazah tiba di area pemakaman. Pemuka agama memimpin upacara pemakaman dengan membaca doa. Terik matahari mengiringi upacara pemakaman. Perlahan jenazah di keluarkan dari keranda dan dimasukkan ke liang lahat. Pemuka agama mengumandangkan adzan dan iqomah di dekat jenazah. Dua orang menutup liang lahat dengan tanah bekas galian dan bunga ditaburkan beriringan.
Pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Keluarga dari Mbah Parni dan besannya masih tinggal di area pemakaman. Pemuka agama memimpin untuk mendoakan jenazah, dan para pelayatpun mengamini doa-doa yang beliau panjatkan.
Keluarga besar dari Mbah Parni dan besannya meninggalkan area pemakaman. Sepi mengelayut di area pemakaman. Malaikat penanya mulai bertandang, babak baru dunia barzah di mulai.
z
           
Hampir Mati Karena Gila “Pria”
            Duka memang masih menyelimuti keluarga besar Mbah Parni dan besannya. Sanak saudara dari luar kotapun masih menginap di gubuknya. Anaknya yang merantau di Semarang pun memboyong anak dan istrinya untuk menghadiri acara pemakaman adik iparnya. Mata Mbah Parni masih basah, sepulangnya dari rumah besannya ia belum sempat menghentikan butiran air mata yang terus memaksa ingin dikeluarkan. Badannya lemas, makanan pun rasanya tak tega jika harus sejenak mengisi perut Mbah Parni yang sedang dirundung duka kehilangan salah satu menantunya.
            Melamun kini menjadi kebiasaan Mbah Parni, tak jarang anak bungsunya memergoki ia melamun begitu dalam dan tak jarang air matanya menetes sampai membasahi kain jariknya. Si bungsu berkali-kali memaksa Mbah Parni untuk sekedar mengisi perut untuk memakan bubur atau roti, namun perkataan anaknya itu hanya ia iyakan tapi tak dilakukan.
            Lamunan Mbah Parni semakin dalam, dan kejadian 5 tahun lalu kini hadir lagi dalam benaknya. Ia ingat betul si bungsu mengungkapkan niatnya untuk mencari pekerjaan di Kebumen, Mbah Parni tidak menyangka anaknya akan merantau ke luar kota. Salah satu teman anaknya mengajak anak bungsunya untuk merantau ke Kebumen. Mbah Parni memang tidak melarang Surti, anak bungsunya itu bekerja di Kebumen. Dan dengan izin dari Mbah Parni pula, Surti merantau ke Kebumen.
            Dua tahun Surti merantau, memang membuahkan hasil. Dibelikan olehnya perabotan rumah tangga dan sembako. Ia pun dapat membeli barang-barang yang ia inginkan. Surti selalu pulang saat lebaran dan memberikan sebagian gaji yang ia sisihkan pada Simboknya itu. “Buat beli jarik Mbok,” kata Surti. Tak hanya membawa uang yang dapat mencukupi kebutuhan mereka, Surti juga membawa seorang lelaki yang ia anggap sebagai kekasihnya. Joni, biasanya Surti memanggil kekasihnya. Ia adalah teman satu rantauannya, rumahnya pun tak jauh dari Surti. Mereka bertemu saat bekerja di Kebumen. Pernah Surti membawa kekasihnya itu untuk sekedar di pertemukan dengan Simbok, istilahnya biar kenal antara calon mertua dan menantu.
            Mbah Parni masih membiarkan lamunan menguasai dirinya. Diingat kembali ketika Joni mencium tangannya dengan sopan sembari menyebutkan namanya. Mbah Parni tentu saja menyambutnya dengan senang hati. Disuruhnya Surti untuk membuatkan minum. Mbah Parni mengamati Joni dari luar. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, wajahnya rupawan, berpakaian rapi, badannya tidak terlalu kurus atau gemuk, terlihat berpendidikan dan mapan. Keduanya saling berbincang, sekedar membahas bagaimana keluarga masing-masing hingga sampai mana kedekatannya dengan anak bungsunya.
            Restu telah didapat Surti dan Joni. Keduanya semakin mantap menjalani hubungan kasih itu. Surti kini terlihat rajin bekerja, ia juga menyisihkan sebagian gaji yang diterimannya untuk tabungan pernikahan dengan Joni kelak. Joni pun tak kalah dengan Surti, ia juga makin sering mengunjungi calon mertuanya. Sekedar untuk mempererat hubungan keduanya dan tentu saja menemui Surti. Mbah Parni lega jika anaknya kelak menikah dengan orang yang mapan dan baik seperti Joni. Joni berprofesi sebagai tentara yang sedang di tugaskan di Kota Yogyakarta. Joni juga berasal dari keluarga baik-baik dan mempunyai perekonomian yang baik, jadi ini pula yang menjadi alasan turunnya restu padanya.
            Tak terpikir dalam benak Mbah Parni anak tirinya menolak hubungan Surti dan Joni. Ketidakberesan muncul ketika Surti membawa Joni ke rumah kakak tirinya. Bau tidak sedap mulai tercium ketika kakak tirinya dan Joni berbincang tentang pekerjaan Joni, mula-mula kakak iparnya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Joni bahwa dia adalah seorang tentara. Ketika Kakak Surti mencoba mengetes Joni, dilemparkan pertanyaan padanya, dengan sedikit ragu-ragu Jonipun menjawab. Tak puas dengan jawaban Joni, Kakak tirinya berinisiatif mengecek tentang kebenaran informasi yang diberikan Joni. Kakak Surti menghubungi salah satu kerabatnya yang bekerja di satu kodim tempat Joni bertugas, ternyata tidak ada tentara atas nama Joni yang sedang bertugas di kodim tersebut.
            Kecurigaan tidak hanya sampai di situ, Kakak tiri Surti sepertinya tidak kehabisan akal untuk membongkar identitas dari calon adik iparnya itu. Bukan apa-apa tapi ia hanya tak ingin adiknya tertipu dengan oknum seperti yang tejadi pada Surti. Akhirnya beberapa minggu kakak ipar Surti melakukan investigasi terungkap sudah bahwa Joni yang mengaku sebagai tentara hanyalah seorang pekerja las tak jauh dari tempat Surti dan kakaknya bekerja.        
            Kebusukan Joni mulai terkuak. Kakak tirinya itu mencoba menyampaikan apa yang ia ketahui pada Mbah Parni. Sempat terlihat raut tak percaya pada Mbah Parni, ia tidak menyangka anaknya menyelidiki calon adik iparnya itu. Lebih tidak percaya lagi setelah Mbah Parni mendengar apa yang dijelaskan oleh anak tirinya, bahwa Joni bukanlah seorang tentara melainkan pekerja las tak jauh dari tempat kerja Surti. Mbah Parni diam sesaat. Dadanya tiba-tiba sesak, mulutnya jadi bungkap, hatinya terasa ngilu, dan matanya mulai berair. Mbah Parni tak percaya bahwa kejadian yang dialami anak sulungnya hampir terjadi pada Surti. Ditahannya air mata, dan kembali mendengarkan kebusukan-kebusukan dari calon menantunya itu.
            Tekad Mbah Parni telah bulat, dengan berbagai cara ia mulai menjauhkan Joni dan Surti. Anak tirinya telah membuka mata hati yang hampir disilaukan oleh tampilan luar Joni. Mbah Parni turun langsung dalam rencana memisahkan anaknya itu, ia tak mau melibatkan anak tirinya. Perlahan namun pasti Mbah Parni mulai memisahkan keduanya, jika Joni datang ke gubuknya untuk menemui Surti, dilontarkan olehnya alasan bahwa Surti sedang tidak di rumah entah pergi dengan siapa. Raut muka kekecewaan memang sempat terbesit di wajah Joni. Namun pemuda berbadan tengap dan berotot bak tentara itu sepertinya tak tertipu dengan omongan calon mertuanya.
            Seringkali disuruhnya Surti untuk membuatkan teh pahit kesukaannya ketika dari jauh telah terdengar motor Joni menuju rumahnya. Itu adalah satu cara Mbah Parni untuk tidak mempertemukan keduanya. Walaupun keduanya bisa saja bertemu di luar, namun setidaknya Mbah Parni dapat mengurangi frekuensi pertemuan dari keduannya.
            Surti sempat melemparkan tanya pada simboknya, dari dapur ia mendengar suara motor kekasihnya itu. Dicoba ditanyakan pada Simbok, tapi sepertinya jawaban tidak akan berubah dari mulut Mbah Parni.” Ah itu Cuma khayalan kamu aja Nduk,” kata Simbok. Namun Surti segera mengetahui bahwa Simbok berubah 180 derajat pada Joni. Kadang Simbok selalu menanyakan Joni dan kapan ia akan melamarnya anak gadisnya itu, namun sekarang menyebut namanya saja Simbok tak pernah. Curiga mulai mengoda Surti. Diteleponnya kekasihnya itu dan mengecek bagaimana kabarnya, dan sekedar menyampaikan rindu karena sekarang Joni jarang mengunjunginya.
            Kaget menyekap benak Surti setelah ia menerima telepon dari Joni. Pagi-pagi sekali Joni meneleponnya dan membahas hubungan mereka. Joni mengungkapkan kekecewaan atas perlakuan ibu Surti. Seringkali ia diusir secara halus ketika menyampaikan niat untuk menemuinya. Alasannya tak lain dan selalu itu, kata calon mertuanya Surti sedang pergi dengan temannya. Hati panas, sekaligus kaget tak percaya Surti pada Simboknya itu. Ia tak mengira Simbok akan memperlakukan Joni berbeda seperti saat pertama Joni berkunjung. Dengan perasaan yang campur aduk Surti menemui Simbok. Dilihatnya Simbok sedang menanak nasi. Didekatinya perlahan, ditatapnya Mbah Parni dengan tatapan kemarahan. Mbah Parni belum mengetahui jika Surti telah mengetahui rencananya untuk memisahkannya dengan Joni. Dengan perasaan marah Surti mengeroyok Mbah Parni dengan berbagai pertanyaan. Mbah Parni hanya tertunduk, ia belum sempat menjawab satu pertanyaan pun dari Surti. Surti terus memaksa Mbah Parni untuk menjawab keraguannya, apakah yang dikatakan Joni itu benar atau hanya alasannya saja hingga tak sempat mengunjunginya. Keduanya bungkam, Surti memilih meninggalkan Mbah Parni. Ia buru-buru pergi ke tempat kerja. Di Dapur Mbah Parni masih berdiri mematung, ketel nasi yang di pegangnya terjatuh ke ubin, hampir setengah isinya berceceran. Ia tertegun ketika melihat anak bungsunya membentak-menbentak sambil mengoyak-oyakan tubuh kurusnya, dibayangkan sekali lagi bagaimana Surti menatap matanya dengan tatapan kemarahan, kali ini Surti membiarkan kemarahan yang tak biasanya ia umbar.
            Seminggu berlalu, Surti masih belum mau berbicara dengan Mbah Parni. Narti tak banyak berbicara, ia akan takut jika ketika ia menasehati adiknya, akan dibalik pula dengan keadaan dirinya dan masa lalunya itu. Mbah Parni khawatir sikap Surti ini akan terus berkelanjutan, dan mungkin Surti akan berbuat hal-hal yang tidak diinginkan. Ditunggulah saat yang tepat oleh Mbah Parni untuk mengutarakan niat menjelaskan duduk perkara yang salah artikan oleh anak bungsunya. Ketika dilihat Surti sedang duduk termenung di teras Mbah Parni mendekatinya. Ini adalah saat yang tepat untuk membicarakan hal yang tidak diketahui oleh Surti. Didekatinya Surti perlahan, dibelainya dengan lembut rambut hitam yang tumbuh memanjang itu, sesekali Surti mengelak, sepertinya ia memberi tanda pada Simboknya untuk tidak membelai rambut dan menganggunya. Mbah Parni mulai membuka percakapan, dijelaskannya semua tentang Joni, mulai dari kebohongan tentang identitasnya hingga keluarganya. Mbah Parni menatap dalam mata Surti tapi Surti tak membalas tatapan itu. Dibalikannya tubunya dan membelakangi Simbok. Tapi Surti terlihat dengan serius mendengarkan kata demi kata yang keluar dari Simboknya. Ia mulai menyadari bahwa Simboknya berniat baik, agar ia tak salah memilih pasangan yang akan mendampinginya kelak. Badanya mulai berganti posisi, sekarang mulai mengarah ke arah Simbok. Dipeluknya erat tubuh Mbah Parni, air mata Surti membasahi baju Mbah Parni, keduanya larut dalam tangisan.
            Kini wajah ceria kembali muncul di wajah Surti. Tak ada lagi acara ngambek layaknya anak baru gede. Surti sudah mulai berbicara dengan Simbok dan menghentikan aksi mogok makannya. Surti tetap menjalin hubungan dengan Joni tanpa sepengetahuan Simbok tentunya. Dilarangnya Joni untuk datang ke rumah, mereka memilih untuk janjian bertemu di luar daripada harus menelan kekecewaan karena sikap Simbok yang sepertinya tidak akan berubah.
            Tak biasanya Surti bangun sesiang ini, Mbah Parni menghampiri Surti. Ditepuk pundak Surti dan disuruhnya untuk segera bangun. Surti masih pulas dengan tidurnya, mungkin kelelahan karena ia mengambil jam lembur. Berkali-kali usaha membangunkan Surti tak ditanggapi. Tiba-tiba Surti bangun, matanya melotot, diraihnya leher Mbah Parni, dicekeknya leher Simbonnya itu, sambil berkata tak jelas Surti terus mengoyak-oyakan tubuh Mbah Parni, dan Mbah Parni tak mampu melawan tenaga anaknya yang terlalu kuat itu, berteriaklah Mbah Parni. Sesaat dua orang tetangga yang mendengar suara terikan dari dalam rumah Mbah Parni segera masuk, keduanya kaget mendapati Surti tengah mencekek leher Mbah Parni. Di tarik paksa tubuh Surti dari Mbah Parni, tangannya masih mengenggam leher Mbah Parni dengan kuat, salah seorang tetangganya mencoba menarik paksa tangan Surti, akhirnya Mbah Parni bisa bernafas lagi walaupun sedikit sesak, lehernya memerah, dan bekas cakaran tangan Surti terlihat di pipi dan leher Mbah Parni. Kedua tetangganya mengikat Surti dengan tali tambang, di sumpalnya mulut Surti dengan kain, sedari tadi ia mengeluarkan kata-kata yang tak jelas, kadang terdengar kata Joni disebutnya berulang-ulang.
            Mbah Parni berinisiatif untuk memanggil orang pintar untuk menanggani anaknya. Setelah dibacakan beberapa mantra, Surti terdiam sesaat, kesadaran mulai ia dapatkan. Surti tidak lagi meronta-ronta, tubuhnya lemas karena sedari pagi ia mengerak-gerakkan tubuhnya untuk melepaskan diri dari tambang yang membelit tubuhnya. Bekas luka goresan tambang pun melekat di kulit langsat Surti, merah-merah dan berdarah. Kedua tetangga yang masih berada di rumah Mbah Parni melepaskan tambang dan memberikan minum yang telah dibacakan matra oleh orang pintar. Dipeluknya dengan erat tubuh Surti, ia berfirasat ada orang yang sengaja membuat anaknya menjadi kesurupan. Dan benar saja sang dukun menjelaskan bahwa Surti “dibikin orang” seperti kesurupan. Mbah Parni tak berniat menanyakan siapa dalang dibalik kejadian yang dialami anaknya, nama Joni telah berada di benaknya.              
            Semakin hari tingkah Surti semakin menjadi-jadi saja, kali ini ia sudah mulai membanting barang-barang. Hampir setengah lusin piring ia pecahkan, Mbah Parni kaget mendengar suara benda jatuh dari dapur. Mbah Parni menuju dapur, dan dilihatnya Surti telah mengenggam pisau di tangan kirinya, matanya melotot dan berwarna sedikit kemerahan, bibirnya terus menyebut nama Joni. Pecahan piring berserakan di ubin, ada beberapa yang melukai kaki Surti, Mbah Parni berusaha menyingkirkan pecahan-pecahan piring tersebut tapi Surti berulang kali mengacungkan pisau dan mengarahkan pada Mbah Parni, bukannya takut Mbah Parni malah mendekat pada sosok Surti yang sedang kesurupan itu.”Bunuh saja aku jika kamu memang menginginkannya Nduk,” seraya semakin mendekati sosok Surti, dari belakang terlihat Narti. Ia shock melihat apa yang ada di depannya, dilerai keduanya, Surti melepaskan pisau dari tangannya, ia lebih memilih mencekek leher Mbah Parni daripada menusuknya dengan pisau. Narti dapat mengendalikan Surti, didorongnya badan Surti hingga tersungkur, ditariknya tangan Simboknya dan segera dikuncinya pintu dapur dari luar. Dari dalam Surti mengedor-gedor pintu, ia berteriak tidak karuan, Narti segera membawa simbok menjauh dari dapur. Ditanyanya Simbok sambil memastikan bahwa simbok baik-baik saja dan tidak terkena pisau yang dibawa Surti.
            Narti melaporkan kejadian ini pada kakak tirinya. Tak perlu waktu lama, kakak tirinya memboyong Surti ke rumahnya. Mbah Parni mempercayakan Surti pada anak tirinya itu. Ia tak sanggup jika harus melihat Surti diikat dengan tali tambang dan mulutnya di jejali kain. Baru dua hari setelah kakak tirinya mengurusi Surti banyak kemajuan yang dialami Surti, kini ia tidak lagi mengamuk. Setiap malam kakaknya membacakan surat-surat dari kitab suci, sempat berontak dan menjerit-jerit ketika ayat suci itu dibacakan oleh kakak tirinya, tapi tak seberapa lama Surti kembali normal.
            Kakak tirinya menduga ini adalah perbuatan Joni. Ia tahu betul sikap penolakannya tidak di terima oleh Joni. Makanya ia mengarapi Surti sampai seperti ini. Hampir dilaporkannya ke pihak berwajib oleh anak tirinya itu tapi Mbah Parni melarangnya. Ia tidak mau jika kejadian serupa akan menimpa anak tirinya. Ia cukup tahu siapa yang melakukan perbuatan yang keji itu, orang yang hampir jadi calon mantunya.
            Kabar baik datang, Surti telah pulih dari sakit yang sengaja di kirimkan kepadanya. Badannya sedikit kurus, selama beberapa minggu Surti memang tak mau makan, rambutnya sedikit kumal, badannya penuh luka-luka bekas tali tambang yang beberapa kali sengaja dibelitkan ke tubuhnya demi menghalau sikap Surti yang nekat. Kedatangan Surti kembali ke rumah Mbah Parni disambut dengan senang terutama oleh Mbah Parni, sudah dua minggu lebih ia tak melihat sosok si bungsu meramaikan gubuknya. Mbah Parni memeluk erat Surti, air matanya mengalir perlahan, kagen tak terbendung kini sudah terpenuhi, sosok Surti kini akan meramaikan gubuknya kembali.
            Tak berapa lama, Surti menemukan jodohnya. Ia menikah dengan tetangganya. Ia kini mulai rajin menjalankan kewajibannya sebagai orang Islam, dan suaminya selalu membimbing Surti. Mereka tinggal bersama dengan Mbah Parni. Sengaja Mbah Parni meminta menantunya itu untuk tinggal bersamannya, ia tak mau jauh lagi dari anak bungsunya.
z
Karma Beranak Karma      
            Barangkali sudah dua atau malah tiga tahun Narti tidak menerima nafkah lahir maupun batin dari suaminya. Itulah sebabnya Narti memutuskan untuk memboyong kedua anaknya kembali ke rumah Simboknya. Lama ditinggal tugas suaminya di Aceh membuat Narti tak kerasan, ia sering kesepian belum lagi banyak suara-suara yang membicarakan suaminya yang dipindahtugaskan atasannya ke Jawa Barat tanpa diketahui oleh Narti, berhembus kabar bahwa suaminya telah menikah dengan perempuan Bandung. Narti sempat menaruh curiga pada suaminya, ia tak lagi menerima kabar darinya. Narti tak lagi mempunyai simpanan uang, ia terpaksa berhutang pada tetangganya untuk kembali ke pulau Jawa.
            Kepulangan Narti disambut hangat oleh Mbah Parni. Sekian lama anak sulungnya merantau bersama menantunya dan kini bisa kembali berkumpul dengannya. Saat pergi ke Medan Narti hanya berdua dengan suaminya, namun sekarang ia tak pulang seorang diri, dua anak laki-laki menemaninya kembali ke tanah kelahirannya.
            Kesepian membuat Narti terjerumus dalam hubungan terlarang. Ia menjalin cinta dengan tetangganya sendiri. Mbah Parni sempat melarang Narti untuk berhubungan dengan anak tetanggannya. Tapi perkataan Mbah Parni seolah hanya dianggap angin lalu saja. Memang benar lelaki itu berhasil mencuri hati Narti. Perhatiannya begitu tercurahkan untuk Narti. Setiap pagi diantarkannya Narti ke tempat kerja dan pulangnya pun tak perlu capek-capek harus berjalan kaki, tinggal telepon, sudah dijemput. Bak anak muda sekarang, setiap malam minggu pun anak tetangganya itu mengajak Narti kencan. Seolah Narti tak melihat sudah tiga anak ia keluarkan dari rahimnya. Mungkin Narti terlalu lama tak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari suaminya yang sekarang entah dimana. Tersiar kabar bahwa Narti telah berbadan dua. Mendengar berita itu Mbah Parni mencoba berprasangka baik pada anaknya, mungkin itu hanya kabar burung, batinnya. Tapi semakin lama berita tidak mengenakkan itu semakin sering ia dengarkan, suatu saat Mbah Parni menanyakan pada Narti tentang kabar buruk yang menimpa dirinya, Nartipun hanya menunduk mengiyakan berita yang telah terlanjur menghebohkan lingkungan sekitarnya. Mbah Parni hanya mengelus dada. Betapa tidak Narti harus mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Belum puaskah ia menyiksa batin Simboknya dengan setiap perilaku menyimpangnya ? Mbah Parni memang tak memamerkan kemarahannya, ia menguci rapat-rapat mulutnya, menahan air mata yang memaksa untuk dikeluarkan dan menahan sakit hatinya. Sampai pada titik puncak ia menahan kemarahan yang terbendung, Mbah Parni jatuh sakit. Ia menderita darah tinggi hingga harus diopname di rumah sakit tak jauh dari rumah anak tirinya.
            Gunjingan seakan tak mau berhenti. Membuat telinga Mbah Parni semakin panas. Orang-orang meluncurkan tuduhan pada anak sulungnya. Narti dan kekasihnya dianggap telah berzina karena telah melakukan hubungan suami-istri sebelum menikah. Tapi Narti seolah tak ambil pusing dengan omongan tetangganya, toh mereka tidak tahu apa yang Narti rasakan. Perut Narti semakin lama semakin membuncit. Narti memang tak menuntut lebih pada kekasihnya itu. Ia hanya menginginkan anaknya akan diakui olehnya dan kebutuhan hidup ia beserta anaknya kelak dapat dipenuhinya. Sesempit itukah pikiran Narti ? Apa benar cinta telah menutup hati kecilnya atau malah sampai menghilangkan akal sehatnya ? Hingga sebegitu takluk ia dengan lelaki yang baru sebulan ia kenal. Selama mengandung segala kebutuhan dicukupi oleh kekasihnya, mau nyidam makan buah tinggal minta, sekedar jalan-jalan untuk menghilangkan penat kekasih selalu siap sedia, sampai membeli perlengkapan bayi pun kekasihnya berikan.
            Tiba saat Narti melahirkan. Kekasihnya telah menyewa mobil untuk membawa Narti. Sesaat setelah adzan magrib berkumandang, Narti mengeluh merasakan nyeri di perutnya, dan ia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Persalinan Narti sempat tersendat, bayinya tak mau keluarkan sedangkan air ketubannya sudah pecah. Ia terpaksa dipindahkan ke rumah sakit lain yang mempunyai peralatan yang lebih memadahi. Sepanjang perjalanan Narti mengeluh kesakitan, darahnya terus mengalir deras dari bawah perutnya, sang kekasih terus memberikan semangat untuk bertahan. Tepat pukul dua dini hari bayinya lahir. Anak perempuan ia terima dari Sang Pemberi Hidup. Setelah dibersihkan dari darah yang melekat bayi perempuannya diserahkan suster pada kekasihnya. Wajah Narti masih terlihat pucat, keringat masih keluar dari kepalanya, ia harus kehilangan banyak darah ketika melahirkan anaknya.
            Mbah Parni masih lemas, ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah tiga hari diopname. Bahkan ia tak sempat menemani Narti untuk bersalin. Ia mendapatkan kabar dari tetanggan yang menjenguknya bahwa Narti melahirkan anak perempuan, anaknya persis sama bapaknya, kata tetangganya itu. Tak berselang lama setelah Mbah Parni tiba dirumah, disusul rombongan Narti, kekasihnya, anak bungsu dan suaminya. Dari jendela ruang tamu ia melihat Narti begitu hati-hati mengendong bayinya. Tak tahan melihat tingkah Narti, Mbah Parni bukannya menyambut kedatangan Narti ia malah masuk menuju kamar. Narti tak melihat sosok Simboknya akan menyambutnya di ruang tamu, ia sudah mengira Simboknya memang tak akan memberi sambutan pada ia dan cucunya itu. Ia sadar telah kedua kalinya ia membuat kesalahan.
            Awalnya memang Mbah Parni tak menganggap kehadiran seorang cucu di rumahnya. Bahkan suasana dinginpun masih menyelimuti Mbah Parni dan Narti. Keduanya tak jarang hanya berdiam ketika bertemu. Tak ada kata yang harus dikeluarkan untuk sekedar menanyakan keadaan masing-masing. Hingga akhirnya hati Mbah Parni luluh ketika mendengar suara bayi Narti menangis sejadi-jadinya. Ia terenyuh dan segera dihampirinya bayi itu. Narti sedang keluar membelikan susu untuk bayinya itu. Ia tak menitipkan bayinya pada Simboknya, pasti Simboknya menolak. Mendengar suara tangisan bayinya, Narti segera bergegas menuju kamarnya, ia kaget Simbok sudah berada di dalam dan telah menggendong bayinya yang dicoba ditenangkannya. Menyadari kehadiran Narti, Mbah Parni segera memberikan bayinya pada Narti. Dan tanpa aba-aba Mbah Parni meninggalkan Narti dan bayinya.
             Kini umur cucunya telah menginjak satu tahun. Nara, nama yang diberikan Narti untuk anak perempuannya itu. Badannya cukup gemuk, rambutnya keriting seperti bapaknya, hidung tidak terlalu mancung, dan pipinya seperti bakpao. Mbah Parni sudah menganggap Nara sebagai cucunya sendiri. Ia tak lagi mempermasalahkan dari mana ia hadir. Ia juga telah memperbaiki hubungan dengan Narti, keduanya kembali seperti biasanya. Kebahagian kembali meliputi keluarga Mbah Parni. Anak bungsunya memberinya cucu laki-laki, jadi pas sekarang, ia diberikan cucu sepasang oleh Sang Pemberi Hidup. Memang Mbah Parni tak menganut agama apapun, ia masih menganut keyakinan animisme dan dinamisme yang ia dapat dulu dari orangtuanya. Kendati begitu ia tetap percaya dengan Tuhan, ia tetap bersyukur dengan apa yang telah Sang Maha Pemberi segalanya berikan, bahkan ketika ditimpa berbagai cobaan pun ia tetap mengingat Tuhan. Anak tirinya pernah meminta Mbah Parni untuk beragama, namun ia masih enggan untuk melakukannya.
            Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Sudah lima tahun berlalu begitu cepat. Kini usia Mbah Parni telah menginjak 70 tahun. Fisiknya semakin melemah ditambah catatan kesehatan yang dimiliki Mbah Parni, ia mempunyai riwayat penyakit darah tinggi yang suatu saat dapat mengancam nyawannya. Di usia senjanya ini Mbah Parni masih melakukan aktifitas seperti biasa, bercocok tanam di sawah miliknya. Kebahagian begitu dirasakan oleh Mbah Parni, ia mempunyai lima cucu, dua perempuan dan tiga laki-laki. Cucu-cucunya itu memberikan sedikit kebahagian untuknya. Walaupun terkadang rasa sakit hati itu masih ada. Mbah Parni mencoba melupakan masa lalu dari kedua anaknya itu. Ia ingin membuka lembar baru kehidupan diusia senjanya.
            Tahun ini adalah tahun kelulusan bagi cucu pertamanya. Ia akan menamatkan pendidikan sekolah pertamanya. Ia tak berniat utnuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, ia sadar keadaan ekonomi keluarga tak mendukungnya untuk lanjut ke bangku SMA. Ditepiskan keinginan untuk memakai seragam putih abu-abu yang menjadi kebanggaan setiap anak. Ia memilih untuk membantu mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Mbah Parni hanya bisa pasrah, ia tak ingin merepotkan anak tirinya. Si cucu pun tidak menuntun untuk disekolahkan. Cucunya itu dipekerjakan oleh tetangganya di salon kecantikan. Mbah Parni senang cucunya bisa membantu mencari nafkah. Baru sebulan cucunya bekerja, ia membelikan kain jarik untuk Mbah Parni. Rasa banggapun kembali menghiasi senyum Mbah Parni, ia tak menyangka cucunya yang kemarin baru ia gendong dengan jariknya sekarang sudah mampu membelikan kain jarik dengan keringatnya sendiri. Dua tiga bulan cucunya masih betah bekerja di salon kecantikan milik tetangganya, hingga akhirnya cucunya keluar dari tempat kerja. Sempat Mbah Parni menanyakan apa alasan cucunya keluar dari tempat kerja, padahal fasilitas serta gaji yang diterimanya cukup. “Aku kesel Mbok kerjo ning salon,” kata cucunya. Mbah Parni tahu bahwa cucunya itu berangkat pukul delapan pagi dan pulang pukul delapan malam, maka wajar anak seusianya mengaku kelelahan setelah bekerja 12 jam per hari. Sempat Mbah Parni menasehati cucunya, “memang kalau nyari rejeki itu capek tapi kalau dapat duitnya pasti seneng, capeknya jadi ilang Nduk”, kata Mbah Parni, dan cucunya hanya membalas dengan senyum simpulnya.
            Kehadiran tamu mengagetkan Mbah Parni yang sempat  tertidur di kursi ruang tamu. Dipersilakannya tamu untuk duduk. Anak dari teman cucunya beserta kedua orang tuanya tak biasanya datang kerumahnya, malam hari pula. Disuruhnya cucunya untuk membuatkan minuman. Setelah minuman tersaji di atas meja Mbah Parni menyilakan tamunya utnuk menikmati suguhannya. Sang cucu tak ikut duduk menemani Mbah Parni menemui tamunya. Ayah dari teman anaknya menyampaikan maksud kedatangan mereka, yaitu mau melamar cucu Mbah Parni. Sejenak Mbah Parni berpikir. Dicoba ditanyakan sekali lagi maksud kedatangan mereka, namun jawaban tak berubah. Sampai akhirnya Mbah Parni memberanikan diri bertanya tentang lamaran yang begitu mendadak itu. Giliran ibunya yang berbicara, ia mengatakan bahwa cucunya telah isi. Mbah Parni masih belum mengerti apa yang dibicarakan oleh ibu dari teman cucunya itu. Mbah Parni memanggil cucunya untuk membantu menjelaskan duduk perkaranya. Cucunya mengaku bahwa ia telah telat tiga bulan. Sejenak Mbah Parni terdiam, ia hampir pingsan ketika cucunya mulai membuka mulut. Dengan perasaan campur aduk, Mbah Parni mengiyakan tawaran dari calon mertua dari cucunya. Dua jam mereka membicarakan acara lamaran yang akan dilaksanakan secepatnya. Ketiganya berpamitan untuk pulang.
            Tubuh Mbah Parni masih terpaku di kursi. Ia terdiam dan termenung. Itukah alasan cucunya keluar dari pekerjaan, karena ia telah berbadan dua sekarang. Oh nasib memang tak bisa ditebak. Kini ia dirundung kembali dengan permasalahan baru. Cucu pertamanya hamil di luar nikah dan ia masih di bawah umur. Mbah Parni segera mengumpulkan anak-anaknya, ia membicarakan apa yang telah terjadi. Terlihat wajah kaget ketika Mbah Parni menyebutkan bahwa cucunya telah berbadan dua. Narti hampir pingsan mendengar apa yang diucapkan oleh Simbok. Ia tak menyangka anaknya akan menuruni sifatnya yang melenceng itu. Narti tak tahan mendengar apa yang dikatakan oleh Simboknya, ia berlari menuju kamar anak sulungnya. Didapatinya anak sulungnya berada di pojok kamar, matanya basah, bahkan terkesan bengkak, mungkin sudah berhari-hari ia menangisi perbuatannya. Narti hampir memaki-maki anaknya namun diurungkan niatnya itu, sama saja menyindir dirinya tak tak jauh berbeda dengan anaknya. Bukankah Narti juga hamil di luar nikah ? Tak hanya sekali, dua kali bahkan.
            Mbah Parni dan menantunya segera mengurus kelengkapan surat-surat yang dibutuhkan. Seperti dikejar bom saja, usaha mereka harus bersaing dengan perut cucunya yang semakin hari semakin membuncit saja. Berkali-kali Mbah Parni menuju rumah ketua RT-nya. Sepertinya usaha untuk mengurus surat-surat sebagai syarat menikah cenderung lambat bahkan hanya diam di tempat. Memasuki bulan kedua Mbah Parni masih terus berjuang mengurus surat-surat, bahkan kartu tanda penduduk yang diajukannya tak kunjung ia dapatkan. Mbah Parni mulai frustasi, ia sepertinya sudah tak sanggup lagi melajutkan usahanya untuk mencari surat nikah . Ia sudah kadung malu dengan tetangganya, terlebih Mbah Parni sudah hutang sana-sini untuk usaha menutupi biaya pembuatan surat-surat yang cucunya butuhkan. Benar saja sekarang usia kandungan cucunya sudah menginjak lima bulan, dan sudah tak bisa lagi disembunyikan dibalik bajunya. Tapi sifat ibunya telah menurun pada dirinya, ia seolah masih santai dan tak peduli dengan perutnya yang semakin besar itu. Ia masih sering berpergian keluar sekedar untuk membeli kebutuhannya. Mbah Parni sempat melarang cucunya itu, namun cucunya tetap bersikeras pergi. Tak jarang cucunya menginap di rumah calon mertuanya itu, pacarnya memang memintanya untuk tinggal bersamanya, tinggal satu atap tanpa ikatan kah ? Apa itu bukan namanya kumpul kebo ? Entahlah, tanyakan saja pada hati nurani masing-masing ?
            Usaha Mbah Parni memang belum menunjukkan tanda-tanda. Bahkan sempat berhenti selama sebulan. Ketua RT-nya jatuh sakit karena darah tinggi yang ia derita. Pasrahlah Sudah Mbah Parni dengan keadaan yang sedang ia rasakan. Sudah enam bulan bayi tumbuh dalam rahim cucunya, tinggal tiga bulan lagi, Mbah Parni akan menimang cicit pertamanya. Yang menjadi permasalahan adalah, cucunya belum menikah, artinya belum sah baik secara agama atau negara. Mbah Parni memang tak meminta lebih dari calon mertua cucunya itu, ia hanya meminta anaknya menikahi cucunya, masalah kebutuhan bisa ditanggung bersama.
            Batin Mbah Parni sudah tak karuan, ia tak tahu harus merasakan apa. Senang atau sedih itu sudah tidak penting ia rasakan lagi. Badan Mbah Parni kini kurus kering, ia kurang makan dan kurang tidur. Bagaimana bisa makan enak dan tidur nyenyak jika perut cucunya semakin membesar saja. Ia tak tahan melihat cucunya sering mengurung diri dan menangis sesenggukan menyesali perbuatannya. Kenapa tidak sedari awal saja ia menangis dan menyesalinya. Apakah ia mewarisi sifat ibunya yang suka menyeleweng ? Disaat seperti ini, ingin rasanya Mbah Parni membiarkan nyawanya pergi meninggalkan raganya untuk selama-lamanya, namun ia kembali mengingat Sang Pemberi Hidup, mungkin DIA sedang mengujinya untuk meningkatkan derajatnya. Mbah Parni menikmati senjanya yang penuh dengan buliran air mata yang senantiasa tak mau jauh-jauh mengalir dari matanya. Disetiap air mata yang keluar itu ia berharap akan keluar juga ia dalam kesedihan, kesusahan hidup yang mewarnai jalan hidupnya. Kini yang dinanti adalah, ketika cucunya mengucapkan janji sehidup semati dengan kekasihnya itu sebelum nyawa berpisah dengan raganya.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar