Air Mata Senja
Usianya
telah menginjak kepala enam. Raganya masih terlihat bugar, tidak terlihat
punggungnya terkena penyakit oesteoporosis layaknya orang lanjut usia
pada umumnya, tubuhnya tinggi malahan terlalu tinggi untuk ukuran wanita di
masanya 170 cm, mukanya sedikit hitam karena sering diterpa matahari saat
beraktifitas, rambutnya memutih, dan tubuhnya mengurus termakan usianya.
Di
hari senjanya Mbah Parni biasa disapa harus turut membanting tulang untuk
membantu mencukupi keluarganya. Uang pensiun tinggalan dari suaminya yang
menjadi pegawai negeri berpangkat rendah tak cukup menutupi kebutuhan yang
semakin hari semakin bertambah saja.
Bersama
dengan dua anak perempuan, menantu, dan tiga cucunya Mbah Parni tinggal. Rumah
Mbah Parni memang terbilang luas, anak tirinya memperbaiki gubuknya yang dulu
hampir rubuh termakan usia. Bangunannya nampak kokoh dan lebih layak untuk di
tinggali. Tak banyak perabotan yang mengisi rumah Mbah Parni. Diruang tamu
hanya ada meja berukuran sedang dengan empat kursi yang mengelilinginya,
televisi 14 inci, di dinding terpasang foto pernikahan anak keduanya serta jam
dinding yang hampir mati. Dindingnya penuh coretan-coretan dari pensil warna, karya
besar lukisan abstrak dari cucunya yang paling kecil. Mbah Parni kerapkali
memarahi cucunya itu untuk tidak mencoret-coret dinding yang kini terlihat
kotor dan tidak sedap di pandang mata, namun namanya anak kecil semakin
dilarang malah semakin menjadi dan sering mengulangnya.
Ada empat kamar tidur berukuran 2 x 3 m, dapur, dan kamar
mandi. Bahkan saking luasnya, bagian dari rumah Mbah Parni ada yang disewakan.
Banyak dari bagian dalam kamar tidak diplester, keterbatasan dana dari
anak tirinya dan Mbah Parni pun tak menuntut lebih rumahnya harus bagus, yang
penting dapat ditempati dan melindungi diri dari panas dan hujan, sudah cukup
baginya.
Hari-hari Mbah Parni disibukkan dengan bercocok tanam di
sawahnya. Harta tinggalan dari almarhum suaminya. Walaupun Mbah Parni hanya
istri ke dua namun suaminya memberi haknya untuk menerima uang pensiun dan
menggarap sawah. Sawah menjadi sumber utama penghasilan Mbah Parni, ia tak mau
menerima belas kasihan dari anaknya terutama anak tirinya yang sudah ia anggap seperti
anak sendiri. Mbah Parni menanami sawahnya dengan berbagai palawija seperti
singkong, kacang, dan jagung, jika cuaca mendukung Mbah Parni menanam padi. Tak
jarang Mbah Parni juga bekerja mengarap ladang orang demi menambah penghasilan
yang kadang tak di dapatnya dari sawah sendiri.
Dua anak dan
menantunya pun tidak tinggal diam di rumah. Ketiganya nyambi kerja
seadanya, dua anak perempuannya bekerja di pabrik mebel tak jauh dari rumah
sedangkan menantunya menjadi penjaga rumah di kompleks sebelah mereka tinggal.
Dua cucunya sudah sekolah, cucu yang paling besar sudah kelas tiga sekolah
menengah pertama, cucu keduanya masih sekolah dasar, dan si buyung baru akan
masuk taman kanak-kanak tahun depan.
Saat pagi menjelang semua anggota keluarga sibuk dengan
urusan masing-masing. Pagi-pagi sekali Mbah Parni sudah bergegas menyiapkan
sarapan untuk anak dan cucunya. Mbah Parni sering membelikan bubur jika
persediaan beras habis. Terkadang seorang cucunya melemparkan pertanyaan protes
jika setiap hari sarapannya hanya bubur, Mbah Parni hanya terdiam dan mengelus
dada. Bibirnya diam tapi hatinya menangis.
z
Kembali Ke Rahmatullah
Pagi itu Mbah Parni merasa gelisah sendiri. Dari semalam
pikirannya tak tenang. Ada yang mengganjal pikirannya sehingga usaha untuk
memejamkan matanyapun berakhir sia-sia, ia tetap terjaga hingga pagi menjelang.
Kegelisahan tiba-tiba mengelayutinya, Mbah Parni membatin semoga tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Seperti
biasa Mbah Parni sibuk membereskan rumah, setelah menyapu halaman rumah.
Dilanjutkannya pekerjaan rumah yaitu membuat sarapan untuk anak dan cucunya.
Kali ini tidak bubur lagi tapi diganti dengan nasi goreng dan telur goreng.
Setelah
selesai sarapan secara berbarengan anak dan mertua menuju tempat bekerja di
susul dengan dua cucunya yang bergegas ke sekolah. Dirumah hanya tinggal Mbah
Parni dan cucu paling kecilnya. Dimandikannya dengan air hangat dan diganti
pakaiannya dengan yang bersih. Setelah pekerjaan rumah diselesaikannya dan
kewajiban untuk memandikan cucunya sudah ia lakukan, Mbah Parni bergegas pergi
ke sawah.
Ketika matahari sudah berada di atas kepala, Mbah Parni
mengakhiri pekerjaannya dan kembali ke rumah. Dari jauh terlihat cucunya sudah
mengeluh kelaparan dengan ngedumel sendiri di depan pintu. Dibukanya
pintu dan segera menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Dimasaknya daun
singkong yang didapat dari sawah oleh Mbah Parni dan digorengnya tempe yang
ditukarkan dengan sebagian daun singkong yang dijualnya.
Kedua anak perempuannya kembali ke rumah untuk sekedar ngaso
dan mengisi perut. Keduanya memilih untuk mengisi perut di rumah ketimbang
harus mengeluarkan uang beberapa lembar ribuan. Mbah Parni menyuruh kedua
anaknya untuk bersantap siang, tentu dengan makanan seadanya. Kedua anaknya ini
tidak pernah protes dengan apa yang dibuat oleh Mbah Parni.
Mbah Parni sejenak mengistirahatkan badannya yang sedari
tadi ia gerakkan. Dicucupnya teh hangat pahit yang biasa ia buat. Disandarkan
punggungnya ke tembok dan membiarkan rambut yang kian hari kian memutih itu
tertiup angin. Hari ini cukup melelahkan, dicangkulnya hampir setengah bagian
sawahnya, Mbah Parni berencana untuk menanaminya dengan jagung.
Menantunya telah kembali ke rumah, dibawakan makanan
pemberian dari majikannya. Seperti giliran saja, dua anak perempuannya kembali
untuk bekerja. Dilihatnya dengan senyum simpul kedua anaknya itu, lalu
terkenang peristiwa-peristiwa yang cukup memainkan logika untuk berpikir lebih
dalam.
Anak sulungnya, Narti mempunyai trackrecord kelam.
Sekolah menengah atas tak sampai ia tuntaskan, terpaksa ia hentikan karena
sebuah janin sudah berada di perutnya. Tak lain tak bukan ayah dari sang jabang
bayi itu adalah Joko, anggota tentara yang sejak setahun lalu menjalin kasih
dengan Narti.
Narti mengandaskan impian untuk menuntaskan sekolahnya.
Dipilihnya untuk menjadi istri dari seorang tentara. Pikiran Narti terlalu
sempit, otaknya sudah dibutakan dengan namanya cinta. Dinikahinya Narti oleh
Joko, di saksikan oleh keluarga dari Joko dan tentu saja Mbah Parni. Raut muka
Mbah Parni menyimpan tanya, senyum simpul berkali-kali ia lemparkan pada
orang-orang yang hadir dalam hajatan itu, namun hatinya sejatinya menangis,
sejadi-jadinya menangis. Anak perempuan yang ia sayangi sekarang telah
mengucapkan janji setia seumur hidup dengan lelaki yang sama sekali belum
dikenalnya itu. Bahkan Mbah Parni baru mengetahui siapa nama menantunya ketika
penghulu menyebutkan nama pengantin prianya.
Beberapa bulan dari pernikahan, Narti melahirkan anak
perempuan. Joko memutuskan untuk memboyong Narti dan anaknya untuk menempati
rumah dinas tak jauh dari kediaman mertuanya. Joko mendapatkan tugas negara
untuk menjaga keamanan di Aceh. Mbah Parni sempat meminta Narti untuk tinggal
bersamanya namun Narti menolaknya, alasannya ia tak mau merepotkan ibunya untuk
kedua kalinya.
Narti mengemasi pakaian seadanya dan pindah menuju rumah
dinas Joko. Dimatanya Joko adalah sosok yang begitu asing baginya. Narti belum
pernah sama sekali membawanya ke rumah untuk sekedar memperkenalkan padanya,
mendadak sekali Narti memberitahu rencananya untuk menikah, itu pun Narti sama
sekali tidak memberitahu bagaimana calon suaminya itu.
Mbah Parni sadar ia melamun terlalu lama. Cucu paling
besarnya telah pulang disusul dengan cucu keduanya. Cucunya terlihat lahap
menikmati makan siangnya, sayur daun singkong dan tempe goreng di temani nasi
hangat, sederhana tapi nikmat sekali untuk perut yang sedari tadi menahan
lapar.
Dilewati begitu saja ketiga cucunya yang sedang asyik bersantap
siang sembari menonton TV. Mbah Parni beranjak ke kamar, tubuhnya memaksa untuk
dibaringkan sejenak. Disusunnya bantal menjadi dua, direbahkan badannya yang
letih setelah beraktifitas sedari pagi. Mbah Parni tertidur nyenyak.
Rumah sudah kembali ramai dengan penghuninya. Kedua anak
dan mertuanya telah kembali dari tempat bekerja. Narti mencari sosok ibunya
dari ruang tamu sampai dapur tapi tak dijumpainya sosok yang dicarinya.
Beranjak ke tempat tidur Simbok, biasa Narti memanggil Mbah Parni. Didapatinya
orang yang dicarinya tertidur nyenyak sekali, terdengar sesekali dengkuran yang
lumayan keras. Dibiarkan Simbok tidur, tak biasanya Simbok tidur seawal ini,
mungkin ia kelelahan, batin Narti.
Sore mulai menjelang. Matahari mulai kembali ke peraduannya.
Langit mulai gelap agak semburat. Beberapa burung terlihat bergerombol ke arah
utara kembali ke sarangnya. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu. Mbah
Parni masih tertidur nyenyak, terlalu pulas malahan, tak satupun anaknya
membangunkannya untuk sekedar membersihkan badannya dari keringat.
Seseorang dari depan pintu mengetuk beberapa kali, cucu
sulungnya membuka pintu perlahan. Seseorang yang belum pernah dilihat dan
dikenal sebelumnya, dipanggilnya ibunya, Narti. Dengan sedikit buru-buru Narti
segera menemui orang yang datang ke rumahnya itu.
Dengan sedikit terbata-bata seseorang yang mengaku teman
kerja dari kakak tirinya itu menyampaikan kabar buruk. Kakak tirinya mengalami
kecelakaan kerja waktu pulang dari kantor. Sekejap ruang tamu yang sedari ramai
dengan candaan cucunya mendadak jadi hening, raut muka bingung dan kagetpun
bercampur jadi satu.
Dibangunkan secara perlahan Mbah Parni oleh menantunya.
Mbah Parni sempat kaget ketika tangannya diraba, dan ia mulai membenarkan
posisinya. Dirapikan bajunya, ditalikan kembali tali stagennya,
digelungkan rambut yang acak-acakan, setelah rapi Mbah Parni menuju ke depan.
Dijelaskan kembali apa yang sedang terjadi. Bahwa
menantunya terkena musibah, motor yang dikendarainya terserempet truk pengangkut
pasir. Mbah Parni sesaat terdiam, ia baru sadar pikirannya semalam itu
merupakan firasat dari Sang Maha Kuasa bahwa akan terjadi sesuatu yang akan
menimpa keluarganya.
Mertuanya telah meminta bantuan pada tetangga, untuk
meminjam mobil. Mbah Parni, kedua anak dan menantunya menuju rumah sakit tempat
dimana anak dan menantunya di rujuk. Dengan perasaan bercampur aduk Mbah Parni
memikirkan nasib anak dan menantunya itu. Mobil dilarikan dengan kecepatan
sedang menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, menantunya segera mencari
tahu tentang pasien atas nama kakak iparnya itu. Ternyata istrinya mengalami
luka cukup parah, dokter memberikan dugaan sementara bahwa istri dari kakak
iparnya itu terkena gegar otak yang disebabkan terbenturnya kepala cukup keras
dengan jalan. Anak tirinya itu tidak mengalami luka cukup berat, hanya
lecet-lecet di bagian tangannya. Mbah Parni mendekat pada anak tirinya,
dilihatnya anak tirinya itu dengan tatapan dalam, air matanya menetes tanpa ia
sadari. Beberapa kali anak tirinya itu ngedumel tentang peristiwa yang
begitu cepatnya terjadi. Sesekali dari sanak keluarga dan teman kantor anaknya
yang menjenguk bertanya tentang kronologi yang mengakibatkan istrinya kini
terbujur koma.
Mbah Parni tak kuat melihat menantunya terbujur kaku di
tempat tidur. Hidungnya ditempel alat bantu pernafasan, tangannya dipasang
selang infus, dan badannya ditutupi selimut. Air matanya menetes, dadanya
sesak, mulutnya terbungkam. Mbah Parni mengamati lebih dekat, dibelaninya
rambut menantunya itu dengan lembut.
Diputuskan untuk menunggui menantunya yang berjuang
melawan maut itu. Menantu lainnya sempat menyarankan Mbah Parni untuk pulang,
tak baik untuk orang tua terlalu lama di rumah sakit bujuknya. Namun sepertinya
kata-kata itu hanya di anggap angin lewat saja. Mbah Parni masih duduk di
sebelah menantunya yang sedang berjuang untuk hidup kembali.
Mbah Parni memutuskan bermalam di rumah sakit.
Ditenangkan hati anak tirinya, diberikan semangat untuk tidak menyesali
kejadian yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
“Sabar le, ini sudah
jalannya sang kuasa,” sembari Mbah Parni mengusap air matanya yang sedari
tadi membasahi pipinya.
Anak tirinya itu tidak
menjawab sepatah katapun. Bibirnya mendadak kaku, sejak tadi ia terus
mengulang-ulang menceritakan kronologi kecelakan yang menimpa ia dan istrinya,
mungkin lelah, hatinya bukan bibirnya.
Pagi-pagi sekali menantunya sudah datang ke rumah sakit.
Dibawakannya makanan kecil dan air panas yang dimasukkan ke tremos.
Dibuatkannya kopi dan diberikan roti untuk kakak iparnya, sempat ditolaknya
namun ia tetap membujuk kakak iparnya untuk mengisi perut. Kembali diisi gelas
dengan air panas, dibuatnya teh panas pahit kesukaan mertuanya itu.
Perkembangan hari kedua tidak menunjukkan peningkatan.
Malah kata suster yang merawat istri kakak iparnya itu semakin melemah, detak
jantungnya tidak sekuat saat awal pemasangan alat pendeteksi detak jantung.
Dicoba dilihatnya alat yang dipasang di dada istri kakak iparnya, diperhatikan
garis-garis yang nampak di layar benda yang diletakkan di meja samping tempat
tidur. Garisnya naik turun, cenderung semakin lemah. Tidak secepat dan sebanyak
kemarin garis-garis yang menunjukan detak jantung itu.
Dihari kedua menantunya itu dirawat pembesuk terus
berdatangan dari pagi. Kebanyakan dari teman kantor anak tiri dan menantunya
itu. Siang hari datang besannya dan beberapa keluarga dari menantunya. Besannya
terlihat sangat shock melihat anaknya terbujur kaku di ranjang dengan
bantuan alat pernapasan. Kedua besan itu nampak saling menguatkan satu sama
lain, terutama ibu dari istri anak tirinya. Mbah Parni sesekali mengusap
matanya yang sembab karena dari semalam air matanya tak berhenti mengalirkan
air mata kesedihan.
Kedua keluarga nampak berkumpul di Kamar Elisabeth yang
masih di bagi dua dengan orang yang juga di rawat sekamar dengan menantunya
itu. Salah satu keluarga dari istrinya meminta pihak rumah sakit untuk
memindahkan adik mereka ke ruang yang lebih nyaman, karena ruangan yang ditempati
terlalu ramai.
Perlahan pembesuk mulai meninggalkan ruangan. Segenap doa
dan harapan ditujukan untuk menantunya. Ruang menjadi sepi. Suster menyuruh
para penunggu dan pembesuk meninggalkan pasien karena akan dilakukan
pemeriksaan terhadap pasien. Dan pembesuk pun mulai meninggalkan ruangan.
Mbah Parni dan
anak tirinya berada di teras ruangan. Keduanya terlihat duduk sedikit
berjauhan. Mbah Parni menyuruh anak tirinya itu untuk membersihkan badannya
yang sedari kemarin tidak tersentuh air. Pikirannya terkuras untuk istri
tercintanya, mungkin sampai tak sempat memikirkan untuk mandi bahkan makan,
rasanya menelan air pun sangat tidak nafsu, kesedihan telah menghilangkan nafsu
makannya.
Malam mulai mengepung kota istimewa ini. Jalan di sekitar
rumah sakit mulai padat oleh orang-orang yang pulang dari beraktifitas.
Lampu-lampu rumah sakit mulai di hidupkan. Dokter dan suster yang memeriksa
menantunya itu akhirnya keluar juga. Sejak satu jam lalu keduanya sibuk
memeriksa menantunya. Diajaknya anak tiriny ke ruangan dokter, untuk
membicarakan tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh pihak rumah sakit.
Setelah dilakukan scan ternyata istrinya terkena
gegar otak yang kemungkinan besar karena kepalanya membentur terlalu keras
jalan. Didengarnya penjelasan dokter dengan seksama, dokter hanya mengatakan
bahwa nyawa istrinya hanya bergantung pada alat bantu pernafasan yang sekarang
dipasang di badan istrinya itu. Sekejap badannya lemas mendengar perkataan
dokter. Diterimanya kabar yang semakin membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Perasaan bersalah pun mengelayuti jiwanya, secara tidak langsung ia menjadi
perantara Tuhan dengan terjadinya musibah yang menimpa istrinya sekarang.
Dihampiri kedua anaknya itu. Si kecil belum begitu
memahami apa yang sedang terjadi dengan ayahnya. Dijelaskannya secara singkat
tentang apa yang sedang terjadi pada Ibu mereka. Anak sulungnya hanya terdiam,
sesekali tangannya memegang tembok. Spontan ia berkata bahwa ibu mereka tidak
akan lama lagi hidup.
Mbah Parni dan kedua cucunya diantar oleh keluarga
menantunya kembali ke rumah. Tak baik untuk orang lanjut usia dan anak-anak
untuk berada di rumah sakit. Dan akhirnya Mbah Parni mendengarkan nasihat ini.
Ketiganya kembali ke rumah.
Ruang Elizabeth kembali hening. Jam kunjung pembesuk
sudah habis. Waktunya memberi kesempatan untuk para pasien beristirahat. Dengan
setia ditemaninya istri yang semenjak hari Senin tertidur dan belum menunjukkan
tanda-tanda untuk bangun. Bahkan mungkin tak mau bangun dan mengakhiri mimpi
panjangnya.
Tepat pukul 20.55, istrinya menghembuskan nafas terakhir.
Istrinya telah kembali ke rahmatullah setelah tertidur selama tiga hari di
rumah sakit. Dokter mengecek pasien dan memastikan pasien telah berhenti
bernafas. Diceknya denyut nadi, sudah hilang, dilihatnya matanya, sudah putih.
Istrinya telah berpulang ke rahmatullah.
Pihak rumah sakit menunggu selama dua jam sesuai dengan
prosedur yang biasa di gunakan. Siapa tahu dalam waktu dua jam itu Tuhan masih
memberikan nafas kedua untuk mereka yang telah mengalami proses sakaratul maut.
Namun dua jam telah berlalu dan istrinya itu tidak terbangun lagi. Badannya
kaku, dan tetap kaku seperti dua jam sebelumnya. Petugas membawa istrinya ke
ruang jenazah untuk dimandikan kemudian diserahkan kepada pihak keluarga.
Secara tidak langsung jasad istri dari menantunya itu
tidak menginginkan kedua anak dan mertuanya untuk menyaksikan sakaratul
mautnya. Saat itu hanya sang suami yang menyaksikan peristiwa berpisahnya arwah
dengan jasad. Tenang, perlahan dan berlangsung secara cepat.
Sesampainya Mbah Parni dan kedua cucunya sampai rumah.
Kabar duka diterimanya dari orang rumah sakit. Menantu dan anak keduanya
kembali lagi ke rumah sakit. Dilihatnya kakak ipar mereka meneteskan air mata,
mereka mendekat dan menguatkan hati kakak iparnya.
Diberitahu keluarga dari pihak istri kakak iparnya. Dan
tak lama kemudian beberapa orang dari keluarga istrinya datang. Setelah urusan
administrasi selesai, jenazah istrinya di bawa ke rumah mertuanya itu.
Perjalanan hanya sekitar 10 menit dari rumah sakit. Di rumah duka sudah
terpasang tenda dan beberapa warga membantu mempersiapkan berbagai keperluan.
Kakak-kakak dari istrinya telah berkumpul seluruhnya dan suasana haru pun tak
terbendung lagi. Tangisan pecah, sejenak suasana duka menyelimuti kediaman
besannya itu.
Tubuhnya dibiarkan terjatuh di kasur. Matanya lelah
sekali, sedari hari pertama istrinya dirawat ia tidak tidur sama sekali. Dan
selama tiga hari kemarin ia meminta izin untuk tidak berangkat ke kantor dan
atasannya memberikan izin tersebut.
Malam berlangsung secara cepat. Itu yang dirasakan oleh
Mbah Parni. Disuruhnya menantunya untuk mengantarkannya ke rumah besannya.
Dengan membawa kedua cucunya Mbah Parni berangkat ke rumah duka. Sesampainya di
halaman rumah besannya itu air mata tak terasa sudah membasahi pipinya. Kedua
cucunya itu berlari ke dalam rumah tanpa di komando.
Dengan langkah
perlahan Mbah Parni dan menantunya masuk ke rumah duka. Mbah Parni langsung
memeluk besannya. Mereka berpelukan erat dan saling minta maaf, entah meminta
maaf untuk apa. Salah satu anak besannya mempersilakan Mbah Parni untuk masuk
ke dalam, beberapa orang yang akan bertakziah sudah berdatangan satu per satu.
Rumah duka semakin ramai dan penuh dengan orang-orang
yang bertakziah. Acara upacara pemakaman segera di mulai. Seorang pemuka agama
memulai acara pemakaman yang digelar menggunakan adat jawa. Kami dipersilahkan
untuk berjalan di bawah keranda yang dipanggul beberapa pemuda. Orang
menyebutkan dengan tlusuban. Namun setiap acara pemakaman tak akan
dihilangkan dari susunan acaranya. Kemudian Pemuka agama tersebut mewakili
keluarga besar dari jenazah meminta maaf kepada semua yang hadir dalam upacara
pemakan itu untuk semua kesalahan yang telah diperbuat oleh jenazah baik
disecara sengaja maupun tidak, dan bagi para takziah yang mempunyai urusan
hutang-piutang dengan jenazah dapat diselesaikan dengan keluarga jenazah.
Tepat
pukul satu siang jenazah di bawa ke pemakaman keluarga yang berjarak 500 m dari
rumah duka. Mbah Parni tidak mengikuti sampai makam, ia masih dengan besannya,
keduanya masih saling menguatkan dan sesekali membicarakan kenangang kedua
anaknya.
Di
makam telah bersiap dua orang yang sudah mengalami lubang untuk mengubur
jenazah. Rombongan pembawa jenazah tiba di area pemakaman. Pemuka agama
memimpin upacara pemakaman dengan membaca doa. Terik matahari mengiringi
upacara pemakaman. Perlahan jenazah di keluarkan dari keranda dan dimasukkan ke
liang lahat. Pemuka agama mengumandangkan adzan dan iqomah di dekat jenazah.
Dua orang menutup liang lahat dengan tanah bekas galian dan bunga ditaburkan
beriringan.
Pelayat
mulai meninggalkan area pemakaman. Keluarga dari Mbah Parni dan besannya masih
tinggal di area pemakaman. Pemuka agama memimpin untuk mendoakan jenazah, dan
para pelayatpun mengamini doa-doa yang beliau panjatkan.
Keluarga
besar dari Mbah Parni dan besannya meninggalkan area pemakaman. Sepi mengelayut
di area pemakaman. Malaikat penanya mulai bertandang, babak baru dunia barzah
di mulai.
z
Hampir Mati Karena Gila “Pria”
Duka memang masih menyelimuti keluarga besar Mbah Parni
dan besannya. Sanak saudara dari luar kotapun masih menginap di gubuknya.
Anaknya yang merantau di Semarang pun memboyong anak dan istrinya untuk
menghadiri acara pemakaman adik iparnya. Mata Mbah Parni masih basah,
sepulangnya dari rumah besannya ia belum sempat menghentikan butiran air mata
yang terus memaksa ingin dikeluarkan. Badannya lemas, makanan pun rasanya tak
tega jika harus sejenak mengisi perut Mbah Parni yang sedang dirundung duka
kehilangan salah satu menantunya.
Melamun kini menjadi kebiasaan Mbah Parni, tak jarang
anak bungsunya memergoki ia melamun begitu dalam dan tak jarang air matanya
menetes sampai membasahi kain jariknya. Si bungsu berkali-kali memaksa Mbah
Parni untuk sekedar mengisi perut untuk memakan bubur atau roti, namun
perkataan anaknya itu hanya ia iyakan tapi tak dilakukan.
Lamunan Mbah Parni semakin dalam, dan kejadian 5 tahun
lalu kini hadir lagi dalam benaknya. Ia ingat betul si bungsu mengungkapkan
niatnya untuk mencari pekerjaan di Kebumen, Mbah Parni tidak menyangka anaknya
akan merantau ke luar kota. Salah satu teman anaknya mengajak anak bungsunya
untuk merantau ke Kebumen. Mbah Parni memang tidak melarang Surti, anak
bungsunya itu bekerja di Kebumen. Dan dengan izin dari Mbah Parni pula, Surti
merantau ke Kebumen.
Dua tahun Surti merantau, memang membuahkan hasil.
Dibelikan olehnya perabotan rumah tangga dan sembako. Ia pun dapat membeli
barang-barang yang ia inginkan. Surti selalu pulang saat lebaran dan memberikan
sebagian gaji yang ia sisihkan pada Simboknya itu. “Buat beli jarik Mbok,”
kata Surti. Tak hanya membawa uang yang dapat mencukupi kebutuhan mereka, Surti
juga membawa seorang lelaki yang ia anggap sebagai kekasihnya. Joni, biasanya
Surti memanggil kekasihnya. Ia adalah teman satu rantauannya, rumahnya pun tak
jauh dari Surti. Mereka bertemu saat bekerja di Kebumen. Pernah Surti membawa
kekasihnya itu untuk sekedar di pertemukan dengan Simbok, istilahnya biar kenal
antara calon mertua dan menantu.
Mbah Parni masih membiarkan lamunan menguasai dirinya.
Diingat kembali ketika Joni mencium tangannya dengan sopan sembari menyebutkan
namanya. Mbah Parni tentu saja menyambutnya dengan senang hati. Disuruhnya
Surti untuk membuatkan minum. Mbah Parni mengamati Joni dari luar. Dari ujung
kepala sampai ujung kaki, wajahnya rupawan, berpakaian rapi, badannya tidak
terlalu kurus atau gemuk, terlihat berpendidikan dan mapan. Keduanya saling
berbincang, sekedar membahas bagaimana keluarga masing-masing hingga sampai
mana kedekatannya dengan anak bungsunya.
Restu telah didapat Surti dan Joni. Keduanya semakin
mantap menjalani hubungan kasih itu. Surti kini terlihat rajin bekerja, ia juga
menyisihkan sebagian gaji yang diterimannya untuk tabungan pernikahan dengan
Joni kelak. Joni pun tak kalah dengan Surti, ia juga makin sering mengunjungi
calon mertuanya. Sekedar untuk mempererat hubungan keduanya dan tentu saja
menemui Surti. Mbah Parni lega jika anaknya kelak menikah dengan orang yang
mapan dan baik seperti Joni. Joni berprofesi sebagai tentara yang sedang di
tugaskan di Kota Yogyakarta. Joni juga berasal dari keluarga baik-baik dan
mempunyai perekonomian yang baik, jadi ini pula yang menjadi alasan turunnya
restu padanya.
Tak terpikir dalam benak Mbah Parni anak tirinya menolak
hubungan Surti dan Joni. Ketidakberesan muncul ketika Surti membawa Joni ke
rumah kakak tirinya. Bau tidak sedap mulai tercium ketika kakak tirinya dan
Joni berbincang tentang pekerjaan Joni, mula-mula kakak iparnya percaya dengan
apa yang dikatakan oleh Joni bahwa dia adalah seorang tentara. Ketika Kakak
Surti mencoba mengetes Joni, dilemparkan pertanyaan padanya, dengan sedikit
ragu-ragu Jonipun menjawab. Tak puas dengan jawaban Joni, Kakak tirinya
berinisiatif mengecek tentang kebenaran informasi yang diberikan Joni. Kakak
Surti menghubungi salah satu kerabatnya yang bekerja di satu kodim tempat Joni
bertugas, ternyata tidak ada tentara atas nama Joni yang sedang bertugas di
kodim tersebut.
Kecurigaan tidak hanya sampai di situ, Kakak tiri Surti
sepertinya tidak kehabisan akal untuk membongkar identitas dari calon adik
iparnya itu. Bukan apa-apa tapi ia hanya tak ingin adiknya tertipu dengan oknum
seperti yang tejadi pada Surti. Akhirnya beberapa minggu kakak ipar Surti
melakukan investigasi terungkap sudah bahwa Joni yang mengaku sebagai tentara
hanyalah seorang pekerja las tak jauh dari tempat Surti dan kakaknya
bekerja.
Kebusukan Joni mulai terkuak. Kakak tirinya itu mencoba
menyampaikan apa yang ia ketahui pada Mbah Parni. Sempat terlihat raut tak
percaya pada Mbah Parni, ia tidak menyangka anaknya menyelidiki calon adik
iparnya itu. Lebih tidak percaya lagi setelah Mbah Parni mendengar apa yang
dijelaskan oleh anak tirinya, bahwa Joni bukanlah seorang tentara melainkan
pekerja las tak jauh dari tempat kerja Surti. Mbah Parni diam sesaat. Dadanya
tiba-tiba sesak, mulutnya jadi bungkap, hatinya terasa ngilu, dan matanya mulai
berair. Mbah Parni tak percaya bahwa kejadian yang dialami anak sulungnya
hampir terjadi pada Surti. Ditahannya air mata, dan kembali mendengarkan
kebusukan-kebusukan dari calon menantunya itu.
Tekad Mbah Parni telah bulat, dengan berbagai cara ia
mulai menjauhkan Joni dan Surti. Anak tirinya telah membuka mata hati yang
hampir disilaukan oleh tampilan luar Joni. Mbah Parni turun langsung dalam
rencana memisahkan anaknya itu, ia tak mau melibatkan anak tirinya. Perlahan
namun pasti Mbah Parni mulai memisahkan keduanya, jika Joni datang ke gubuknya
untuk menemui Surti, dilontarkan olehnya alasan bahwa Surti sedang tidak di
rumah entah pergi dengan siapa. Raut muka kekecewaan memang sempat terbesit di
wajah Joni. Namun pemuda berbadan tengap dan berotot bak tentara itu sepertinya
tak tertipu dengan omongan calon mertuanya.
Seringkali disuruhnya Surti untuk membuatkan teh pahit
kesukaannya ketika dari jauh telah terdengar motor Joni menuju rumahnya. Itu
adalah satu cara Mbah Parni untuk tidak mempertemukan keduanya. Walaupun
keduanya bisa saja bertemu di luar, namun setidaknya Mbah Parni dapat
mengurangi frekuensi pertemuan dari keduannya.
Surti sempat melemparkan tanya pada simboknya, dari dapur
ia mendengar suara motor kekasihnya itu. Dicoba ditanyakan pada Simbok, tapi
sepertinya jawaban tidak akan berubah dari mulut Mbah Parni.” Ah itu Cuma
khayalan kamu aja Nduk,” kata Simbok. Namun Surti segera mengetahui bahwa
Simbok berubah 180 derajat pada Joni. Kadang Simbok selalu menanyakan Joni dan
kapan ia akan melamarnya anak gadisnya itu, namun sekarang menyebut namanya
saja Simbok tak pernah. Curiga mulai mengoda Surti. Diteleponnya kekasihnya itu
dan mengecek bagaimana kabarnya, dan sekedar menyampaikan rindu karena sekarang
Joni jarang mengunjunginya.
Kaget menyekap benak Surti setelah ia menerima telepon
dari Joni. Pagi-pagi sekali Joni meneleponnya dan membahas hubungan mereka.
Joni mengungkapkan kekecewaan atas perlakuan ibu Surti. Seringkali ia diusir
secara halus ketika menyampaikan niat untuk menemuinya. Alasannya tak lain dan
selalu itu, kata calon mertuanya Surti sedang pergi dengan temannya. Hati
panas, sekaligus kaget tak percaya Surti pada Simboknya itu. Ia tak mengira
Simbok akan memperlakukan Joni berbeda seperti saat pertama Joni berkunjung.
Dengan perasaan yang campur aduk Surti menemui Simbok. Dilihatnya Simbok sedang
menanak nasi. Didekatinya perlahan, ditatapnya Mbah Parni dengan tatapan
kemarahan. Mbah Parni belum mengetahui jika Surti telah mengetahui rencananya untuk
memisahkannya dengan Joni. Dengan perasaan marah Surti mengeroyok Mbah Parni
dengan berbagai pertanyaan. Mbah Parni hanya tertunduk, ia belum sempat
menjawab satu pertanyaan pun dari Surti. Surti terus memaksa Mbah Parni untuk
menjawab keraguannya, apakah yang dikatakan Joni itu benar atau hanya alasannya
saja hingga tak sempat mengunjunginya. Keduanya bungkam, Surti memilih
meninggalkan Mbah Parni. Ia buru-buru pergi ke tempat kerja. Di Dapur Mbah
Parni masih berdiri mematung, ketel nasi yang di pegangnya terjatuh ke ubin,
hampir setengah isinya berceceran. Ia tertegun ketika melihat anak bungsunya
membentak-menbentak sambil mengoyak-oyakan tubuh kurusnya, dibayangkan sekali
lagi bagaimana Surti menatap matanya dengan tatapan kemarahan, kali ini Surti membiarkan
kemarahan yang tak biasanya ia umbar.
Seminggu berlalu, Surti masih belum mau berbicara dengan
Mbah Parni. Narti tak banyak berbicara, ia akan takut jika ketika ia menasehati
adiknya, akan dibalik pula dengan keadaan dirinya dan masa lalunya itu. Mbah
Parni khawatir sikap Surti ini akan terus berkelanjutan, dan mungkin Surti akan
berbuat hal-hal yang tidak diinginkan. Ditunggulah saat yang tepat oleh Mbah
Parni untuk mengutarakan niat menjelaskan duduk perkara yang salah artikan oleh
anak bungsunya. Ketika dilihat Surti sedang duduk termenung di teras Mbah Parni
mendekatinya. Ini adalah saat yang tepat untuk membicarakan hal yang tidak
diketahui oleh Surti. Didekatinya Surti perlahan, dibelainya dengan lembut
rambut hitam yang tumbuh memanjang itu, sesekali Surti mengelak, sepertinya ia
memberi tanda pada Simboknya untuk tidak membelai rambut dan menganggunya. Mbah
Parni mulai membuka percakapan, dijelaskannya semua tentang Joni, mulai dari
kebohongan tentang identitasnya hingga keluarganya. Mbah Parni menatap dalam
mata Surti tapi Surti tak membalas tatapan itu. Dibalikannya tubunya dan
membelakangi Simbok. Tapi Surti terlihat dengan serius mendengarkan kata demi
kata yang keluar dari Simboknya. Ia mulai menyadari bahwa Simboknya berniat
baik, agar ia tak salah memilih pasangan yang akan mendampinginya kelak.
Badanya mulai berganti posisi, sekarang mulai mengarah ke arah Simbok.
Dipeluknya erat tubuh Mbah Parni, air mata Surti membasahi baju Mbah Parni,
keduanya larut dalam tangisan.
Kini wajah ceria kembali muncul di wajah Surti. Tak ada
lagi acara ngambek layaknya anak baru gede. Surti sudah mulai berbicara
dengan Simbok dan menghentikan aksi mogok makannya. Surti tetap menjalin
hubungan dengan Joni tanpa sepengetahuan Simbok tentunya. Dilarangnya Joni
untuk datang ke rumah, mereka memilih untuk janjian bertemu di luar daripada harus
menelan kekecewaan karena sikap Simbok yang sepertinya tidak akan berubah.
Tak biasanya Surti bangun sesiang ini, Mbah Parni
menghampiri Surti. Ditepuk pundak Surti dan disuruhnya untuk segera bangun.
Surti masih pulas dengan tidurnya, mungkin kelelahan karena ia mengambil jam
lembur. Berkali-kali usaha membangunkan Surti tak ditanggapi. Tiba-tiba Surti
bangun, matanya melotot, diraihnya leher Mbah Parni, dicekeknya leher Simbonnya
itu, sambil berkata tak jelas Surti terus mengoyak-oyakan tubuh Mbah Parni, dan
Mbah Parni tak mampu melawan tenaga anaknya yang terlalu kuat itu, berteriaklah
Mbah Parni. Sesaat dua orang tetangga yang mendengar suara terikan dari dalam
rumah Mbah Parni segera masuk, keduanya kaget mendapati Surti tengah mencekek
leher Mbah Parni. Di tarik paksa tubuh Surti dari Mbah Parni, tangannya masih
mengenggam leher Mbah Parni dengan kuat, salah seorang tetangganya mencoba
menarik paksa tangan Surti, akhirnya Mbah Parni bisa bernafas lagi walaupun
sedikit sesak, lehernya memerah, dan bekas cakaran tangan Surti terlihat di
pipi dan leher Mbah Parni. Kedua tetangganya mengikat Surti dengan tali
tambang, di sumpalnya mulut Surti dengan kain, sedari tadi ia mengeluarkan
kata-kata yang tak jelas, kadang terdengar kata Joni disebutnya berulang-ulang.
Mbah Parni berinisiatif untuk memanggil orang pintar
untuk menanggani anaknya. Setelah dibacakan beberapa mantra, Surti terdiam
sesaat, kesadaran mulai ia dapatkan. Surti tidak lagi meronta-ronta, tubuhnya
lemas karena sedari pagi ia mengerak-gerakkan tubuhnya untuk melepaskan diri
dari tambang yang membelit tubuhnya. Bekas luka goresan tambang pun melekat di
kulit langsat Surti, merah-merah dan berdarah. Kedua tetangga yang masih berada
di rumah Mbah Parni melepaskan tambang dan memberikan minum yang telah
dibacakan matra oleh orang pintar. Dipeluknya dengan erat tubuh Surti, ia
berfirasat ada orang yang sengaja membuat anaknya menjadi kesurupan. Dan benar
saja sang dukun menjelaskan bahwa Surti “dibikin orang” seperti kesurupan. Mbah
Parni tak berniat menanyakan siapa dalang dibalik kejadian yang dialami
anaknya, nama Joni telah berada di benaknya.
Semakin hari tingkah Surti semakin menjadi-jadi saja,
kali ini ia sudah mulai membanting barang-barang. Hampir setengah lusin piring
ia pecahkan, Mbah Parni kaget mendengar suara benda jatuh dari dapur. Mbah
Parni menuju dapur, dan dilihatnya Surti telah mengenggam pisau di tangan
kirinya, matanya melotot dan berwarna sedikit kemerahan, bibirnya terus
menyebut nama Joni. Pecahan piring berserakan di ubin, ada beberapa yang
melukai kaki Surti, Mbah Parni berusaha menyingkirkan pecahan-pecahan piring
tersebut tapi Surti berulang kali mengacungkan pisau dan mengarahkan pada Mbah
Parni, bukannya takut Mbah Parni malah mendekat pada sosok Surti yang sedang
kesurupan itu.”Bunuh saja aku jika kamu memang menginginkannya Nduk,” seraya
semakin mendekati sosok Surti, dari belakang terlihat Narti. Ia shock melihat
apa yang ada di depannya, dilerai keduanya, Surti melepaskan pisau dari
tangannya, ia lebih memilih mencekek leher Mbah Parni daripada menusuknya
dengan pisau. Narti dapat mengendalikan Surti, didorongnya badan Surti hingga
tersungkur, ditariknya tangan Simboknya dan segera dikuncinya pintu dapur dari
luar. Dari dalam Surti mengedor-gedor pintu, ia berteriak tidak karuan, Narti
segera membawa simbok menjauh dari dapur. Ditanyanya Simbok sambil memastikan
bahwa simbok baik-baik saja dan tidak terkena pisau yang dibawa Surti.
Narti melaporkan kejadian ini pada kakak tirinya. Tak
perlu waktu lama, kakak tirinya memboyong Surti ke rumahnya. Mbah Parni
mempercayakan Surti pada anak tirinya itu. Ia tak sanggup jika harus melihat
Surti diikat dengan tali tambang dan mulutnya di jejali kain. Baru dua hari
setelah kakak tirinya mengurusi Surti banyak kemajuan yang dialami Surti, kini
ia tidak lagi mengamuk. Setiap malam kakaknya membacakan surat-surat dari kitab
suci, sempat berontak dan menjerit-jerit ketika ayat suci itu dibacakan oleh
kakak tirinya, tapi tak seberapa lama Surti kembali normal.
Kakak tirinya menduga ini adalah perbuatan Joni. Ia tahu
betul sikap penolakannya tidak di terima oleh Joni. Makanya ia mengarapi Surti
sampai seperti ini. Hampir dilaporkannya ke pihak berwajib oleh anak tirinya
itu tapi Mbah Parni melarangnya. Ia tidak mau jika kejadian serupa akan menimpa
anak tirinya. Ia cukup tahu siapa yang melakukan perbuatan yang keji itu, orang
yang hampir jadi calon mantunya.
Kabar baik datang, Surti telah pulih dari sakit yang
sengaja di kirimkan kepadanya. Badannya sedikit kurus, selama beberapa minggu
Surti memang tak mau makan, rambutnya sedikit kumal, badannya penuh luka-luka
bekas tali tambang yang beberapa kali sengaja dibelitkan ke tubuhnya demi
menghalau sikap Surti yang nekat. Kedatangan Surti kembali ke rumah Mbah Parni
disambut dengan senang terutama oleh Mbah Parni, sudah dua minggu lebih ia tak
melihat sosok si bungsu meramaikan gubuknya. Mbah Parni memeluk erat Surti, air
matanya mengalir perlahan, kagen tak terbendung kini sudah terpenuhi, sosok
Surti kini akan meramaikan gubuknya kembali.
Tak berapa lama, Surti menemukan jodohnya. Ia menikah
dengan tetangganya. Ia kini mulai rajin menjalankan kewajibannya sebagai orang
Islam, dan suaminya selalu membimbing Surti. Mereka tinggal bersama dengan Mbah
Parni. Sengaja Mbah Parni meminta menantunya itu untuk tinggal bersamannya, ia
tak mau jauh lagi dari anak bungsunya.
z
Karma Beranak Karma
Barangkali sudah dua atau malah tiga tahun Narti tidak
menerima nafkah lahir maupun batin dari suaminya. Itulah sebabnya Narti
memutuskan untuk memboyong kedua anaknya kembali ke rumah Simboknya. Lama
ditinggal tugas suaminya di Aceh membuat Narti tak kerasan, ia sering kesepian
belum lagi banyak suara-suara yang membicarakan suaminya yang dipindahtugaskan
atasannya ke Jawa Barat tanpa diketahui oleh Narti, berhembus kabar bahwa
suaminya telah menikah dengan perempuan Bandung. Narti sempat menaruh curiga pada
suaminya, ia tak lagi menerima kabar darinya. Narti tak lagi mempunyai simpanan
uang, ia terpaksa berhutang pada tetangganya untuk kembali ke pulau Jawa.
Kepulangan Narti disambut hangat oleh Mbah Parni. Sekian
lama anak sulungnya merantau bersama menantunya dan kini bisa kembali berkumpul
dengannya. Saat pergi ke Medan Narti hanya berdua dengan suaminya, namun
sekarang ia tak pulang seorang diri, dua anak laki-laki menemaninya kembali ke
tanah kelahirannya.
Kesepian membuat Narti terjerumus dalam hubungan
terlarang. Ia menjalin cinta dengan tetangganya sendiri. Mbah Parni sempat
melarang Narti untuk berhubungan dengan anak tetanggannya. Tapi perkataan Mbah
Parni seolah hanya dianggap angin lalu saja. Memang benar lelaki itu berhasil
mencuri hati Narti. Perhatiannya begitu tercurahkan untuk Narti. Setiap pagi
diantarkannya Narti ke tempat kerja dan pulangnya pun tak perlu capek-capek
harus berjalan kaki, tinggal telepon, sudah dijemput. Bak anak muda sekarang,
setiap malam minggu pun anak tetangganya itu mengajak Narti kencan. Seolah
Narti tak melihat sudah tiga anak ia keluarkan dari rahimnya. Mungkin Narti
terlalu lama tak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari suaminya yang
sekarang entah dimana. Tersiar kabar bahwa Narti telah berbadan dua. Mendengar
berita itu Mbah Parni mencoba berprasangka baik pada anaknya, mungkin itu hanya
kabar burung, batinnya. Tapi semakin lama berita tidak mengenakkan itu semakin
sering ia dengarkan, suatu saat Mbah Parni menanyakan pada Narti tentang kabar
buruk yang menimpa dirinya, Nartipun hanya menunduk mengiyakan berita yang
telah terlanjur menghebohkan lingkungan sekitarnya. Mbah Parni hanya mengelus
dada. Betapa tidak Narti harus mengulang kesalahan untuk kedua kalinya. Belum
puaskah ia menyiksa batin Simboknya dengan setiap perilaku menyimpangnya ? Mbah
Parni memang tak memamerkan kemarahannya, ia menguci rapat-rapat mulutnya,
menahan air mata yang memaksa untuk dikeluarkan dan menahan sakit hatinya.
Sampai pada titik puncak ia menahan kemarahan yang terbendung, Mbah Parni jatuh
sakit. Ia menderita darah tinggi hingga harus diopname di rumah sakit
tak jauh dari rumah anak tirinya.
Gunjingan seakan tak mau berhenti. Membuat telinga Mbah
Parni semakin panas. Orang-orang meluncurkan tuduhan pada anak sulungnya. Narti
dan kekasihnya dianggap telah berzina karena telah melakukan hubungan
suami-istri sebelum menikah. Tapi Narti seolah tak ambil pusing dengan omongan
tetangganya, toh mereka tidak tahu apa yang Narti rasakan. Perut Narti semakin
lama semakin membuncit. Narti memang tak menuntut lebih pada kekasihnya itu. Ia
hanya menginginkan anaknya akan diakui olehnya dan kebutuhan hidup ia beserta
anaknya kelak dapat dipenuhinya. Sesempit itukah pikiran Narti ? Apa benar
cinta telah menutup hati kecilnya atau malah sampai menghilangkan akal sehatnya
? Hingga sebegitu takluk ia dengan lelaki yang baru sebulan ia kenal. Selama
mengandung segala kebutuhan dicukupi oleh kekasihnya, mau nyidam makan
buah tinggal minta, sekedar jalan-jalan untuk menghilangkan penat kekasih selalu
siap sedia, sampai membeli perlengkapan bayi pun kekasihnya berikan.
Tiba saat Narti melahirkan. Kekasihnya telah menyewa
mobil untuk membawa Narti. Sesaat setelah adzan magrib berkumandang, Narti
mengeluh merasakan nyeri di perutnya, dan ia segera dilarikan ke rumah sakit
terdekat. Persalinan Narti sempat tersendat, bayinya tak mau keluarkan
sedangkan air ketubannya sudah pecah. Ia terpaksa dipindahkan ke rumah sakit
lain yang mempunyai peralatan yang lebih memadahi. Sepanjang perjalanan Narti
mengeluh kesakitan, darahnya terus mengalir deras dari bawah perutnya, sang
kekasih terus memberikan semangat untuk bertahan. Tepat pukul dua dini hari
bayinya lahir. Anak perempuan ia terima dari Sang Pemberi Hidup. Setelah
dibersihkan dari darah yang melekat bayi perempuannya diserahkan suster pada
kekasihnya. Wajah Narti masih terlihat pucat, keringat masih keluar dari
kepalanya, ia harus kehilangan banyak darah ketika melahirkan anaknya.
Mbah Parni masih lemas, ia baru saja keluar dari rumah
sakit setelah tiga hari diopname. Bahkan ia tak sempat menemani Narti
untuk bersalin. Ia mendapatkan kabar dari tetanggan yang menjenguknya bahwa
Narti melahirkan anak perempuan, anaknya persis sama bapaknya, kata tetangganya
itu. Tak berselang lama setelah Mbah Parni tiba dirumah, disusul rombongan
Narti, kekasihnya, anak bungsu dan suaminya. Dari jendela ruang tamu ia melihat
Narti begitu hati-hati mengendong bayinya. Tak tahan melihat tingkah Narti,
Mbah Parni bukannya menyambut kedatangan Narti ia malah masuk menuju kamar.
Narti tak melihat sosok Simboknya akan menyambutnya di ruang tamu, ia sudah
mengira Simboknya memang tak akan memberi sambutan pada ia dan cucunya itu. Ia
sadar telah kedua kalinya ia membuat kesalahan.
Awalnya memang Mbah Parni tak menganggap kehadiran
seorang cucu di rumahnya. Bahkan suasana dinginpun masih menyelimuti Mbah Parni
dan Narti. Keduanya tak jarang hanya berdiam ketika bertemu. Tak ada kata yang
harus dikeluarkan untuk sekedar menanyakan keadaan masing-masing. Hingga
akhirnya hati Mbah Parni luluh ketika mendengar suara bayi Narti menangis
sejadi-jadinya. Ia terenyuh dan segera dihampirinya bayi itu. Narti sedang
keluar membelikan susu untuk bayinya itu. Ia tak menitipkan bayinya pada
Simboknya, pasti Simboknya menolak. Mendengar suara tangisan bayinya, Narti
segera bergegas menuju kamarnya, ia kaget Simbok sudah berada di dalam dan
telah menggendong bayinya yang dicoba ditenangkannya. Menyadari kehadiran
Narti, Mbah Parni segera memberikan bayinya pada Narti. Dan tanpa aba-aba Mbah
Parni meninggalkan Narti dan bayinya.
Kini umur cucunya
telah menginjak satu tahun. Nara, nama yang diberikan Narti untuk anak
perempuannya itu. Badannya cukup gemuk, rambutnya keriting seperti bapaknya,
hidung tidak terlalu mancung, dan pipinya seperti bakpao. Mbah Parni sudah
menganggap Nara sebagai cucunya sendiri. Ia tak lagi mempermasalahkan dari mana
ia hadir. Ia juga telah memperbaiki hubungan dengan Narti, keduanya kembali
seperti biasanya. Kebahagian kembali meliputi keluarga Mbah Parni. Anak bungsunya
memberinya cucu laki-laki, jadi pas sekarang, ia diberikan cucu sepasang oleh
Sang Pemberi Hidup. Memang Mbah Parni tak menganut agama apapun, ia masih
menganut keyakinan animisme dan dinamisme yang ia dapat dulu dari
orangtuanya. Kendati begitu ia tetap percaya dengan Tuhan, ia tetap bersyukur
dengan apa yang telah Sang Maha Pemberi segalanya berikan, bahkan ketika
ditimpa berbagai cobaan pun ia tetap mengingat Tuhan. Anak tirinya pernah
meminta Mbah Parni untuk beragama, namun ia masih enggan untuk melakukannya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan
berganti tahun. Sudah lima tahun berlalu begitu cepat. Kini usia Mbah Parni
telah menginjak 70 tahun. Fisiknya semakin melemah ditambah catatan kesehatan
yang dimiliki Mbah Parni, ia mempunyai riwayat penyakit darah tinggi yang suatu
saat dapat mengancam nyawannya. Di usia senjanya ini Mbah Parni masih melakukan
aktifitas seperti biasa, bercocok tanam di sawah miliknya. Kebahagian begitu
dirasakan oleh Mbah Parni, ia mempunyai lima cucu, dua perempuan dan tiga
laki-laki. Cucu-cucunya itu memberikan sedikit kebahagian untuknya. Walaupun
terkadang rasa sakit hati itu masih ada. Mbah Parni mencoba melupakan masa lalu
dari kedua anaknya itu. Ia ingin membuka lembar baru kehidupan diusia senjanya.
Tahun ini adalah tahun kelulusan bagi cucu pertamanya. Ia
akan menamatkan pendidikan sekolah pertamanya. Ia tak berniat utnuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang selanjutnya, ia sadar keadaan ekonomi keluarga tak
mendukungnya untuk lanjut ke bangku SMA. Ditepiskan keinginan untuk memakai
seragam putih abu-abu yang menjadi kebanggaan setiap anak. Ia memilih untuk
membantu mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Mbah Parni hanya
bisa pasrah, ia tak ingin merepotkan anak tirinya. Si cucu pun tidak menuntun
untuk disekolahkan. Cucunya itu dipekerjakan oleh tetangganya di salon
kecantikan. Mbah Parni senang cucunya bisa membantu mencari nafkah. Baru
sebulan cucunya bekerja, ia membelikan kain jarik untuk Mbah Parni. Rasa
banggapun kembali menghiasi senyum Mbah Parni, ia tak menyangka cucunya yang
kemarin baru ia gendong dengan jariknya sekarang sudah mampu membelikan kain
jarik dengan keringatnya sendiri. Dua tiga bulan cucunya masih betah bekerja di
salon kecantikan milik tetangganya, hingga akhirnya cucunya keluar dari tempat
kerja. Sempat Mbah Parni menanyakan apa alasan cucunya keluar dari tempat
kerja, padahal fasilitas serta gaji yang diterimanya cukup. “Aku kesel Mbok
kerjo ning salon,” kata cucunya. Mbah Parni tahu bahwa cucunya itu
berangkat pukul delapan pagi dan pulang pukul delapan malam, maka wajar anak
seusianya mengaku kelelahan setelah bekerja 12 jam per hari. Sempat Mbah Parni
menasehati cucunya, “memang kalau nyari rejeki itu capek tapi kalau dapat
duitnya pasti seneng, capeknya jadi ilang Nduk”, kata Mbah Parni, dan
cucunya hanya membalas dengan senyum simpulnya.
Kehadiran tamu mengagetkan Mbah Parni yang sempat tertidur di kursi ruang tamu. Dipersilakannya
tamu untuk duduk. Anak dari teman cucunya beserta kedua orang tuanya tak biasanya
datang kerumahnya, malam hari pula. Disuruhnya cucunya untuk membuatkan
minuman. Setelah minuman tersaji di atas meja Mbah Parni menyilakan tamunya
utnuk menikmati suguhannya. Sang cucu tak ikut duduk menemani Mbah Parni
menemui tamunya. Ayah dari teman anaknya menyampaikan maksud kedatangan mereka,
yaitu mau melamar cucu Mbah Parni. Sejenak Mbah Parni berpikir. Dicoba
ditanyakan sekali lagi maksud kedatangan mereka, namun jawaban tak berubah.
Sampai akhirnya Mbah Parni memberanikan diri bertanya tentang lamaran yang
begitu mendadak itu. Giliran ibunya yang berbicara, ia mengatakan bahwa cucunya
telah isi. Mbah Parni masih belum mengerti apa yang dibicarakan oleh ibu dari
teman cucunya itu. Mbah Parni memanggil cucunya untuk membantu menjelaskan
duduk perkaranya. Cucunya mengaku bahwa ia telah telat tiga bulan. Sejenak Mbah
Parni terdiam, ia hampir pingsan ketika cucunya mulai membuka mulut. Dengan
perasaan campur aduk, Mbah Parni mengiyakan tawaran dari calon mertua dari
cucunya. Dua jam mereka membicarakan acara lamaran yang akan dilaksanakan
secepatnya. Ketiganya berpamitan untuk pulang.
Tubuh Mbah Parni masih terpaku di kursi. Ia terdiam dan
termenung. Itukah alasan cucunya keluar dari pekerjaan, karena ia telah
berbadan dua sekarang. Oh nasib memang tak bisa ditebak. Kini ia dirundung
kembali dengan permasalahan baru. Cucu pertamanya hamil di luar nikah dan ia
masih di bawah umur. Mbah Parni segera mengumpulkan anak-anaknya, ia
membicarakan apa yang telah terjadi. Terlihat wajah kaget ketika Mbah Parni
menyebutkan bahwa cucunya telah berbadan dua. Narti hampir pingsan mendengar
apa yang diucapkan oleh Simbok. Ia tak menyangka anaknya akan menuruni sifatnya
yang melenceng itu. Narti tak tahan mendengar apa yang dikatakan oleh
Simboknya, ia berlari menuju kamar anak sulungnya. Didapatinya anak sulungnya
berada di pojok kamar, matanya basah, bahkan terkesan bengkak, mungkin sudah
berhari-hari ia menangisi perbuatannya. Narti hampir memaki-maki anaknya namun
diurungkan niatnya itu, sama saja menyindir dirinya tak tak jauh berbeda dengan
anaknya. Bukankah Narti juga hamil di luar nikah ? Tak hanya sekali, dua kali
bahkan.
Mbah Parni dan menantunya segera mengurus kelengkapan
surat-surat yang dibutuhkan. Seperti dikejar bom saja, usaha mereka harus
bersaing dengan perut cucunya yang semakin hari semakin membuncit saja.
Berkali-kali Mbah Parni menuju rumah ketua RT-nya. Sepertinya usaha untuk
mengurus surat-surat sebagai syarat menikah cenderung lambat bahkan hanya diam
di tempat. Memasuki bulan kedua Mbah Parni masih terus berjuang mengurus
surat-surat, bahkan kartu tanda penduduk yang diajukannya tak kunjung ia
dapatkan. Mbah Parni mulai frustasi, ia sepertinya sudah tak sanggup lagi
melajutkan usahanya untuk mencari surat nikah . Ia sudah kadung malu
dengan tetangganya, terlebih Mbah Parni sudah hutang sana-sini untuk usaha
menutupi biaya pembuatan surat-surat yang cucunya butuhkan. Benar saja sekarang
usia kandungan cucunya sudah menginjak lima bulan, dan sudah tak bisa lagi
disembunyikan dibalik bajunya. Tapi sifat ibunya telah menurun pada dirinya, ia
seolah masih santai dan tak peduli dengan perutnya yang semakin besar itu. Ia
masih sering berpergian keluar sekedar untuk membeli kebutuhannya. Mbah Parni
sempat melarang cucunya itu, namun cucunya tetap bersikeras pergi. Tak jarang
cucunya menginap di rumah calon mertuanya itu, pacarnya memang memintanya untuk
tinggal bersamanya, tinggal satu atap tanpa ikatan kah ? Apa itu bukan namanya
kumpul kebo ? Entahlah, tanyakan saja pada hati nurani masing-masing ?
Usaha Mbah Parni memang belum menunjukkan tanda-tanda.
Bahkan sempat berhenti selama sebulan. Ketua RT-nya jatuh sakit karena darah
tinggi yang ia derita. Pasrahlah Sudah Mbah Parni dengan keadaan yang sedang ia
rasakan. Sudah enam bulan bayi tumbuh dalam rahim cucunya, tinggal tiga bulan
lagi, Mbah Parni akan menimang cicit pertamanya. Yang menjadi permasalahan
adalah, cucunya belum menikah, artinya belum sah baik secara agama atau negara.
Mbah Parni memang tak meminta lebih dari calon mertua cucunya itu, ia hanya
meminta anaknya menikahi cucunya, masalah kebutuhan bisa ditanggung bersama.
Batin Mbah Parni sudah tak karuan, ia tak tahu harus
merasakan apa. Senang atau sedih itu sudah tidak penting ia rasakan lagi. Badan
Mbah Parni kini kurus kering, ia kurang makan dan kurang tidur. Bagaimana bisa
makan enak dan tidur nyenyak jika perut cucunya semakin membesar saja. Ia tak
tahan melihat cucunya sering mengurung diri dan menangis sesenggukan menyesali
perbuatannya. Kenapa tidak sedari awal saja ia menangis dan menyesalinya.
Apakah ia mewarisi sifat ibunya yang suka menyeleweng ? Disaat seperti ini,
ingin rasanya Mbah Parni membiarkan nyawanya pergi meninggalkan raganya untuk
selama-lamanya, namun ia kembali mengingat Sang Pemberi Hidup, mungkin DIA
sedang mengujinya untuk meningkatkan derajatnya. Mbah Parni menikmati senjanya
yang penuh dengan buliran air mata yang senantiasa tak mau jauh-jauh mengalir
dari matanya. Disetiap air mata yang keluar itu ia berharap akan keluar juga ia
dalam kesedihan, kesusahan hidup yang mewarnai jalan hidupnya. Kini yang
dinanti adalah, ketika cucunya mengucapkan janji sehidup semati dengan
kekasihnya itu sebelum nyawa berpisah dengan raganya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar